SuaraJakarta.co, JAKARTA – Terungkapnya rencana Pesta Bikini Pelajar SMA di Jakarta dan Bekasi untuk merayakan berakhirnya Ujian Nasional (UN) dengan acara yang bertajuk ‘Splash after Class‘, sungguh sangat mengkawatirkan. Acara ini sedianya akan digelar pada 25 April mendatang di kolam renang di sebuah Hotel di bilangan Jakarta Pusat.
Apabila selama ini kita sering mendengar para pelajar selepas UN mencoret-coret baju, namun saat ini para pelajar tersebut tindakannya sudah semakin mengerikan, bahkan sangat jauh dari nilai-nilai ketimuran. Perilaku yang dilakukan para pelajar ini adalah cermin salah satu kegagalan pemerintah dalam mengawal pendidikan di Indonesia. Harapan besar revolusi mental yang dicanangkan pemerintah belum dirasakan dalam dunia pendidikan.
Kondisi memperihatinkan generasi muda Indonesia ini mendapat perhatian dari sejumlah kalangan, salah satunya adalah seorang Aktivis dan praktisi hukum.
“Disamping peran orang tua dalam memberikan pengawasan kepada anak-anaknya namun ada juga peran pemerintah dalam menjaga moral anak bangsa karena bagaimanapun juga anak-anak tersebut adalah generasi bangsa ini yang harus di jaga dan diberikan perhatian khusus itulah mengapa lahirnya Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi”, Ujar Sylviani Abdul Hamid Direktur Eksekutif SNH Advocacy Center.
Lanjut Sylviani, bahwa acara semacam ini, pesta bikini di sebuah hotel mewah merupakan ciri kehidupan glamor dan tidak sesuai dengan nilai. Kita punya aturan UU Pornografi dalam Pasal 10 kita dilarang mempertontonkan hal-hal yang berbau pornografi di muka umum. Jika melanggar, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Sementara itu, di dalam Pasal 43 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, kita juga dilarang memberikan fasilitas sebagai tempat untuk berbuat asusila. Jika melanggar, maka dapat dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah), ujar Sylviani mengingatkan.
Sylviani menghimbau kepada Pemerintah yang mengusung Jargon Revolusi Mental melalui Kementerian Pendidikan Nasional untuk mengeluarkan surat edaran kepada sekolah-sekolah yang berisi larang kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan mengantinya dengan melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. (MD)