Oleh: Slamet (Kuasa Hukum Fahri Hamzah dan Ketua Bidang Hukum KAKAMMI)
SuaraJakarta.co, JAKARTA – Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan.
Istilah Eksekusi berasal dari Bahasa Belanda, Executeren, executie berarti melaksanakan, menjalankan, pelaksanaan, penjalanan. R. Subekti dan Ny. Retnowulan, mengartikan eksekusi berarti pelaksanaan putusan.
Eksekusi berarti melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan alat negara apabila pihak yang kalah (tereksekusi) tidak mau menjalankan secara sukarela.
Putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijde) adalah putusan Pengadilan Negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara atau putusan perdamaian, atau putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding; atau putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; atau putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu: (i) Putusan declaratoir; (ii) Putusan constitutief; (iii) Putusan condemnatoir;
Putusan declaratoir adalah putusan yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu dieksekusi.
Demikian juga dengan putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan.
Sedangkan putusan condemnatoir merupakan putusan yang bisa dilaksanakan, yaitu putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu.
Pasal 225 HIR/259 Rbg, menyebutkan bahwa : “Jika seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tidak melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak yang menang perkara boleh meminta kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya, entah dengan syarat, entah dengan lisan, supaya keuntungan yang sedianya akan didapatnya jika keputusan itu dilaksanakan, dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukannya dengan pasti; permintaan itu harus dicatat jika diajukan dengan lisan.”
Penerapan Pasal 225 HIR/ 259 Rbg harus terlebih dahulu ternyata bahwa Termohon/Para Tergugat tidak mau melaksanakan putusan tersebut.
Dalam hal demikian, Pemohon dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan perbuatan yang harus dilakukan oleh Termohon.
Untuk memperoleh jumlah yang sepadan, Ketua Pengadilan Negeri wajib memanggil dan mendengar Termohon eksekusi dan apabila diperlukan Ketua Pengadilan Negeri dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang tersebut.
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (Pasal 200 HIR, Pasal 214 s/d Pasal 274 RBg).
Eksekusi harus dilaksanakan dengan tuntas. Apabila eksekusi telah dilaksanakan, dan barang yang dieksekusi telah diterima oteh pemohon eksekusi, kemudian diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya.
Apakah Peninjauan Kembali dapat menunda eksekusi?
Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 (“UUMA”), disebutkan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan. Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita simpulkan bahwa upaya Peninjauan Kembali (“PK”) tidak akan menunda pelaksanaan putusan kasasi.
Sedangkan syarat pengajuan peninjauan kembali atas putusan kasasi tidaklah semudah yang dikira banyak orang. Setidaknya ada alasan atau syarat yang harus dipenuhi oleh calon pemohon peninjauan kembali terhadap putusan kasasi (putusan yang sudah inkrach van gewijsde), antara lain:
– Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
– Apabila terdapat bukti tertulis baru (novum) yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan akan menghasilkan putusan yang berbeda;
– Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
– Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
– Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
[***]