Site icon SuaraJakarta.co

Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme Mutlak, Perlu Diatur dalam Perpres

(Foto: Gilang/ Humas Fraksi PKS DPR RI)

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Komisi III DPR RI memberikan catatan penting atas perjalanan revisi RUU Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme yang sedang dibahas bersama dengan pemerintah.

Menurut Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil sejauh ini pembahasan revisi RUU tersebut masih on the track dalam pembahasannya.

Meskipun demikian, Nasir mewanti-wanti ada beberapa catatan terkait RUU yang pernah masuk dalam Prioritas Prolegnas 2016 ini.

“Pertama, bagaimana perlindungan hak asasi manusia, penanganan terhadap korban terorisme, pencegahan, di samping memang penindakan, kalau bisa dicegah Kenapa harus ditindak?
Jadi ini penting, karena memang konsen daripada Pansus itu,” jelas Nasir dalam Diskusi Forum Legislasi di Press Room DPR, Selasa (3/10).

Kedua, tambah aleg dari Aceh ini, adalah soal bagaimana keterlibatan TNI untuk turut serta dalam pelibatan penanggulangan terorisme.

“Karena secara prinsip memang dalam kehidupan negara demokrasi tugas dan fungsi utama militer sejatinya dipersiapkan untuk perang. Jadi, militer itu direkrut, dididik, dilatih, dipersenjatai dengan fungsi utamanya adalah untuk menghadapi kemungkinan terjadinya ancaman militer dari negara lain.

Karena itu, tambahnya, dalam suasana damai, tentu saja mereka latihan dalam rangka juga ikut sama-sama dalam konteks menghadapi terorisme.

Diketahui, dalam undang-undang TNI Nomor 34 Tahun 2004, TNI memiliki tugas pokok, yakni menegakkan kedaulatan negara dan menjaga keutuhan wilayah negara. Maka, TNI menjalankan dua tugas, yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang (OMSP).

“Yang paling digarisbawahi adalah pelaksanaan kedua tugas tersebut harus didasarkan pada keputusan dan kebijakan politik,” jelas Nasir.

Sehingga, tambahnya, dimungkinkan pelibatan militer dalam OMSP, misalnya pemberantasan terorisme. Sebab, banyak negara yang terancam kedaulatan negaranya atas tindakan terorisme bersenjata, seperti ISIS yang terjadi di Suriah.
Sehingga, dalam eskalasi tertentu itu membawa dampak pada dilibatkannya militer untuk mengatasi ancaman tersebut.

Meskipun demikian, Nasir mewanti-wanti peran militer ini tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan tidak boleh pada tempatnya.

“Kontribusi peran militer dapat bersifat negatif apabila digunakan secara berlebihan atau tidak tepat secara kontekstual,”

“Oleh karena itu, Pansus menyadari bahwa pelibatan militer harus dilakukan secara spesifik dan dengan prasyarat tertentu. Untuk itu, Menkopolhukam mengatakan bahwa pengaturan keterlibatan TNI akan diatur lebih lanjut dengan Perpres, yakni dan akan mengatur prasyarat kondisi, mekanisme, prosedur anggaran, limitasi waktu maupun kendali komando, itu diatur dengan Perpres. Ini juga barangkali bagian dari kebijakan politik seperti yang sudah diatur dalam undang-undang 34 Tahun 2004,” jelas Nasir. (RDB)

Exit mobile version