Pemimpin Permadani Bangsa, Belajar dari HAMKA

“Kehidupan itu laksana lautan, orang yang tiada berhati-hati dalam mengayuh perahu, memegang kemudi dan menjaga layar, maka karamlah Ia digulung oleh ombak dan gelombang. Hilang di tengah samudera yang luas. Tiada akan tercapai olehnya tanah tepi” — HAMKA

SuaraJakarta.co, OPINI – HAMKA ditangkap di rumahnya dan kemudian dibawa ke Sukabumi untuk ditahan pada Senin, 12 Ramadan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964. Beliau dianggap melanggar UU Anti Subversif Pempres No.11. HAMKA dituding merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri, tuduhan yang mengerikan dan diluar akal sehat, jauh dari sifat ulama santun kelahiran 17 Februari 1908 ini.

Dalam buku karyanya, Tasawuf Modern, Hamka memberi kesaksian bagaimana beratnya pemeriksaan ketika itu. Ia diperiksa selama 15 hari 15 malam. Tapi tak ada yang lebih memedihkan hatinya selain ucapan seorang pemeriksa: ”Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia!”

Tokoh Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan, Hamka harus menerima derita penjara akibat politik penguasa yang marah dan terlibat perebutan hegemoni tahta dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Hamka adalah korban pertarungan politik ideologis yang keras dalam perjalanan bangsa ini. Suatu krisis dan pergolakan politik yang panjang sejak pertengahan 1950-an sampai tahun 1965, yang diwarnai sejumlah pemberontakan dan perseteruan politik yang memakan korban anak-anak bangsa yang tak bersalah.

TELADAN HAMKA

Dalam beberapa kesempatan, Hamka justru bersyukur dengan kejadian itu. “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu,” tutur Hamka.

HAMKA nama akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dikenal dengan sebutan Buya Hamka. Adalah sosok ulama, tokoh besar umat Islam, pemikir sekaligus sastrawan, yang lahir dari rahim ibu pertiwi bangsa Indonesia. Karya keilmuannya tidak kurang dari 120 buku. Didunia islam, namanya harum, dari seantero nusantara hingga ke mancanegara. Ketokohan, pemikiran, dan khazanah keilmuan dirinya sungguh melampaui zamannya.

Beliau bukanlah sosok garang yang suka menghujat mereka yang berbeda pandangan dengannya, ia tidak tampil sebagai sosok yang ditakuti banyak orang, tetapi Hamka dikenal sebagai figur alim, rendah hati, berilmu tinggi namun tidak angkuh diri, ia tokoh ummat yang teduh dan meneduhkan, bukan karakter garang yang suka menghujat, keluasan ilmunya berpadu dengan perangai berbudi luhur, perkataannya sarat hikmah dan falsafah hidup, itulah mengapa Hamka menjelma menjadi sosok yang dihormati dan menjadi teladan bangsa kita hingga kini.

BACA JUGA  Marak PKL di Jalan Sunter Kemayoran, Aparat Pemkot Jakut Tutup Mata

PEMIMPIN PERMADANI BANGSA

Dalam bukunya Lembaga Hidup, Hamka memberikan kesaksian: “Memang sulit mengubah seorang musuh menjadi kawan, kemudian menjadi sahabat, memadamkan kemarahan hati dan mengubah muka marah dengan senyum, memberi maaf kesalahan sehingga udara yang tadinya mendung menjadi terang benderang. Memang susah melakukan itu. Itu hanyalah pekerjaan orang yang hatinya memang hati waja, budinya budi emas; yaitu orang yang mempunyai kemauan besar dan cita-cita yang mulia. Memang susah! Tetapi menempuh kesusahan itulah yang harus kita coba, untuk kemuliaan jiwa kita sendiri.”

Dalam novel-nya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wich”, Hamka memberi petuah kepada para politisi agar kembali ke pangkalan semula sebagai manusia. Dia menulis, “Kita ini manusia belaka. Manusia duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tidak perlu memperebutkan rezeki, membuncitkan perut suatu bangsa dengan merugikan bangsa yang lain, karena kalau pandai membaginya, persediaan pangan buat hidup masih cukup tersedia dalam perut bumi. Teori Darwin yang mengatakan bahwa beratus-ratus ribu tahun yang telah lalu berjenis-jenis binatang penghuni dunia telah musnah karena perebutan hidup, peraduan tenaga, sehingga yang lemah jatuh tersungkur dan yang kuat berhak terus hidup. Tidak perlu diteruskan oleh umat manusia.”

Sikap politik Hamka tidak hanya wacana, beliau membuktikannya dengan menjadi imam sholat jenazah dari mediang mantan Presiden Sukarno, lawan politik yang menjatuhi hukuman penjara kepada Hamka selama dua tahun empat bulan dengan tuduhan UU Anti Subversif. Hal paradoks yang benar-benar terjadi dalam konstelasi politik Indonesia.

Pada 16 Juni 1970 datang dua orang lelaki ke rumah Hamka. Mayjend Suryo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto) dan Kafrawi (Sekjend Departemen Agama RI). Keduanya membawa pesan dari keluarga Sukarno. Pesan itu adalah pesan terakhir sang mantan presiden. “Bila aku mati kelak,” katanya, “minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku.” pesan mediang Bung Karno kala itu.

Lima hari setelah kunjungan itu Sukarno wafat di RSPAD dan jenazahnya disemayamkan di Wisma Yaso. Hamka datang memenuhi permintaan terakhir Sukarno. Sikap Hamka menyolatkan jenazah lawan politik nya ini mengandung pesan sekaligus hikmah tentang kemuliaan Islam dalam berpolitik. Ia bukan saja telah memaafkan sikap mediang Sukarno, tapi juga telah membasuh luka atas pertarungan politik ideologis yang berjalan keras pada masa lalu.

BACA JUGA  WNA Asal India Terjaring Razia Di Rusun, Kira-kira Sedang Apa Yaa?

Hamka memberi pelajaran luhur tentang sosok Pemimpin Permadani Bangsa, sikap politiknya penuh nilai dan hikmah, Hamka telah menunjukkan politik ber-akhlak dengan memaafkan lawan politiknya, dan ia juga memupuskan api dendam dalam berpolitik, jiwa besarnya dalam arena politik memperlihatkan keindahan islam politik yang penuh akal budi, menghadirkan kedamaian, tidak dendam kesumat, suatu kebajikan yang tidak mudah dilakukan oleh orang biasa, suatu perilaku hidup yang lahir dan terlatih dari perjuangan hidup yang panjang.

Dalam Falsafah Hidup, Hamka menyampaikan, “Politik tidak mengurus kepentingan diri, tetapi mengutamakan kepentingan bersama. Dalam berbangsa, politik Indonesia juga memerlukan filosofi keindonesiaan, sehingga menimbulkan kegembiraan, kemuliaan, dan kemajuan. Inilah politik mengikuti teladan Rasulullah, bukan politik ala Machiavelli.” tutur Hamka.

PENGORBANAN SEORANG PEMIMPIN

Ketum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta dalam buku Demi Hidup Lebih Baik (2007), menyampaikan tentang pengorbanan seorang pemimpin. “Kadang kita ingin bertanya, mengapa seseorang bisa berhasil, sukses dan memiliki masa depan yang gemilang? Di sisi lain, ada juga yang mengalami kejadian yang sebaliknya. Penuh kesengsaraan, jungkir balik tak tentu arah serta berbagai kejadian mengenaskan lainnya.”

Anis Matta menyajikan kisah Ibrahim AS, “Suatu Ketika Nabi Ibrahim pernah berdoa saat meninggalkan anak dan istrinya dilembah tak berpenghuni, Mekah. “Ya Allah jadikan hati manusia rasa suka atau hasrat berkunjung ke tempat ini.” — Dan saat ini kita menyaksikan, berjuta-juta manusia setiap tahunnya. Ribuan tahun kemudian, doa itu pun terwujud. Yang menjelaskan itu semua adalah pengorbanan. Sebesar apa pengorbanan yang kita keluarkan untuk sesuatu yang kita yakini, maka semakin besar itu pula dampak yang akan kita terima nanti. Kunci pertumbuhan yang berkesinambungan adalah pengorbanan dalam amal usaha yang kita lakukan.

Pengorbananlah yang menentukan umur dan amal usaha yang kita lakukan. Pengorbanan itulah yang dilakukan oleh orang-orang besar dalam sejarah-sejarah besar, yang hidup bahkan hingga sekarang. Demi hidup yang lebih baik, berkorbanlah. Berkorban demi hidup dan untuk mendapatkan kehidupan. [***]

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles