SuaraJakarta.co, JAKARTA – RUU KUHP sebenarnya seperti oase di tengah terpuruknya penegakan hukum kita. Ia dinilai sebagai monumen hukum publik dalam hukum pidana, criminal justice system, yang merupakan hasil karya anak bangsa sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kita pakai saat ini adalah warisan Hindia Belanda.
KUHP sebagai pedoman norma bagi masyarakat harus memiliki perspektif memberikan perlindungan bagi masyarakat dari berbagai gangguan keamanan dan kejahatan serta memastikan terjaminnya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi secara ekonomi, budaya, sosial dan politik yang lebih demokratis. Sebagaimana Aristoteles yang menyatakan bahwa terbentuknya negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara. Demikian norma dihadirkan dalam rangka untuk mencapai tujuan negara tersebut.
Namun sayang, dalam klausula RUU KUHP terselip pasal yang dahulu dikenal dengan sebutan haatzaai artikelen, yaitu pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan ujaran atau ungkapan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan yang ditujukan terhadap kepentingan Belanda dan/atau kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk komposisi penduduk Hindia Belanda ketika itu.
Misalnya dalam Pasal 218 ayat 1 RUU KUHP yang menyebutkan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Ini adalah kemunduran.
Pasal-pasal yang semisal dengan klausula tersebut misalnya terdapat dalam Pasal 134 dan 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden yang merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda. Pasal-pasal itu telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Jadi aneh jika negara, baik presiden maupun DPR memasukkan pasal-pasal tersebut dalam RUU KUHP karena dikhawatirkan pasal-pasal itu akan digunakan sebagai alat negara untuk mengebiri ekspresi masyarat yang memberikan kritik terhadap presiden dan wakilnya. Menjadi pasal-pasal haatzaai artikelen yang akan mematikan demokrasi dan mandulkan kebebasan politik masyarakat.
*Slamet, SH. (Ketua Bidang Hukum Keluarga Alumni KAMMI)