Site icon SuaraJakarta.co

Jurus Jokowi Atasi Macet Jakarta

Jakarta – Seperti hari yang sudah-sudah, Minggu sore itu Terminal Blok M padat manusia. Kondektur bus berpekik mencari penumpang.  Berpuluh orang antre di halte busway. Saban hari di terminal itu selalu begitu. Bus-bus tua itu seperti susah mencari penumpang, sementara berjubel orang menunggu Transjakarta.
Berbaris di antrean itu seorang lelaki garing. Tubuh tinggi berperawakan kurus. Begitu bus itu datang, dia segera menclot masuk. Sayang tak ada kursi kosong di sana. Mencari kursi kosong di Transjakarta memang susah. Apalagi petang seperti itu, keluh Jokowi seperti dilansir Vivanews.

Lelaki itu lalu berdiri. Memegang kuat gantungan agar  tubuh tak doyong di tengah bus yang melaju cepat. Dia berdesak-desakan dengan para penumpang lain yang berdiri.
Jika tak ada kamera dan kerumunan wartawan yang setia menguntit,  tak banyak yang menyadari sosok berbaju kotak-kotak merah dan biru itu. “Eh, ada Pak Jokowi… itu Pak Jokowi,”  kata sejumlah penumpang seperti terkejut. Sontak kehebohan terjadi. Ibu-ibu meminta foto bersama.

Selama 30 menit perjalanan Blok M-Stasiun Kota, Joko Widodo terus berdiri, meski satu demi satu penumpang turun dan meninggalkan kursi kosong. “Nggak, aku mau ngrasain berdiri sampai Jakarta kota,” kata Jokowi, menampik tawaran duduk.

Berkali-kali pandangannya menyapu interior TransJakarta. Dia melontarkan pujian. “Busway ini program bagus, hanya ada kekurangannya. Jumlah bus harus diperbanyak. Fasilitas feeder diperbaiki, jarak antara busway satu dengan lainnya tidak terlalu jauh. Juga diperbanyak koridor,” jelas Jokowi kepada para wartawan yang mengikuti perjalanan itu.

Joko Widodo, begitu nama lengkapnya, lahir di Solo, Jawa Tengah 21 Juni 1961. Meski karir politiknya bersinar dari Solo, Jokowi menyimpan banyak kenangan tentang Jakarta.  Kenangan itu datang dari masa lajang.
“Saya 27 tahun lalu tinggal di Jakarta, kondisi dulu sampai sekarang begini-begini saja, macet” kisahnya mengenang. Kopaja dan Metromini dari 27 tahun lalu itu sudah begitu. Warna-warninya dari dulu begitu. Kopaja hijau. Metromini oranye. Sudah tua-tua. Harus dibugarkan.

Jokowi mengenang Kopaja itu, Senin 19 Maret 2012.  Bersama calon wakil, Basuki Tjahaya Purnama, yang akrab disapa Ahok mereka menumpang Kopaja. Hendak mendaftar di KPUD di Budi Kemuliaan di Jakarta Pusat. Keduanya pulang jalan kaki. Memutar lewat Bundaran Hotel Indonesia, di tengah macet petang hari dan polusi yang membuat muka bersungut.

Jokowi dan Ahok menyusuri trotoar sepanjang Jalan MH Thamrin.  Keduanya mengaku jalan kaki guna mengukur seberapa penting dan nyaman trotoar ibukota. “Jelas trotoar penting bagi pejalan kaki,” katanya. Keduanya mengaku hendak berbakti untuk Jakarta. Itu sebabnya mereka maju ke pemilihan Pilkada 11 Juli 2012.

Jurus Anti Macet
Jokowi dan Ahok.  Besar di daerah. Yang satu di Solo Jawa Tengah, yang satu lagi di Belitung Timur, Kepulauan Bangka. Keduanya bertaruh karir di ibukota. Ada plus ada minusnya juga.
Sejumlah orang menyebut mereka pasangan bersih, sebab belum terkontaminasi “polusi” Jakarta. Tapi ada juga yang menyebut keduanya tak paham soal Jakarta. Terlalu polos untuk Jakarta yang keras. Terutama mengurai kemacetan yang dililit begitu banyak kepentingan.

Kemacetan Jakarta memang sudah terhitung parah. Diprediksi tahun 2014, dua tahun lagi, kota ini akan macet total. Keluar rumah langsung bertemu macet. Dan itu karena jumlah kendaraan membengkak cepat, sementara ruas jalan tidak bertambah.

Saban hari di Jakarta jumlah kendaraan 1.117. Itu data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Banyak sekali memang. Sementara pertumbuhan ruas jalan cuma sekitar 0,01 persen per tahun.
Lalu apa resep Jokowi untuk kemacetan yang hampir membuat seluruh penghuni DKI pusing tujuh keliling? Jokowi punya dua jawaban. Transportasi massal yang nyaman. Pertumbuhan mobil pribadi dikendalikan.
Dua hal itu adalah,” Faktor utama yang menyebabkan kemacetan.” kata Jokowi yang ditemui VIVAnews di halaman belakang rumah dinasnya di Solo Jawa Tengah. Mengatasi dua sebab utama itu, Jokowi sudah menyiapkan konsep  infrastruktur dan kebijakan.

“Untuk infrastruktur dalam pikiran saya harus ada trem dan monorel yang sekarang baru mulai tapi sudah berhenti. Itu harus segera dirampungkan. Untuk selanjutnya, adalah proyek subway harus segera dimulai,” katanya.

Lalu bagaimana nasib angkutan umum seperti Kopaja dan Metromini? “Harus diremajakan,” kata Jokowi. Agar mobil-mobil itu bisa tampil cantik dan tidak butut.  Bersamaan dengan itu, 15 koridor busway segera dirampungkan.

Tapi Jokowi punya rencana lain soal jalur Busway itu. Kalau seluruh koridor sudah dibangun, katanya, nantinya armada Transjakarta digeser ke koridor yang baru. Sementara jalur yang ada sekarang dipakai untuk Trem. Sebab, katanya, pola kereta ngangkut lebih banyak.

Rencana itu, katanya, tidak akan mengubah terlalu banyak sistem yang berlaku sekarang. Sebab yang diganti cuma moda transportasinya, bukan jalur. Dari bus menjadi kereta. Agar ramah lingkungan, trem itu akan pakai gas.

Itu rencana jangka pendek. Untuk jangka menengah, Jokowi mau bangun Monorel. Untuk jangka panjang, dia mau bangun subway atau kereta bawah tanah.

Jokowi juga mau mengatur soal kepemilikan mobil pribadi. Salah satu caranya tarif parkir mahal.”Nanti ditempat-tempat tertentu akan dikenakan biaya tarif mahal,” kata Jokowi.  Waktu keluar mobil juga diatur. Ke luar sekolah, mal dan lain-lain juga begitu. Rinci diatur.

Guna mempercepat semua rencana itu,  Jokowi akan membuat otoritas transportasi satu atap. Harus secara agresif bekerjasama dengan pemerintah di sekitar DKI. Sejumlah rencana itu, katanya, meniru apa yang dilakukan Bogota dan Bangkok, dua kota yang sukses mengatasi kemacetan.

“Mereka sudah menyelesaikan masalah kemacetan itu. Dulunya sama ruwetnya dengan Jakarta. Tetapi sekarang sudah berkurang banyak,” kata dia. Jokowi meyakini bahwa meski tidak tuntas mengatasi kemacetan, “Bisa menyelesaikan diatas lima puluh persen sudah luar biasa,” katanya.

Jokowi menyadari bahwa semua rencana itu mungkin tak ada yang sama sekali baru.  Bedanya, kata Jokowi, “Saya punya nyali.” [Vivanews/ Muhamad Solihin]

Exit mobile version