SuaraJakarta.co, JAKARTA – Kondisi kesehatan Pencari Suaka asal Rohingya yang terdampar di Indonesia sangat memperihatinkan. Perjalanan laut selama berbulan-bulan menjadi faktor utama penyebab munculnya beberapa penyakit berbahaya yang diderita oleh Rohingya. Kondisi tersebut diperburuk dengan saling berdesak-desakannya ratusan Rohingya dalam satu perahu.
Muhammad Kaimuddin, Manager Disaster Risk Management Lembaga Kemanusiaan Nasional PKPU mengatakan bahwa Rohingya yang terdampar di Aceh mengalami berbagai penyakit berbahaya di antaranya penyakit kulit, diare, lambung, dan penyakit di bagian alat kelamin akibat kelaparan dan kondisi di perahu yang tidak higienis. Selain itu, kondisi berdesak-desakan dalam Perahu membuat mereka harus menekuk lutut kakinya selama berbulan-bulan sehingga mereka pun menderita penyakit radang sendi lutut, ungkap Kaimuddin.
Menurut Kaimuddin, bantuan bahan makanan yang tersedia di Posko-posko penampungan Rohingya saat ini sudah cukup setidaknya untuk kebutuhan 3 bulan ke depan sehingga ia menyarankan agar bantuan dari lembaga kemanusiaan dan masyarakat diarahkan ke pemulihan gizi, trauma dan kesehatan. Disamping itu juga diarahkan ke pembuatan bilik-bilik yang layak, khususnya untuk wanita, bayi dan anak-anak, kebutuhan minum, air bersih, MCK dan ruang ibadah.
Sylviani Abdul Hamid, Direktur Eksekutif SNH Advocacy Center menambahkan bahwa selama berbulan-bulan Rohingya di atas perahu, mereka hanya makan dua suap nasi dalam satu hari sehingga Rohingya yang sampai ke Indonesia dalam kondisi kelaparan yang luar biasa. Bahkan, menurut penuturan salah seorang Rohingya yang ada di penampungan, puluhan dari mereka tidak sanggup bertahan dan akhirnya meninggal dunia di atas perahu. Kebanyakan yang meninggal di atas perahu adalah anak-anak.
Kondisi tersebut juga menjadi faktor yang memperburuk kesehatan Rohingya ketika sampai di Indonesia. Terlebih karena keterbatasan, beberapa penampungan di Aceh pun terpaksa masih menggunakan tenda di lapangan terbuka untuk tempat tinggal Rohingya. Kondisi ini tentunya mengganggu proses pemulihan kesehatan pencari suaka asal Rohingya, ujar Sylviani.
Sylviani mengusulkan ke depan ada tempat penampungan definitif yang lebih layak dan baik untuk para pencari suaka seperti Rohingya.
“Rudenim bukanlah solusi, Pencari suaka korban-korban penindasan seharusnya di tempatkan dalam lingkungan khusus, bukan dalam jeruji Rudenim”, pungkasnya. (HA)