Site icon SuaraJakarta.co

Kinerja Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Menangani Pandemi Covid-19

SuaraJakarta.co - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Penanganan wabah virus corona baru (Covid-19) di Indonesia mendapat sorotan dunia. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sampai meminta Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan mekanisme tanggap darurat menghadapi penanggulangan pandemi virus corona.

Saat ini status bencana nasional sudah ditetapkan. Per (19/3/2020) sudah 309 orang positif terinfeksi, dengan 25 orang meninggal.

Penanganan krisis corona oleh pemerintah menjadi sorotan warga. Warga menunggu-nunggu setiap informasi dan arahan dari pemerintah pusat dan daerah. Wabah Corona yang sudah menyebar ke beberapa provinsi membuat peran kepala daerah juga ditunggu.

Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP) melakukan pelacakan dan pemantauan kinerja pemerintah yang terekam media daring dan media sosial. Pemberitaan dan percakapan dilacak (crawling and tracking) dengan menggunakan kata kunci yang relevan.

“Lalu, hasil pelacakan dilihat jumlah mention dan porsi perbincangan, potensi jangkauan dan sentimen yang berkembangan di kalangan netizen. Dari situ akan tergambar kinerja virtual sejumlah instansi pemerintah dalam kacamata netizen,” papar Direktur Eksekutif LKSP Astriana B Sinaga di Jakarta.

Astriana mengatakan, pelacakan dilakukan pada tiga periode, yakni saat wabah pertama kali muncul (18 Desember 2019 – 1 Maret 2020), saat pengumuman pertama pasien terpapar Covid-19 di Indonesia (2 – 12 Maret 2020), dan ketika terbentuk Satgas Penanggulangan Covid-19 yang dikomandani Kepala BNPB.

Pada periode pertama, empat lembaga pemerintah terlihat menonjol, yaitu: Presiden Jokowi (jumlah mention 7.359 dan porsi pembicaraan 87,97 persen), Gubernur Jawa Barat (393 dan 4,70 persen), Gubernur DKI Jakarta (275 dan 3,29 persen), dan Menteri Kesehatan RI (270 dan 3,23 persen).

Pada periode kedua, saat pengumuman korban pertama warga terpapar Covid-19, Presiden Jokowi tetap mendapat perhatian utama dengan 73.76 persen porsi perbincangan atau 10.578 mention, tapi kini diikuti Gubernur DKI Jakarta (13.63 persen atau 1.955 mention).

“Pada periode ketiga, ketika ditetapkan Satgas Covid-19, posisi Gubernur DKI Jakarta semakin membayangi Presiden Jokowi dengan porsi perbicangan 24.34 persen atau 3.768 mention. Sementara Presiden Jokowi teratas dengan 48.96 persen perbincangan atau 7.579 mention,” ungkap Astriana.

Jangkauan

Dari segi jangkauan, ujar Astriana, Presiden Jokowi memiliki potensi paling besar dalam periode pertama dengan menjangkau 91,05 juta akun/viewers melalui kanal Twitter (41,95 persen) dan Facebook (39.09 persen).

Kemudian diikuti oleh Gubernur DKI Jakarta (55,33 juta), Menteri Kesehatan RI (30,46 juta) dan Gubernur Jawa Barat (3,22 juta). Twitter dan Facebook merupakan kanal yang paling banyak digunakan.

Pada periode kedua, potensi jangkauan netizen menjadi lebih besar. Presiden Jokowi (132,66 juta akun/viewers), Gubernur Jawa Barat (66,78 juta), Gubernur DKI Jakarta (51,25 juta), Menteri Kesehatan RI (32,29 juta) dan Gubernur Banten (27,18 juta) menduduki posisi lima besar. Twitter, Facebook dan Instagram merupakan kanal paling banyak digunakan.

Periode ketiga mencatat puncak jangkauan Presiden Jokowi (104,59 juta akun/viewers) dibayangi Gubernur DKI Jakarta (75,01 juta), Ketua Satgas Covid-19 (73,00 juta), Gubernur Jawa Tengah (52,74 juta) dan Gubernur Banten (47,18 juta). Kanal Facebook lebih unggul daripada Twitter untuk periode ini.

Potensi jangkauan Gubernur Jawa Barat menurun (26,05 juta), diikuti Jubir Covid-19 (2,51 juta), Walikota Solo (1,63 juta), Menteri Kesehatan RI (1,33 juta), Walikota Depok (177.900), Walikota Bogor (131.060), dan Walikota Surabaya (55.100). Media mainstream berperan dominan, kecuali untuk Gubernur Jabar (Facebook) dan Walikota Surabaya (Twitter).

Sentimen

Astriana mengatakan, pada periode awal sentimen netizen cenderung netral. Sentimen negatif terhadap Presiden Jokowi (4,67 persen), Menteri Kesehatan RI (4,44 persen), Gubernur DKI Jakarta (2,18 persen) dan Gubernur Banten (5,00 persen). Periode ini ditandai sikap pemerintah pusat yang dipandang lamvat dan sikap pemda yang cepat berinisiatif (DKI Jakarta dan Banten).

Namun, Gubernur Banten juga mendapat tanggapan positif (25,00 persen), sebagaimana Presiden Jokowi (26.85 persen), Menteri Kesehatan RI (18.89 persen), Gubernur DKI Jakarta (12,00 persen), Gubernur Jawa Tengah (10,87 persen), dan Gubernur Jawa Barat (9,41 persen). Gubernur Jabar cukup mengesankan karena belum ada sentimen negatif pada periode ini.

Pada periode kedua, sentimen negatif tertuju kepada Menteri Kesehatan RI (11,70 persen), Walikota Depok (7,94 persen), dan Presiden Jokowi (6,11 persen). Kasus terbukanya identitas pasien Covid-19 mewarnai periode ini. Respon negatif netizen juga tertuju kepada Gubernur DKI Jakarta (4,25 persen), Gubernur Jawa Tengah (2,12 persen), Gubernur Jawa Barat (0,54 persen), dan Gubernur Banten (0,49 persen).

Periode ketiga ditandai sentimen negatif kepada Jubir Covid-19 (10,84 persen), Menteri Kesehatan RI (6,78 persen), Walikota Surabaya (5,58 persen), Walikota Solo (4,55 persen), Gubernur DKI Jakarta (4,23 persen) dan Presiden Jokowi (3,22 persen).

Astriana mengatakan, interaksi lembaga pemerintah di jagat virtual mengalami fluktuasi sebagaimana terlihat dalam jumlah mention, jangkauan atau sentimen yang berkembang. Akumulasi dari semua aspek itu akan membentuk Social Reputation Score (SRS).

“Secara umum, skor reputasi sosial lembaga pemerintah di atas rerata (50 persen), hanya Walikota Solo (47,73) yang reputasinya di bawah rerata.

“Secara umum netizen tidak puas terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintah, terlihat dari skor reputasi Presiden Jokowi hanya (56,31) sedikit di atas rata-rata,” papar dia.

Lembaga pemerintah yang mendapat porsi perbincangan dan jangkauan luas, seperti Gubernur DKI Jakarta (52,74), Gubernur Jawa Barat (53,31), Ketua Satgas Covid-19 (55,54), dan Menteri Kesehatan RI (53,93) juga meraih skor reputasi tidak menggembirakan.

“Hal itu harus menjadi cambuk bagi pemerintah, agar menghilangkan segala bentuk kontraversi kebijakan yang terlihat nyata di depan publik,” ungkap Astriana.

Astriana menyebut, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menambah kebingungan dan kecemasan publik.

Padahal berdasarkan data perkembangan jumlah pasien, Indonesia baru memasuki tahap awal persebaran virus corona, bila dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain. “Tidak terbayangkan, bagaimana kondisi yang dialami masyarakat, bila terjadi puncak ledakan Covid-19,” katanya. [*]

Exit mobile version