SuaraJakarta.co, JAKARTA – Penangkapan Ustad Muhammad Basri Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an pada Jum’at lalu menyisakan sisi lain dari bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Aksi penangkapan yang dinilai sangat tidak manusiawi dan melanggar hak asasi tersebut banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Belakangan ramai dibicarakan terkait dengan kitab suci umat Islam yang dijadikan salah satu barang bukti oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88).
Direktur Eksekutif SNH Advocacy Center, Sylviani Abdul Hamid mengingatkan pemerintah dalam hal ini Densus 88 untuk segera meminta maaf kepada umat Islam yang telah menjadikan Al-Qur’an sebagai barang bukti apabila informasi ini benar adanya. Lebih lanjut Sylvi mengatakan, dalam Pasal 40 KUHAP disebutkan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana sebagai barang bukti.
“Kalau kita mengacu Pasal 40 KUHAP, maka Al-Qur’an dianggap oleh Densus 88 merupakan salah satu benda pendorong atau pemicu tindak pidana. Ini pelecehan,” kata Sylvi yang dihubungi melalui telepon selulernya.
Sylvi memaparkan bahwa Densus sudah melanggar Pancasila sebagai falsafah bangsa sebagai norma tertinggi. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila merupakan pedoman utama yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap warga Negara, terlebih lagi institusi POLRI sebagai bagian penopang dan penjaga nilai-nilai luhur Pancasila.
“Seharusnya Densus yang menjadi garda terdepan menyelamatkan dan meninggikan nilai-nilai Pancasila,” ujar Sylvi.
Aksi yang dipertontonkan oleh Densus terhadap para kiayi dan kalangan ulama sangat menghawatirkan dan Sylvi khawatir ada gerakan lain yang menunggangi pembungkaman ulama dan kiayi.
“Kekhawatiran itu muncul disebabkan penanganan berlebihan yang ditunjukkan oleh Densus kepada para pemuka agama Islam.” tutup Sylvi. (HK).