SuaraJakarta.co, RIAU – Tiga pelaku perdagangan Orangutan terbukti bersalah melanggar Undang-Undang No. 5 tahun 1990 melakukan tindak pidana satwa liar pada sidang putusan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 22 Maret 2016. Majelis hakim yang diketuai oleh H.A.S. Pudjoharsoyo menghukum dua terdakwa pelaku perdagangan orangutan yakni Ali bin Ismail dan Awaluddin dengan pidana penjara masing-masing selama 2 tahun 6 bulan dan denda 80 juta subsider 3 bulan kurungan penjara. Sementara satu terdakwa lain, Khairiroza bin Sofyan dihukum dengan pidana 2 tahun, dan denda 80 juta subsider 3 bulan kurungan penjara.
Hukuman yang dijatuhkan ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan hukuman pada kasus – kasus tindak kejahatan satwa liar di Riau yang terjadi pada 10 tahun terakhir. Rata-rata vonis yang dijatuhkan selama ini berkisar satu tahun penjara kecuali vonis yang dijatuhkan untuk empat pelaku perburuan tiga gading gajah pada Januari 2016 lalu di Kabupaten Pelalawan.
Wishnu Sukmantoro, Manajer Program Sumatera Tengah, WWF Indonesia menyatakan, ”WWF mengapresiasi putusan yang diberikan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru terhadap tiga pelaku perdagangan Orangutan Sumatera “
Ia menambahkan,”Mengingat tingginya angka perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia, khususnya di Riau, sudah seharusnya penegak hukum memberikan hukuman maksimal yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku dalam upaya mencegah kepunahan satwa langka Indonesia.”
Tiga pelaku perdagangan Orangutan ini ditangkap oleh Ditreskrimsus-Polda Riau di Pekanbaru pada 7 November 2015. Petugas menyita tiga bayi Orangutan yang dibawa dari Tamiang-Aceh dan diperkirakan semuanya berumur dibawah 1 tahun. Saat ini ketiga Orangutan tersebut telah berada di bawah perawatan Pusat Karantina Orangutan-SOCP (Sumatran Orang Conservation Program) di Desa Batu Mbelin, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Herry D. Susilo, Ketua Forum Orangutan Indonesia (FORINA) juga memberikan apresiasi atas vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru ini.
Herry menambahkan , “Kami berharap pihak-pihak terkait mengintensifkan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana satwa liar, termasuk orangutan mengingat tindak kejahatan ini cenderung meningkat.”
Kejahatan perburuan Orangutan sangat memprihatinkan dan sangat berpotensi mengurangi populasi orangutan liar di alam, sebab untuk mendapatkan seekor bayi Orangutan, pemburu biasanya harus membunuh induknya terlebih dahulu,karena mereka hidup arboreal pada kanopi pohon,.
“Disisi lain, tingkat kelahiran orangutan sangat rendah . Orangutan betina melahirkan anaknya setelah berumur 7 tahun dengan interval kelahiran berikutnya yang cukup lama, sekitar 8 tahun. Inilah yang menyebabkan bila populasi orangutan cenderung terus menurun, akan sangat sulit untuk ditingkatkan. Oleh karenanya, upaya perlindungan populasi dan habitatnya harus dilakukan,” terang Herry.
WWF Indonesia bersama Koalisi Kebijakan Konservasi (Pokja Konservasi) mendorong agar Revisi UU No 5/1990 dapat dibahas dalam Prolegnas tahun 2016. Ancaman hukuman dalam UU yang masih terbilang rendah menjadi salah satu titik lemah sulitnya mencegah kasus perdagangan dan perburuan satwa yang dilindungi. Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah melakukan konsultasi publik rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 5/1990 tersebut di beberapa tempat.
Orangutan Sumatera adalah jenis orangutan yang paling terancam di antara dua spesies orangutan yang hidup di Indonesia.