SuaraJakarta.co, TURKI – Turki dibangun pada 1923 oleh Kemal At Tatturk menjadi sebuah negara yang dibangun atas nilai-nilai sekularisme. Salah satu nilai yang dianut adalah pelarangan wanita mengenakan busana Muslimah.
Itu dulu, ketika militerisme Turki masih menggenggam kehidupan sosial dan politik. Namun, ketika pucuk kekuasaan dikuasai AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan), nilai-nilai sekularisme Turki secara perlahan mulai tercerabut.
Perubahan ini tidak lepas dari tangan dingin Recep Tayyep Erdogan yang membawa Islam kompatibel dengan perkembangan zaman. Dalam hal busana, misalnya, kelompok menengah kini memandang tidak ada yang salah dengan hijab dan modernitas.
Para pekerja wanita tetap tampil modis ketika mengenakan pakaian yang menutup aurat. Modis penting, namun lebih penting mengikuti syariat Islam. Itu salah satu pandangan yang disampaikan oleh Hulya Aslam, editor majalah Ala, yang memfokuskan pada segmen wanita.
“Ketika Anda bekerja di bidang busana Muslimah, Anda berada dalam sebuah garis yang lurus. Pekerjaan saya lebih berat dibandingkan dengan majalah fashion lainnya. Kami tidak bisa mengenakan pakaian pendek pada model kami, ataupun yang ketat. Ini sudah ditentukan dalam agama kami, dan ini tantangan untuk disesuaikan dalam definisi modis,” ujarnya seperti dikutip dari aljazeera.net, Sabtu (9/5).
Pernyataan seperti itu memang menggambarkan kondisi kehidupan sosial politik Turki saat ini. Banyaknya kesadaran Muslimah di sana untuk mengenakan hijab, menyebabkan para desainer mengikuti keinginan pasar.
Di era 90-an, hijab didefinisikan sebagai konservatisme dan kekolotan. Bahkan, ada sebutan khusus pakaian hijab di Tukri, yakni pardessus. Sebuah pakaian layaknya burqa yang hanya menampilkan wajah dan berwarna hitam.
“Berhijab diartikan sebagai pardessus dan burqa hitam. Pardessus ini sangat tidak fashionabel, sangat jelek. Kebanyakan wanita enggan mengenakan pakaian seperti itu karena tidak menarik” ujar Aslam.
Namun, seiring perkembangan zaman, banyak desainer pakaian yang menawarkan model pakaian syari yang enak dipandang dan tentunya modis.
“Ini menjadi alternatif cara berpakaian yang diterima oleh mayoritas Muslimah yang ingin menutup aurat mereka sesuai syariat Islam,” jelasnya.
Realitas ini menunjukkan nilai-nilai pemisahan agama dan kehidupan sehari-hari di Turki mulai luntur. Pro kontra tentang feminisme pun beranjak usang karena meningkatnya jumlah wanita di negara tersebut yang mengenakan hijab, tentunya dengan mengikuti mode yang tengah “in” pada saat ini. (aljazeera.net)