Site icon SuaraJakarta.co

Pencegahan Korupsi di Indonesia

Oleh: Pandu Wibowo, S.Sos

Era rezim pemerintahan di republik ini sudah silih berganti, namun permasalahan korupsi tidak kunjung selesai. Sebuah paradox dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Republik ini justeru tampil dalam narasi pemberantasan korupsi yang bersifat paradoksial. Berbeda dengan negara lain dimana perkembangan demokrasi dan ekonomi, diikuti dengan berkurangnya angka korupsi. Namun, di Indonesia berkembangnya demokrasi dan perekonomian, diikuti juga oleh berkembangnya tingkat korupsi. Wajar, jika Indonesia dikatakan sebagai negara ter-demokratis di Asia, namun juga masuk sebagai negara paling korup di Asia.

Dalam data ICW dari sisi jumlah tersangka yang ditangani Aparat Penegak Hukum yaitu: KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam kurun waktu dua tahun terakhir, tercatat adanya peningkatan, masing-masing: 532 orang (Semester I/2016), 578 orang (Semester II/2016), dan 587 orang (Januari-Juni 2017). Namun, data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis oleh Konsorsium Indeks Korupsi Asia (CADI) (2017) menunjukan bahwa IDI meningkat dari 4,97 persen menjadi 5,42 persen. Ini menunjukkan, bangsa ini mungkin makin demokratis, tetapi tidak makin jujur.

Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah menjadi agenda yang diseriusi oleh semua rezim di republik ini. Adanya KPK menjadi sebuah ruh baru bagi Indonesia dalam rangka menghilangkan korupsi, dan lahirnya KPK adalah produk dari demokrasi kita. Prestasi dan semangat pemberantasan korupsi oleh KPK patut diparesiasi selama ini. Sudah ratusan kasus dan triliunan uang negara dikembalikan oleh KPK. Namun, timbul sebuah paradox kembali di dunia pemberantasan korupsi di Indonesia yakni mengapa jumlah kasus yang ditangani dan orang yang ditangkap karena kasus tindak pidana korupsi semakin banyak? Disisi lain persepsi masyarakat Indonesia, hal ini menjadi bentuk keberhasilan pemberantasan korupsi karena semakin banyak kasus yang ditangani dan orang yang ditangkap, namun disisi lain timbul sebuah persepsi berbeda yakni dengan melihat usia negara ini dan usia KPK sebagai lembaga adhoc seharusnya jumlah kasus korupsi semakin menurun setiap tahunnya.

KPK memang telah berhasil melakukan agenda pemberantasan korupsi secara komprehensif, integral, dan holistik, namun belum berhasil dalam agenda pencegahan korupsi. Kiranya faktor pencegahan inilah yang dapat menjawab pertanyaan di atas–mengapa kasus korupsi di Indonesia semakin banyak. Clarke (1997) di dalam teorinya tentang “situational crime prevention” menjelaskan bahwa pendekatan yang paling efektif dalam memberantas kejahatan adalah mengurangi kesempatan (prevention) bagi pelaku kejahatan. Adapun untuk mengurangi kesempatan kejahatan itu dengan: 1) diperlukan desain teknologi untuk mengontrol prilaku kejahatan; 2) manajemen para birokrat; 3) menipulasi lingkungan (masyarakat) secara sistematis. Tiga hal ini yang menjadi faktor-faktor yang mendukung teori Clarke tentang situational crime prevention.

Jika kita merujuk teori Clarke di atas, maka kita dapat mengidentifikasi terkait upaya-upaya yang harus dilakukan untuk pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. Adapun pencegahan yang ditawarkan dalam tulisan ini antara lain:

Pertama, Optimalisasi agenda e-governance sekaligus bisnis proses lintas sektor adalah agenda pencegahan korupsi yang harus dilakukan. Sektor pengadaan barang dan jasa adalah sektor yang sangat rawan dalam tindakan korupsi. Oleh karena itu e-procurement dan e-katalog dalam pengadaan barang dam jasa di daerah menjadi fokus penting untuk diseriusi. Pengadaan barang dan jasa dengan memakai layanan e-procurement agar akuntabel dan transparan dan bagi daerah yang belum memiliki e-katalog harus dipercepat dalam proses pengadaan. Dalam rangka optimalisasi tersebut, KPK harus menjalin kerjasama semakin serius kembali dengan LKPP. Selain e-procurement dan e-katalog, optimalisasi e-governance lainnya adalah sistem penganggaran harus ada sistem e-planning dan e-budgeting di setiap instansi walau sampai saat ini optimalisasi dari kedua sistem tersebut belum berjalan secara maksimal. Dengan e-planning dan e-budgeting dapat mencegah mark up yang biasa terjadi pada saat perencanaan anggaran. E-gorvernance dapat menjadi program untuk menerjemahkan faktor-faktor yang disusun oleh Clarke yakni diperlukan desain teknologi untuk mengontrol prilaku kejahatan.

Kedua¸ manajemen para birokrat menjadi faktor selanjutya menurut Clarke dalam upaca pencegahan tindak kejahatan. Kementerian PAN RB selaku pioneer agenda reformasi birokrasi harus memaksimalkan 3 (tiga) agenda perubahan yang dilakukan yakni revolusi mental aparatur, perubahan manajemen SDM aparatur, dan pengawasan aparatur. Monitoring dan evaluasi memang telah dilakukan, namun intensitas waktu monitoring dan evaluasi itu belum efektif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan berkala secara efektif plus ditambah dengan rekomendasi atas monitoring dan evaluasi yang dilakukan, guna menjadi masukan bagi instansi pemerintah pusat dan daerah dalam mengoptimalkan tiga area perubahan reformasi birokrasi tersebut. Mengingat reformasi birokrasi merupakan salah satu langkah strategis untuk melakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik, efektif dan efisien, sehingga dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat, dan profesional, serta bersih dari praktik Korupsi. Selain optimalisasi dari tiga area perubahan reformasi tersebut, penguatan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) menjadi faktor penting lainnya. Selama ini, APIP masih melapor ke kepala daerah karena memang dibawah Kepala Daerah. Kedepannya, APIP harus dibawah pemerintah pusat –dalam hal ini bisa Kemendagri atau BPKP. Jika APIP dibawah pemerintah pusat maka inspektorat yang ada di kabupaten dan kota dapat melakukan audit secara profesional tanpa intervensi kepala daerah dan juga dilaporkan kepada satu pintu yakni pemerintah pusat. Terakhir, dalam upaya pencegahan korupsi, perlu ada optimalisasi dalam sektor seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi yang dilakukan oleh KASN. Dengan tiga penerjemaahan teori dari Clarke di atas yakni terkait agenda manajemen birokrasi, maka KPK harus menjalin MoU secara serius dengan instansi-instansi pusat dalam rangka pencegahan korupsi.

Ketiga¸ dalam rangka pencegahan korupsi perlu dilakukan secara terus menerus community bassed crime prevention seperti yang dikatakan Clarke. Perlu ada kontrol sosial dari masyarkat kepada pemimpin mereka. Oleh sebab itu, agenda sosialisasi pencegahan korupsi dan juga penanaman nilai serta norma kejujuran harus ditanamkan terus kepada masyarakat dalam rangka pencegahan korupsi itu sendiri. Peran masyarakat menjadi sangat penting, karena jika para eksekutor dan pengawas bersama-sama korupsi di elit pemerintahan, maka siapa lagi yang saling mengawasi. Maka, masyarakat menjadi pengingat keadilan dan kejujuran tersebut, karena segala kekuasaan dalam sistem demokrasi berasal dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.

Ketiga agenda pencegahan korupsi di atas menunjukan bahwa memang agenda pemberantasan korupsi adalah miliki KPK, namun agenda pencegahan korupsi secara sistemik dan sosial bukan hanya milik KPK, melainkan miliki bersama yang melibatkan lintas sektor dan masyarakat dalam proses pencegahannya. Oleh sebab itu jika korupsi di Indonesia ingin hilang, maka agenda pencegahan ini harus menjadi prioritas dengan saling menjalin kerjasama antara KPK dan instansi terkait lainnya.

*) Peneliti Politik dan Kebijakan Publik CIDES Indonesia dan Mahasiswa S2 Manajemen Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia

Exit mobile version