Dewan Dakwah: Empat Dosa Hubungan Diplomatik dengan Israel

SuaraJakarta.co, JAKARTA – “Sudah waktunya ada hubungan formal antara Indonesia dan Israel,” kata PM Israel Benjamin Netanyahu kepada 5 wartawan Indonesia yang sowan kepadanya di Yerusalem, 28 Maret 2016. Dalam pandangan Netanyahu, alasan-alasan yang selama ini menghalangi hubungan formal antara Indonesia dan Israel sudah tak relevan lagi. “Lalu mengapa dengan Indonesia harus berbeda? Sudah waktunya hubungan kita juga berubah,” katanya (m.tempo.co, 29/03/2016).

Kelima wartawan tersebut adalah: Abdul Rakhim (Jawa Pos), Yustinus Tomi Aryanto (Tempo), James Luhulima (Kompas) dan Margareta (MetroTV), serta wartawan dari Bisnis Indonesia.
Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohamad Siddik MA, mengecam kunjungan para wartawan itu.
‘’Kami tidak menyalahkan kunjungan dan wawancara wartawan ke pemerintahan Israel. Yang kami sesalkan adalah terjebaknya para wartawan Indonesia ke dalam politisasi Israel,’’ tutur Siddik kepada wartawan, Selasa (29/3).

Kunjungan tersebut diungkap pertama kali lewat cuitan akun twitter resmi juru bicara Perdana Menteri @ofirgendelman, Senin (28/3) malam.
Media-media Israel seperti Israel Times pun kemudian menyiarkan pesan Netanyahu kepada para wartawan dari Indonesia, soal keinginan Israel menjalin hubungan dengan Indonesia.
Publikasi serupa juga disuarakan media-media nasional di Tanah Air seperti Tempo dan Kompas.

Menurut Siddik, mestinya para wartawan bukan sekadar menjadi ‘juru bicara’ pemerintah Israel yang sangat ingin membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia.
“Para wartawan, apalagi mereka yang dikatakan sebagai wartawan senior, mestinya dapat mengkritisi pemerintahan Israel terutama dalam soal Palestina,” tandasnya.

BACA JUGA  Penting, Peran FKDM dalam Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat

Ketua Umum Dewan Dakwah mengingatkan, sikap Indonesia terhadap Israel sejak era Presiden Soekarno hingga kini, sudah jelas.
Salah satu contohnya adalah rencana Israel memberi pengakuan kedaulatan penuh kepada Indonesia pada 1950.

Saat itu, Bung Hatta hanya menjawab telegram dari Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett dengan ucapan terimakasih. Bung Hatta tidak menerima pengakuan kedaulatan dari Israel.
Bahkan, rencana Israel untuk mengirim misi perdamaian ke Indonesia ditolak mentah-mentah oleh proklamator kemerdekaan RI itu. Penolakan itu disampaikan Hatta dalam sebuah surat balasan yang dikirimkannya kepada Sharett pada Mei 1950.

Sikap keras juga ditunjukan oleh Bung Karno terhadap Israel. Bung Karno dengan tegas menyebut Israel sebagai penjajah. Bung Karno dengan tegas mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merebut tanah airnya dari penguasaan negeri Bintang Daud itu.

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” kata Bung Karno dalam pidatonya pada 1962.

Dalam sidang KTT Luar Biasa OKI (Organisasi Kerjasama Islam) beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo kembali mempertegas sikap Indonesia tersebut. Bahkan saat itu Presiden Indonesia juga menyerukan untuk memboikot semua produk Israel yang dihasilkan dari tanah penjajahan.

Sikap kolonialis Israel ditunjukkan pada 5 Agustus 2012. Saat itu, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Marty Natalegawa gagal berkunjung ke Ramallah untuk menghadiri pertemuan tingkat menteri GNB (Gerakan Non Blok) mengenai Palestina. Pasalnya, Menlu Marty bersama Menlu Malaysia, Kuna, Aljazair, dan Bangladesh dilarang masuk ke wilayah Ramallah yang hingga kini masih dikuasai Israel. Akibat penolakan ini, pertemuan GNB akhirnya dibatalkan.

BACA JUGA  Anis Matta: Kita Butuh Kapasitas Leadership Karena Kapasitas Sosial Lebih Maju dari Kapasitas Politik

Peristiwa serupa terjadi bulan lalu kepada pejabat tinggi Indonesia. Saat itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tidak mendapat izin terbang melintasi wilayah udara Israel untuk meresmikan kantor Konsul Kehormatan Indonesia untuk Palestina di Ramallah. Sehingga, peresmian Konsul Kehormatan akhirnya dilakukan di Amman, Jordania.

Selanjutnya Mohamad Siddik menegaskan, setidaknya ada empat dosa besar bila pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Pertama, mengkhianati amanat Pembukaan UUD ’45, yang menegaskan bahwa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kedua, Israel tidak pernah mau menaati Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 338. Inti kedua resolusi tersebut adalah meminta Israel mundur dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam perang tahun 1967.

Ketiga, pembukaan diplomatik juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya.

Keempat, pembukaan hubungan tidak sejalan dengan prinsip perjuangan OKI, di mana Indonesia salah satu anggotanya. Dalam KTT OKI Ke-6 di Dakar, Senegal, tahun 1991, misalnya, komunike sidang menegaskan, ”Perdamaian hanya dapat ditegakkan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina dan penarikan tanpa syarat pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki, termasuk Al Quds Al-Syarif, Dataran Tinggi Golan, dan Lebanon Selatan.”

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles