Site icon SuaraJakarta.co

Islamophobia Ternyata Jadi Bisnis yang Menggiurkan

Perang melawan Islam ternyata menjadi bisnis yang menggiurkan. Ejekan dan hinaan terhadap Al Quran dan sosok Nabi Muhammad terjadi silih berganti di negara-negara barat. Ini tentu menjadi pertanyaan, bagaimana seharusnya umat Islam menjalani hidup di negara-negara Barat. Pertanyaan ini menarik karena upaya mendiskreditkan Islam ternyata memberi keuntungan bagi sebagian orang.

Seorang peneliti asal Amerika, Nathan Lean, mengumumkan hasil investigasinya terkait Islamophobia. Lean merupakan penulis buku Best Seller yang berjudul The Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Fear of Muslims (Industri Islamophobia: Bagaimana Sejumlah Produsen Menakuti-nakuti Muslim).

Lean yakin Islamophobia menjadi bisnis yang menggiurkan. Bahkan mereka yang mengambil keuntungan dari bisnis ini, mendapat upah yang meroket, baik yang memproduksi atau sekedar memberi kontribusi.

Berikut ini hasil wawancara Fair Observer dengan Nathan Lean tentang Islamophobia yang semakin memuncak di Barat, dan bagaimana ketakutan Muslim menjadi komoditas menguntungkan bagi korporasi media massa raksasa. Wawancara ini dikutip dari www.thecorner.eu.

Kourosh Ziabari: Islamophobia telah meningkat di AS dan Eropa selama beberapa dekade belakangan ini. Bahkan, peristiwa Black September dan reaksi Pemerintah AS kepada negara-negara Muslim, telah meningkatkan secara intensif sikap anti Islam. Apakah Anda setuju dengan premis yang menyebutkan bahwa perang melawan teror sejatinya adalah perang melawan Muslim?

Nathan Lean: Konsekuensi dari apa yang disebut “Perang Melawan Terorisme” adalah melahirkan premis “Musuh Luar Negeri, Ancaman Dalam Negeri”. Retorika Bush dan Obama sejauh ini menempatkan umat Islam di Amerika Serikat pada pengawasan khusus.

Kita bisa melihat begitu banyak diskriminasi keberagamaan yang semuanya itu atas nama keamanan nasional. NYPD bekerja sama dengan CIA untuk memata-matai komunitas Muslim di New York. Pada kasus lain, masjid diopinikan sebagai markas teroris. FBI membayar informan untuk menyusup ke dalam masjid dan menjebak Muslim.

Pada kasus di California, salah seorang informan bahkan diperintahkan untuk tidur dengan seorang Muslimah.

Kementerian Amerika bersama keimigrasian federal acap kali menunda atau menolak permohonan visa, paspor dan kewarganegaraan tanpa ada dasar sama sekali, kecuali hanya karena si pemohon memiliki nama atau berasal dari negara muslim.

Kongres Amerika juga menggelar “hearing” terhadap radikalisasi kasus McCarthy dengan komunitas Muslim, padahal tidak ada bukti keterkaitan mereka dalam kasus ini. Dan yang terbaru adalah Gedung Putih mengumumkan Program Konter Kekerasan & Ekstremisme, yang tidak lain diarahkan kepada komunitas Muslim Amerika.

Semua fakta ini semakin menguatkan asumsi bahwa Muslim adalah ancaman keamanan dan harus diawasi. Ini semakin menguatkan bahwa terorisme adalah masalah keagamaan yang unik, dan menjadikan Islam secara khusus sebagai pihak yang disalahkan. Saya ragu-ragu untuk menyebut ini semua sebagai “perang melawan Islam”, karena terorisme ini sudah menjadi semacam retorika sipil.

Ziabari: Orang-orang seperti Geert Wilders dan Pastor Terry Jones, yang secara terbuka menistakan Al Quran, juga media seperti Jyllands Posten dan Charlie Hebdo, menghina Nabi Muhammad melalui kartun, beralasan itu semua sebagai kebebasan berbicara. Apakah alasan kebebasan berbicara ini seimbang dengan apa yang diyakini oleh 1.6 miliar Muslim di seluruh dunia?

Lean: Charlie Hebdo dan Jyllands Posten memiliki hak untuk menyiarkan kartun-kartun mereka. Namun, memiliki hak bukan berarti apa yang mereka lakukan itu benar. Di Barat, kebebasan berbicara itu berubah pesat menjadi sebuah senjata. Kami tidak memperjuangkan kebebasan itu seperti kami memperjuangkan dengannya.

Menekan kelompok minoritas di AS dan Eropa dengan dalih nilai-nilai demokrasi liberal, itu tidak akan banyak membantu. Apakah Perancis menjadi lebih baik karena membiarkan kartun Muhammad dilecehkan, dan mengakibatkan dua orang membantai 12 lainnya? Apakah masyarakat Perancis memperoleh kebaikan dari peristiwa tersebut?

Kita menengok ke belakang, apakah kebebasan di Denmark meningkat dan kesetaraan sosial di sana membaik, hanya karena adanya kartun kontroversial?

Di Amerika Serikat, iklan anti Islam bodoh yang dipajang di bus oleh Pamela Geller, apakah itu kebebasan sejati yang dianut bangsa Amerika?

Tidak. Tidak ada dari itu semua yang memberikan kontribusi terhadap masyarakat yang lebih sehat. Semua “Kebebasan Berbicara” ini hanya pesan yang berisi prasangka. Mereka menargetkan adanya alienasi dan marjinalisasi sebuah kelompok masyarakat.

Ini menjadi sebentuk upaya meneguhkan bagaimana menjadi orang Amerika atau Eropa sejati. Umat Islam dipaksa menerima penghinaan tokoh-tokoh yang dianggap suci di khalayak publik. Bahkan, kebebasan berbicara ini menjadi hiburan atas nilai-nilai, seperti karikatur dan tokoh yang dijadikan figur, untuk kemudian dinistakan.

Tentu, di sini ada hipokrasi yang jorok. Di Perancis, bahasa anti semit – sama dengan Islamophobia – akan menempatkan Anda dalam kurungan penjara.

Pada 2008, aktris Bridget Bardot didakwa untuk kelima kalinya karena pidato yang berisi menghasut kebencian rasial terhadap umat Islam.

Tiga tahun kemudian, perancang busana John Galliano dihukum karena mengucapkan komentar “Anti Semit” di sebuah kafe. Dalam kasus serangan terhadap Charlie Hebdo, 54 orang ditahan karena kasus kriminal yang ambigu “apology of terrorism”.

Kebebasan berbicara menjadi sakral bagi sebagian orang sesuai dengan nilai-nilai keberagamaan mereka. Ketika menguntungkan, maka kebebasan berbicara diterima. Ketika tidak menguntungkan, mereka menolaknya.

Ziabari: Jumlah Muslim di Eropa dan Amerika Serikat terus meningkat. Kebanyakan Muslim adalah imigran yang datang dari negara berkembang ke Barat untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ketika sampai di Barat, kebanyakan Muslim merasa hak-hak sipil dan kebebasan mereka dibatasi. Apakah pemerintah di negara-negara Barat ini tidak bertanggungjawab atas keamanan dan kesejahteraan Muslim minoritas ini?

Lean: Amerika dan Eropa memiliki kewajiban untuk mendukung hak-hak setiap orang yang menjadi negara mereka sebagai tempat tinggal.

Pada kenyataannya, pemerintah menjadi lembek dan sering kali sebagai institusi yang menyedihkan jika terkait persoalan ini. Para pemimpinnya sering mengkampanyekan berbagai nilai, namun kebijakannya selalu berkaitan dengan kepentingan tertentu.

Seorang anggota kongres di Amerika Selatan sedikit sekali insentif yang diberikan untuk memfasilitasi pembangunan masjid atau meringankan diskriminasi agama terhadap umat Islam di tempat kerja. Hal yang sama juga berlaku di beberapa daerah di Eropa. Politisi di Austria dan Belgia harus melayani keinginan kelompok yang memilih mereka.

Politik domestik yang seperti ini juga berkaita erat dengan peristiwa luar negeri-dalam hal kasus ISIS- akhirnya menabur kecemasan di dalam negeri, kemudian memperkuat identitas nasionalisme.

Di Eropa dan AS, ini bisa diartikan penguasaan rasial dan kelompok agama yang mayoritas (non Islam) atas minoritas (Islam).

Ziabari: Statistik menunjukkan semua serangan teroris di Eropa dan AS, sangat sedikit jumlahnya yang dilakukan oleh Muslim. Misalnya, sebuah survei di Eropa menunjukan pada tahun 2010, dari 249 serangan teroris, hanya tiga kasus yang dilakukan Muslim. Jumlah ini kemudian dijadikan para politisi, penegak hukum dan media untuk diulang-ulang dalam pembicaraan tentang ancaman fundamentalisme Islam dan teroris Islam. Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu?

Lean: Benar bahwa jumlah serangan teroris yang dilakukan Muslim di Eropa sangat sedikit, dibandingkan kelompok lain. Di Amerika Serikat pun demikian. Universitas North Carolina dan Pusat Triangle Terorisme dan Keamanan Nasional meluncurkan laporan penelitian pada 2014, yang menunjukkan sejak serangan Black September, Muslim yang terhubung dengan terorisme hanya membunuh 37 orang di AS. Jauh dengan 200 ribu orang yang dibunuh dalam kekerasan kontak senjata pada periode yang sama.

Menjadi masalah, bagi kebanyakan orang Eropa dan Amerika, Islam dan Umat Islam adalah orang asing. Mereka keluar “dari sebelah sana”, dan mereka ada di luar batas-batas “kami”. Maka ketika berbicara terorisme, terorisme dalam negeri dikaitkan dengan terorisme luar negeri.

Kelompok seperti ISIS, Boko Hara, Taliban dan Al Qaeda. Kelompok-kelompok ini memang membunuhi banyak orang. Citra ini, yang oleh media massa mainstream diulang-ulang, menjadi tidak imbang penggambarannya terkait muslim yang anti kekerasan.

Ini semua karena cara pandang yang keliru yang berakibat kemudian pada kesimpulan muslim teroris domestik sebagai ancaman paling besar.

Ziabari: Ya, sebagaimana Anda katakan, kebangkitan kelompok teroris ISIS telah memberikan kontribusi secara signifikan pada meningkatnya sentimen anti Islam di seluruh dunia. Kondisi ini membuat mereka yang anti Islam semakin percaya bahwa ISIS benar-benar perwakilan Muslim dunia dan semakin meningkatkan keraguan bahwa Islam itu ajaran yang cinta damai. Menurut Anda, seberapa besar kemungkinan untuk membuat rasa skeptis bawah ISIS tidak ada hubungannya dengan Islam, dan mayoritas ulama Muslim dunia. Bahkan, Sunni dan Syiah, sama-sama menolak kebiadaban mereka membunuh anak-anak, wanita dan orang tak bersalah?

Lean: Apa yang bisa membuat masyarakat dunia paham bahwa ISIS tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam yang dipraktekkan oleh 1,6 miliar Muslim? Maka jawabnya satu kata: waktu.

Prasangka-prasangka seperti ini tidak mudah diatasi. Untungnya, Muslim saat ini memiliki perangkat untuk melawan balik prasangka dan kesalahpahaman informasi ini. Walaupun internet menjadi tempat berkembang biak bagi Islamophobia, namuna dia juga menjadi tempat yang cepat untuk menawarkan pandangan berbeda dengan melalui gambar-gambar viral atau ekspresi lainnya.

Budaya pop juga memainkan pengaruh atas mayoritas. Banyak aktor dan komedian, rata-rata non Muslim, yang menggunakan platform mereka untuk menyuarakan perlawanan mis-informasi dengan target adalah kelompok-kelompok Muslim.

Suara-suara Muslim pun kemudian menjadi tayangan feature di banyak tempat, seperti film, televisi dan radio. Rakyat Amerika dan Eropa kemudian menjadi nyaman dengan pemikiran bahwa kelompok-kelompok seperti ISIS ini adalah penyimpangan.

Ziabari: Di dalam buku Anda, Anda menyebut Islamophobia sebagai industri. Apakah menurut Anda Islamophobia ini benar-benar dijadikan sebagai sebuah industri? Apakah ada upaya sistematis yang memang tugasnya adalah membuat orang takut terhadap Muslim? menjadikan Muslim ini sebagai setan yang bertanggungjawab atas apa yang terjadi saat ini?

Lean: Industri Islamophobia ini bukan seperti industri mobil. Tidak ada perusahaan besar, konglomerasi, CEO atau peralatan. Industri yang dimaksud di sini lebih pada rasa. Sebuah jaringan yang eksis, satu terhubung dengan kelompok atau individual yang tersebar di berbagai benua. Banyak yayasan raksasa yang memiliki puluhan juta dolar Amrika, (Donor’s Capital Fund, Scaife Foundation, Bradley Foundation, dsb). Mereka menyumbangkan uang ke banyak organisasi pemikiran atau organisasi yang mirip-mirip intelektual seperti Clarion Project, Middle East Forum, Horowitz Freedom Center, Center for Security Policy, dsb. Sudah tentu organisasi ini yang merefleksikan kepentingan ideologi pendonor.

Organisasi ini kemudian mengembangkan ke orang-orang yang memproklamirkan dirinya sebagai ahli Islam, ahli Timur Tengah, pakar terorisme, pakar keamanan nasional, seperti Daniel Pipes, Robert Spencer, Zuhdi Jasser, Steven Emerson, Frank Gaffney.

Pabrik-pabrik individual ini kemudian berbicara tentang Muslim dan Islam, ancaman hukum syariat di AS, dukungan mempengaruhi keberadaan Ikhwanul Muslimin dsb. Projek ini kemudian disebarluaskan oleh blogger dan aktivis semacam Pamela Geller, Brigitte Gabriel dan Walid Shoebat, yang mereka itu dibayar tinggi untuk menyebarluaskan idelogi pendonor.

Kelompok-kelompok ini, yang memiliki pandangan politik konservatif dan garis keras mendukung Israel, menjadi bagian dari “wadah pengeras suara” seperti Jihad Watch, Atlas Shrugs, BareNaked Islam, Gates of Vienna, Blazing Cat Fur, dsb).

Sebagai tambahan, dari hasil penjualan buku best seller mereka, jualan keliling, biaya konsultasi dan acara publik lainnya, pabrik-pabrik individual ini mendapat bayaran sangat tinggi hingga ratusan dollar Amerika setiap tahunnya.

Ziabari: Dengan aturan apa korporasi media memainkan isu Islamophobia? Organisasi media di Barat sangat membanggakan kejujuran, transparansi dan independensi. Apakah mereka mendapat “oder” dari pemerintah? Atau kah mereka memang melakukan kampanye anti Muslim sebagai bagian dari kebijakan editorial mereka?

Lean: Media memainkan peranan utama dalam isu Islamophobia. Walaupun mereka tidak punya kepentingan apapun dari pemerintah, namun pada kenyataannya mereka menghadirkan banyak cerita yang isinya adalah penggambaran Islam terhadap audiens. Setidaknya ada tiga masalah media terkait masalah ini.

Pertama, suara-suara Muslim mayoritas tidak terdengar. Lebih sering, non Muslim yang berbicara tentang Muslim. Media sering menghadirkan non Muslim sebagai pembawa acara, reporter, produser atau siapa pun yang bisa membawa nuansa dan kompleksitas pembicaraan tentang Islam.

Kedua, media massa berita adalah perusahaan bisnis dan uang datang dari iklan, yang bisa didapat dengan rating tinggi. Cara untuk meraup uang adalah dengan memperbanyak jumlah penonton. Dan cara untuk mempertahankan penonton adalah membiarkan mereka larut dalam cerita yang itu-itu saja.

Jadi, bagaimana Anda mempertahankan penonton yang terpaku pada sebuah cerita manakala reportase yang ada minim informasi, misalnya, terkait ledakan yang terjadi di salah satu tempat di bumi ini? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan utama ini yang membiarkan cerita-cerita tersebut berjalan. Daripada memberitahu audiens atas informasi lanjutan yang ada,reporter acap kali mengajukan pertanyaan yang sifatnya menyimpulkan, berhipotesa, menyindir, menduga-duga dan sebagainya.

Mereka lebih suka melakukan ini ketimbang melaporkan fakta-fakta yang mudah. Misalnya seorang pembawa acara bertanya “Apakah kita memiliki informasi bahwa serangan ini di Kansas dilakukan oleh teroris Islam?” atau yang lainnya “Apakah Al Qaeda atau ISIS yang berafiliasi di Eropa berada di belakang serangan ini?”

Kita dengar misalnya “Tidak ada indikasi pada titik awal bahwa ekstrimis Muslim terlibat.” Namun tiba-tiba, kemungkinan Islam dan Muslim terlibat menjadi ada, dengan upaya melanggengkan pemikiran bahwa umat Islam adalah memang layak menjadi tersangka. Cerita sensasi ini, benar atau tidak, kemudian akan hinggap di orang-orang yang menyaksikan televisi mereka.

Ketiga, dalam beberapa kasus, jurnalis melanggar etika pemberitaan dan sengaja mengobarkan kasus ini. Fox News dengan figur Sean Hannity dan Bill O’Reilly telah mengurai dengan panjang secara on air tentang “Jihad” ini atau “Shariah” itu.

Studi pada tahun 2011 oleh Thinkprogress menunjukkan bahwa Foxnews secara tidak proporsional telah menampilkan kata Islam radikal lebih sering dibandingkan dengan kompetitornya.

Berdasarkan dokumen yang dapat dipercaya, Kepala Fox, Roger Ailes, adalah sosok yang mengatur pemberitaan berdasarkan cara pandangnya yang paranoid terhadap Islam. Dia bahkan pernah dilaporkan melakukan kekerasan terhadap Muslim ketika seorang petugas kebersihan di kantornya ketahuan memakai “pakaian Muslim”.

Ziabari: Pertanyaan terakhir. Saya coba angkat kembali pernyataan Anda dahulu. Ketika September 2012 saat Anda diwawancara Mingguan Al Ahram, Anda mengatakan para pembenci Islam dan kelompok sayap kanan Ekstrim di Amerika Serikat menggelontorkan ribuan dollar setiap tahunnya untuk membuat pernyataan kontroversial dan menyebarkan kebencian terhadap Muslim. Bagaimana ini terjadi? Apakah Anda hendak menyimpulkan bahwa Islamophobia adalah bisnis yang menggiurkan bagi kelompok sayap kanan dan neo-konservatif?

Lean: Islamophobia adalah industri yang menggiurkan. Gaji yang diberikan lumayan bagi sebagian orang. Mereka yang menghabiskan hidupnya untuk bekerja mempromosikan kejelekan-kejelekan Islam.

Ambil contoh blogger Pamela Geller. Dari data pajak menunjukkan dia menerima gaji secara berkala dari American Freedom Defense Initiative sebesar lebih dari USA $200 ribu. Dia juga mendapatkan uang dari royalti buku, donasi untuk web-nya dan pidato di hadapan umum.

Robert Spencer, seorang New Hampshier, yang berbasis Katolik, yang menjadi aktivis di Jihadwatch, menerima upah setiap tahunnya dari David Horowitz’s Freedom Center.

Franck Gaffney, yang memiliki lembaga pemikiran DC, menerima upah 300 ribu dollar Amerika Serikat pada 2011. Ada pula David Yerushalmi yang memperjuangkan legislasi anti Shariah, menerima bayaran 150 ribu dollar Amerika, di luar bayaran konsultasi hukum dari Gaffney dan klien lainnya.

Organisasi Clarion, yang memproduksi film anti Islam Obsession, menerima dana lebih dari 18 juta dollar Amerika, ini di luar pemasukan dari film sebesar 6 dollar Amerika dalam beberapa tahun belakangan. Dewan Hubungan Islam Amerika melaporkan, dalam kurun waktu 2008 hingga 2011, 37 organisasi berbeda memperoleh total bayaran hingga 120 juta dollar Amerika.

Wawancara ini merupakan pandangan pribadi narasumber. Tidak menjadi pandangan dan kebijakan editorial Fair Observer.

Diterjemahkan oleh: Mohamad Fadhilah Zein

Exit mobile version