Pengamat Kecam Rencana Menkominfo Tempatkan Pusat Data di Luar Negeri

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan penempatan pusat data atau server tak perlu di Indonesia karena dinilai tak efisien.

Hal tersebut disampaikan Rudiantara terkait akan direvisinya Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Salah satunya, Pasal 17 yang menyebutkan soal penempatan data harus di Indonesia.

Menanggapi rencana itu, Pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa infrastruktur teknologi kita juga termasuk berpotensi dijajah oleh asing. Potensi tersebut benar-benar akan menjadi kenyataan apabila server atau pusat data ini bebas dibangun di luar.

Bahkan sebelumnya pada 2016 Menteri BUMN Rini Suwandi meresmikan server milik Telkom di Singapura.

“Ini jelas kita sesalkan. Secara hukum, jelas pusat data yang dibangun harus mengikuti aturan main di luar negeri. Belum lagi masalah pengelolaan yang jelas negara tempat lokasi server sangat diuntungkan karena punya akses fisik langsung, jelas ini sangat berisiko,” terang Chairman lembaga keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) dalam rilis yang diterima suarajakarta.co, Sabtu (29/9).

Menurut Pratama, langkah inimenunjukkan pihak terkait masih enggan membangun infrastruktur siber di dalam negeri. Padahal pembangunan server dengan level dan teknologi terkini sangat diharapkan bisa direalisasikan di dalam negeri. Efeknya akan mengerek partisipasi masyarakat dalam pembangunan ketahanan cyber di tanah air.

“Kita lihat dari hari ke hari masyarakat semakin terkonekasi satu sama lain lewat internet. Pemerintah mencanangkan e-Government artinya banyak lalu lintas data penting dan disimpan di server. Bayangkan data-data penting itu lari keluar negeri, jelas berbahaya,” jelasnya

Pratama menambahkan pusat data juga terkait erat dengan perlindungan data pribadi. Uni Eropa sudah mengesahkan GDPR (General Data Protection Regulation) untuk melindungi data warganya di luar negeri.

“Bila pasal tentang kewajiban membangun pusat data di tanah air direvisi, lalu instrumen apa yang melindungi warga negara dan juga data negara di luar negeri. Uni Eropa dan Amerika Serikat bergerak cepat mengamankan data serta mendorong membangun server di negaranya, kita malah melonggarkan,” jelasnya.

Pratama menegaskan bila ingin meningkatkan ekonomi digital, seharusnya juga infrastruktur internet diperkuat saja. Itu juga akan menyerap tenaga kerja lokal cukup banyak.

“Sebenarnya kedaulatan informasi tidak hanya menyangkut posisi geografis server, tetapi juga bahwa informasi yang di dalamnya bisa kita akses. Percuma mewajibkan Facebook atau Google menempatkan server di sini, tetapi tetap informasi yang berada di dalamnya tidak bisa kita akses,” terangnya.

Oleh karena itu, dirinya mendorong agar terdapat klasifikasi yang jelas tentang informasi yang berada di dalam server. Jika informasi yang berada di server merupakan informasi yang tingkat confidentialitynya tinggi, maka wajib berada di Indonesia.

“Namun informasi yang tingkat confidentiality rendah, dan aspek yang dikedepankan adalah availability, misalkan agar dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat indonesia di luar negeri, maka masih memungkinkan berada di luar negeri. Itupun juga seharusnya yang berada di luar negeri bukan pusat data utama, namun mirroring server atau backup,” tutupnya.

Related Articles

Latest Articles