SuaraJakarta.co, JAKARTA – Lambatnya respon pemerintah untuk segera membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menjadi sorotan masyarakat.
Pasalnya, pasca dikeluarkannya Perpres Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), pemerintah sudah harus membentuk Susunan Organisasi Tata Kerja (SOTK) selambat-lambatnya empat bulan pasca diundangkan (Pasal 57).
“Artinya SOTK sudah harus ada sejak 23 September 2017. Belum adanya Kepala BSSN definitif membuat SOTK BSSN terkendala, sehingga Kemenpan belum bisa memproses lebih jauh. Dampaknya, Komisi I DPR juga enggan untuk membahas anggaran 2018 untuk BSSN lebih jauh, karena belum jelasnya posisi BSSN sampai saat ini,” jelas Pakar Keamanan Siber Pratama Persadha sebagaimana rilis yang diterima suarajakarta.co, Senin (25/9).
Menurutnya, ada beberapa ancaman jika BSSN ini tidak kunjung dibentuk, khususnya bagi keamanan siber tanah air. Hal itu didasarkan pada ancaman siber yang hadir di tanah air sepanjang 2017 yang sudah sangat mengkhawatirkan.
Sehingga bila BSSN masih terombang-ambing akan membuat ancaman siber menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan di 2018.
“2017 ini kita saksikan bersama bahwa serangan siber menjadi ancaman dan urusan pemerintah yang sangat menyita perhatian. Bagaimana serangan malware wannacry dan nopetya membuat Kominfo kerepotan. Banyak korban di sisi infrastruktur strategis kita,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Selain itu, tambah Pratama, keberadaan BSSN ini sangat krusial mengawal program-program pemerintah, terutama yang terkait e-Government. Belum lagi upaya dari Bank Indonesia untuk memassifkan program Gerakan Non Tunai (GNT) yang tidak bisa lepas dari penguatan keamanan siber di semua infrastruktur pendukungnya.
“Kita sudah cukup tertinggal dari negara tetangga Malaysia dan Singapura yang mempunyai badan siber sejak hampir satu dasawarsa lalu. Kita tentu berharap pemerintah bisa melihat posisi krusial BSSN saat ini dimana ada lebih dari 130 juta orang di tanah air yang terkoneksi internet,” terang Pratama.
Faktor-faktor lain yang juga menjadi ancaman siber adalah adanya antisipasi adanya ajang saling serang hoaks, baik saat Pilkada 2018 atau menjelang Pemilu 2019. Karena itu, BSSN juga diharapkan mengambil peran yang krusial untuk mengamankan wilayah siber dari upaya kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab yang berusaha memperkeruh suasana lewat media sosial maupun media lainnya di internet.
“Pemilukada serentak 2018 tidak akan lepas dari kampanye di wilayah siber, terutama lewat media sosial. Tidak akan menutup kemungkinan kelompok semacam saracen muncul dan ikut memperkeruh suasana. Ini jelas tidak bagus, belu lagi upaya-upaya peretasan pada penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu,” jelas Pratama. (RDB)