SuaraJakarta.co, JAKARTA – Maskapai Vietjet berencana untuk menjalankan rute penerbangan langsung Jakarta-Ho Chi Minh City mulai Desember tahun ini.
Salah satu yang menjadi perdebatan publik adalah maskapai tersebut dikenal memiliki pramugari berbikini yang melayani setiap penumpangnya di selama perjalanan di pesawat.
Namun demikian, Vice Director Commercial Vietjet Jay L Lingeswara menegaskan penggunaan “pakaian khusus” tersebut hanya untuk rute khusus dan tidak berbentuk bikini.
“Ini hanya untuk destinasi khusus dan hanya untuk one time event (sekali waktu), pramugari kami tidak berbikini, tapi menggunakan seragam yang manis (dengan celana pendek selutut dan kemeja), ini seragam kami yang sebenarnya,” jelas Jay usai acara pengumuman rencana pembukaan jalur Vietjet Ho Chi Minh City (HCMC) – Jakarta di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Selasa (22/8).
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun juga menjamin bahwa pramugari di maskapai kedua terbesar di Vietnam tersebut tidak akan menggunakan bikini.
“Pramugari dipastikan tidak berbikini. Saya sudah sampaikan karena Indonesia kan mayoritas penduduk muslim sehingga meminta mereka untuk menghargai,” tegas Budi Karya di kesempatan yang sama.
Menanggapi polemik di atas, Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris menyayangkan pemberian izin oleh Kemenhub tersebut. Sebagai senator dari DKI Jakarta, dirinya mendesak Kemenhub sebagai pemegang otoritas harus menjamin bahwa komitmen maskapai ini untuk menghadirkan pramugari berseragam sopan tidak dilanggar.
“Jika komitmen ini, termasuk janji mereka menyajikan makanan halal dilanggar, sanksinya harus yang paling tegas yaitu pencabutan izin. Ini konsekuensi dari sebuah komitmen,” ujar Ketua Komite III DPD Fahira Idris, sebagaimana rilis diterima suarajakarta.co, Jumat (25/8).
Menurut Fahira, strategi bisnis maskapai yang menjadikan ‘pramugari berbini’ sebagai tools marketing utamanya sama sekali tidak sesuai dengan etika bisnis penerbangan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia.
“Walau mereka berjanji tidak akan ada pramugari berbikini, tetapi prinsip bisnis mereka secara global yang menjadikan tubuh perempuan sebagai tools marketing sangat tidak etis. Bisnis bukan hanya soal profit tetapi juga harus ada etika, apalagi ini bisnis transportasi yang terkait langsung dengan publik,” pungkas alumni Fakultas Ekonomi UI ini. (RDB)