Jakarta – Siapa tidak mengenal kampung nelayan di Muara Angke? Setiap warga Jakarta pasti sering mendengar daerah ini meski belum tentu pernah mengunjunginya. Kampung nelayan Muara Angke yang terletak di ujung utara Jakarta ini terkenal sebagai tempat pelelangan dan pelabuhan ikan, serta tempat makan ikan bakar.
Namun sayangnya, dibalik popularitas kawasan ini, kondisi kesehatan lingkungan kampung nelayan seperti terabaikan. Selama bertahun-tahun Muara Angke menjadi ‘tempat pembuangan sampah’ Jakarta. Tidak hanya itu, kawasan ini juga menjadi langganan banjir rob. Ada hujan ataupun tidak. Akibat reklamasi di pesisir utara Jakarta.
Cagub DKI Jakarta dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid mengatakan sebenarnya kawasan kampung nelayan Muara Angke bisa menjadi kawasan yang bernilai ekonomis bagi DKI Jakarta dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan ecotourism (pasiwisata lingkungan). Potensi ini, kata Hidayat, sayangnya tertutup karena pengelolaan kawasan yang tidak tepat dan pencemaran lingkungan yang sudah cukup parah.
“Pengelolaannya dapat mencontoh seperti kampung nelayan di Belanda dan Thailand. Bahkan kampung nelayan di Muara Angke ini punya nilai lebih karena memiliki hutan mangrove dan taman margasatwa,” kata Hidayat ketika mengunjungi kampung nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (3/5/2012).
Hidayat mencontohkan pencemaran lingkungan yang parah terjadi di Muara Angke, seperti penumpukan sampah. Mantan ketua MPR ini menjelaskan setiap hari kampung nelayan mendapat limpahan 1.400 meter kubik sampah, namun hanya 40 meter kubik saja yang dapat diambil oleh Suku Dinas Kebersihan DKI, sisanya terbiarkan. Sampah rumah tangga kebanyakan berasal dari wilayah selatan Jakarta yang dibawa Sungai Ciliwung, sedangkan limbah industri dari Kali Angke.
“Masalah ini harus segera dibenahi, agar menghadirkan kesehatan bagi warga kampung nelayan, dan kawasan ini dapat dimaksimalkan sebagai wisata lingkungan sehingga bermanfaat secara ekonomis bagi warganya,” jelas Hidayat.
Dengan teratasinya sampah di kawasan ini, lanjut Hidayat, anak-anak warga kampung nelayan bisa bemain dan belajar dengan layak. ”Karena selama ini tempat bermain anak-anak berada di atas tumpukan sampah. Ini sangat memprihatinkan bagi kesehatan generasi kita,” cetusnya.
Pengelolaan sampah yang tepat di kampung nelayan ini akan berdampak terhadap kehadiran Taman Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) yang sudah ada di Muara Angke. Luas keseluruhan suaka ini 170,6 hektare, yang terbagi atas suaka margasatwa, hutan lindung dan Taman Wisata Alam Angke-Kapuk. Sementara SMMA sendiri luasnya hanya 25 hektare.
“Kawasan hutan bakau seluas 25,02 hektare yang dihuni tak kurang dari 90 spesies burung. Pada tahun 2003, Birdlife International, organisasi pelestari burung, memasukkan kawasan Muara Angke sebagai daerah penting yang harus dilindungi. Bisa dibayangkan, bagaiaman dampak ekonomi dan lingkungan yang dihadirkan jika wisata lingkungan di kampung nelayan ini benar-benar dapat dimaksimalkan,” pungkas Hidayat. [Dedi]