Site icon SuaraJakarta.co

Ujian Nasional : Tragedi atau Prestasi Pendidikan?

SuaraJakarta.co, Jakarta – Pemerintah akhirnya mengadakan Ujian Nasional Sekolah Dasar yang digelar serentak di 33 provinsi pada 7 – 9 Mei 2012 mendatang dan UN susulan  pada14-16 mei 2012.  Dalam kesempatan ini, UN akan diikuti sekitar 4.536.020 siswa SD, MI dan SDLB. Dalam soal komposisi, 25% soal UN dibuat Kemendikbud sedangkan 75% oleh daerah. Di Jakarta ada sekitar 155 ribu siswa yang mengikuti UN di 3.365 sekolah. Jumlah itu termasuk di Kepulauan Seribu. DI Bali UN SD diikuti 70.016 siswa termasuk 48 siswa dari Luar Biasa.

Adanya Ujian Nasional di Indonesia merupakan fenomena unik. Betapa tidak, meski sudah mendapatkan “kartu merah” dari penegak konstitusi, pemerintah tetap mengadakan Ujian Nasional. Pemerintah berpendapat, Ujian Nasional dapat dijadikan sebuah peta mengukur kapasitas pendidikan sebuah daerah. Ironisnya, banyak daerah setelah ujian nasional masih gagal mendapatkan perhatian pemerintah. Sehingga mudah ditebak, adanya UN menyisakan keraguan “ Apakah benar UN dapat menjadi titik tolak perbaikan dan kemajuan pendidikan suatu daerah?”

Penentu Kelulusan

Diakui atau tidak, Ujian Nasional selalu menjadi sebuah polemik menarik dalam dunia pendidikan Indonesia. Selain persoalan peningkatan mutu pendidikan, UN sering mendapatkan kritikan dari banyak kalangan. Mereka umumnya mempertanyakan mengapa UN dijadikan penentu kelulusan. Kondisi ini bukan tanpa alasan mendasar. Jika UN dikembangkan sebagai “hakim”, apa manfaat pendidikan yang selama ini dirasakan peserta didik. Sungguh menyedihkan, proses belajar selama enam tahun (untuk SD) diselesaikan dalam sidang bertajuk UN selama tiga hari. Untuk SLTP dan SLTA, proses mendapatkan ilmu selama tiga tahun “dihukum” agenda mendebarkan selama tiga hari.

Pemerintah boleh mengklaim sudah memberikan solusi segar. Seperti diketahui, pemerintah belakangan ini mengubah konsep UN. Jika selama ini nilai UN mutlak sebagai penentu kelulusan. Sejak adanya keputusan pengadilan konstitusi, pemerintah memasukkan nilai Ujian Sekolah. Secara umum komposisinya adalah 40% nilai Ujian Sekolah dan 60% nilai Ujian Nasional. Adanya perubahan pola komposisi sesungguhnya tidak menyelesaikan persoalan UN. Sebab, masih kuatnya dominasi nilai UN membuat kedudukan nilai US hanya dipandang sebelah mata. Artinya, pemerintah masih setengah hati menghapus UN sebagai hantu pendidikan nasional.

Kecurangan Masih Menjamur

Akibat masih menguatnya komposisi nilai UN dan tekanan untuk lulus UN membuat banyak peserta didik mengalami tekanan psikologis. Mereka akhirnya memilih banyak cara untuk dapat lolos dari jeratan UN. Akhirnya berkembang koruptor muda, mereka berusaha menghalalkan segala cara seperti membeli kunci jawaban, menyontek dan berbagai kecurangan lainnya. Berdasarkan data ICW, ditemukan penyimpangan dalam UN Tingkat SMP tahun 2012 dimana kunci jawaban matematika mengalami kebocoran dengan tingkat kebenaran tinggi yaitu lebih dari 60%. Dari 40 soal, 30 – 35 bocoran jawaban diketahui benar.  Sebuah bukti, bagaimana UN mengajarkan berbagai pola penyimpangan dalam dunia remaja.

Dimana Pendidikan Karakter?

Kecurangan Ujian Nasional menjadi sebuah penyakit yang populer dan sistemik. Tentu saja ini membuat banyak pihak khawatir. Sebab pembiaran terhadap berbagai bentuk penyimpangan UN menandakan pemerintah gagal mengimplementasikan pendidikan karakter. Pendidikan karakter hanya manis di bibir dan teoritik, prakteknya masih jauh panggang dari api.

Hemat penulis, pemerintah perlu serius mengoreksi kebijakan UN dan menerapkan langkah strategis. Pertama, mengoptimalkan dan memperbanyak waktu pelajaran yang mengandung karakter seperti PKN dan Pendidikan Agama. Kedua mata pelajaran ini, harus menjadi benteng terdepan menjaga moralitas bangsa. Salah satunya, mengembangkan model pelajaran PKN dan Pendidikan Agama yang menyenangkan siswa. Tidak hanya berteori tapi mengandalkan keteladanan guru sebagai praktek nyata.

Kedua, menghapus UN sebagai usaha mengurangi intervensi pemerintah. Sepantasnya pemerintah berpikir cerdas, mengembalikan kembali konsep pendidikan Menengah dan Tinggi ke dasarnya yaitu pemberlakuan catur wulan dan ebtanas. Adanya UN dan sistem semester hanya layak untuk perguruan Tinggi. Jangan samakan pemikiran seorang peserta didik berlabel siswa dan mahasiswa.

Ketiga, memasukkan pendidikan anti korupsi sebagai kurikulum pendidikan nasional. Tentu bukan sekedar kurikulum kosong yang penuh teori indah. Tapi bagaimana mengemasnya dalam bentuk contoh teladan guru, kepala sekolah dan pahlawan anti korupsi. Adanya kurikulum antikorupsi adalah proses awalan mencegah maraknya perilaku koruptif.

Akhirnya kita berharap, pemerintah serius memperbaiki kuantitas dan kualitas pendidikan Indonesia. Berbagai kekurangan, masukan dan kritik pedas harus mampu diserap penguasa dan pejabat perumus kebijakan. Mereka harus mau terjun langsung sebelum membuat kebijakan pendidikan. Bukan berdiri bagai menara gading dan selalu berpijak pada model kebijakan top down.

*Peneliti Institute for Sustainable Reform (Insure)

Exit mobile version