SuaraJakarta.co, JAKARTA – Polemik mengenai Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) reklamasi, antara lain di Pulau D, C, dan G, masih terus berlanjut.
Terakhir, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil menolak permintaan Gubernur Anies untuk menunda dan membatalkan sertifikat tersebut karena dikeluarkan tidak sesuai prosedur.
Sofyan beralasan, BPN tidak bisa serta-merta mencabut karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah sesuai dengan hukum administrasi pemerintahan. Selain itu, penerbitan sertifikat tersebut berada di atas hak pengelolaan lahan (HPL). Sehingga, jika ada peralihan, harus ada persetujuan pemegang HPL.
Menanggapi itu, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai BPN dapat membatalkan HGB.
Dengan syarat, pembatalan bisa dilakukan jika ditemukan cacat hukum administrasi.
“Ya, pembatalan itu memang dimungkinkan,” kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (13/1), sebagaimana dikutip dari laman Republika.
Ada tiga langkah menurutnya agar BPN bisa melakukan kebijakan tersebut. Pertama, BPN menyampaikan kepada pembuat keputusan penerbitan dalam hal ini kepala kantor pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara. Sebab, kata dia, doktrin hukum keputusan tata usaha negara itu boleh dicabut oleh pembuatnya.
“Tentu ketika mencabut itu harus ada alasannya, kenapa?,” ujar profesor yang pernah short course ekonomi-politik di Northern-Illinois University, Amerika Serikat ini.
Kedua, lanjut Hasan, sertifikat HGB boleh dicabut oleh atasan dari pejabat yang membuat keputusan itu, dalam konteks ini adalah Menteri ATR/BPN. Namun, pencabutan itu tak boleh dilakukan semena-mena.
Hasan mengatakan, ada satu peraturan kepala badan (perkaban) terkait penyelesaian konflik yang melibatkan BPN sendiri yakni dengan kajian internal. Kajian itu, kata dia, mengenai kebenaran keputusan BPN yang terkait dengan permintaan oleh pihak yang berkepentingan.
Jika kedua pejabat yang berwewenang itu sudah menyatakan tidak akan mencabut karena dinilai sudah sah atau sudah memenuhi syarat dan prosedur yang ditentukan, maka pilihannya tinggal beradu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Tapi kalau ke PTUN itu artinya ada sesuatu yang akan hilang yaitu kesempatan untuk menyelesaikan secara damai yang akan membawa dampak positif bagi semua pihak termasuk bagi masyarakat,” ujar dia. (RDB)