SuaraJakarta.co, JAKARTA – Harga rumah yang terjangkau adalah tantangan kebijakan perkotaan di tiap waktu. Kebutuhan untuk mempunyai rumah sangat tinggi, tapi tak dapat dijangkau bagi mereka yang berada dalam kelompok sosial menengah ke bawah.
Harga tanah yang tinggi karena adanya spekulasi oleh para broker, memicu tingginya harga rumah, tak terkecuali di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di dunia.
Ada rumah dan tanah yang berharga lebih rendah, tapi sayangnya, sering berlokasi jauh dari pusat kota. Tapi, itu berarti orang-orang harus berjalan lebih jauh dari rumah menuju tempat kerjanya.
“Di Jakarta, misalnya, harga rumah naik 18 persen tiap tahunnya. Sementara, rata-rata pendapatan kelas pekerja hanya naik maksimum 10-12 persen. Jadi, ada kesenjangan yang lebar antara harga dan kapasitas untuk membayar,” jelas Leilani Farha, pelapor khusus mengenai Hak untuk Kepemilikan Rumah yang ditunjuk oleh United Nations Human Right Council.
Besarnya kesenjangan ini menurutnya disebabkan terutama oleh adanya pandangan umum yaitu memperlakukan kebijakan rumah sebagai sebuah komoditas, bukan sebagai kebutuhan dan hak dasar manusia.
“Alhasil, masyarakat yang lebih memilih tetap tinggal di kota tapi dengan harga yang terjangkau, menempati tempat tinggal informal. seperti di bantaran kali, di bawah flyover, samping jalur kereta, dan sebagainya. Dampaknya, mereka seringkali menjadi target dari penggusuran, seringnya dengan paksaan,” jelasnya di acara public lecture di Goethe Institute, Jakarta, Selasa (19/9).
Acara ini pun diprakarsai oleh Aktivis yang berasal dari Ruang Jakarta (Ruang Jakarta). Hadir para mahasiswa, arsitek, pengamat perkotaan, dan para pengambi kebijakan di DKI. (RDB)