Site icon SuaraJakarta.co

Ahok Gubernur Berlidah Api

suara jakarta ahok Basuki Tjahaja Purnama

Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. (Foto: IST)

Sebentar lagi pemilihan umum untuk gubernur Jakarta akan berlangsung. Masing-masing kandidat tentunya sudah berdandan untuk turut dalam kontes kepemimpinan politik itu, yang sedianya kan terjadi di tahun 2017. Namun ternyata tidak semua kandidat bersolek agar dipilih rakyat. Kandidat petahana, Basuki Cahya Purnama alias Ahok justru membuat dirinya semakin tidak disukai rakyat.

Kebijakan-kebijakannya yang mengusir dan menggusur penduduk miskin, kerap mengundang banyak cercaan. Baik itu di ruang media sosial maupun di kolom media massa nasional, kritik-kritik tajam terhadap Ahok mengalir deras. Apalagi ketika penerapan dari kebijakan-kebijakan tersebut cenderung semena-mena dan menutup dialog dengan masyarakat. Ini kelihatan jelas dalam peristiwa-peristiwa penggusuran di Bukit Duri, Kalijodo dan sekitar kawasan Pasar Ikan baru-baru ini.

Saat Ahok berbicara menanggapi masalah atau kasus di depan pers, kata-katanya tajam, sengit, dan cenderung di luar kesantunan. Tak jarang juga Ahok menyerang pihak-pihak yang tak disukainya dengan kata-kata semacam “bajingan”, “bodoh”, dan sebagainya. Kebiasaan berkata-kata kasar ini bukan baru-baru saja dan tidak satu dua kali saja dilontarkan. Semenjak jadi Wakil Gubernur di tahun 2013 terhadap warga yang tidak mau dipindah dari bantaran Waduk Pluit, Ahok mengeluarkan pernyataan (http://nasional.inilah.com/read/detail/2188798/ini-kata-kata-kasar-yang-pernah-dilontarkan-ahok).

“Kalau saya bangun rumah di tanah yang bukan milik saya tanpa izin, dibongkar P2B, saya minta ganti rugi nggak sama pemerintah? Dapat? Mana ada? Ya, mampus semuanya. Udah bangun salah, dikasih duit gitu, lho. Terus saya bangun di tanah negara, terus saya sewa-sewain sama orang, dibongkar, minta ganti rugi. Mana ada hukumnya? Itu komunis namanya,”

Pun di tahun yang sama Ahok berkata-kata kasar terhadap jajaran pejabat Pemda DKI, terkait problem jual beli unit rumah susun (http://nasional.inilah.com/read/detail/2188798/ini-kata-kata-kasar-yang-pernah-dilontarkan-ahok).

“Saya sudah betul-betul muak dengan kemunafikan. Pejabat-pejabat DKI ini luar biasa santun sekali kalau ngomong sama saya, tetapi ternyata mereka bajingan semua,”

Bahkan kaum pelajar juga disambar juga dengan kata-katanya yang kasar, terkait peristiwa pembajakan bus di tahun 2013 (http://nasional.inilah.com/read/detail/2188798/ini-kata-kata-kasar-yang-pernah-dilontarkan-ahok).

“Sekolah negeri dipakai oleh pelajar yang sok-sokkan. Pertama dikasih kesempatan bolehlah. Kalau masih diulangi lagi, kamu sudah bukan anak, kamu calon bajingan,”

Pada tahun 2015, Sejarawan JJ Rizal mengkritisi kebijakan Ahok yang menggusur penduduk di wilayah Kampung Pulo, Jatinegara dengan menyatakan bahwa bila konsisten dalam menggusur lahan hijau atau resapan air, Ahok juga harus berani menggusur lingkungan rumahnya di Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara. Rizal menjelaskan, kawasan Pantai Mutiara merupakan kawasan 860 hektare yang diperuntukkan bagi hutan bakau dan resapan. Kritik tersebut disambut Ahok dengan pernyataan (http://www.merdeka.com/jakarta/diminta-bongkar-rumahnya-di-pluit-ahok-sebut-jj-rizal-goblok.html).

“Dia (JJ Rizal) goblok, isu itu tuh adanya di Pantai Indah Kapuk (PIK). Dia nggak bisa bedain PIK dan Pluit. Makanya kalau mau nanya Pluit tanya gua biar agak pinter, jelas. Kasihan kalau terlalu goblok,”

Di tahun yang sama, ketika menanggapi niat Panitia Angket DPRD DKI yang akan memanggilnya mengenai dana siluman di RAPBD DKI 2015, Ahok berkata-kata bahkan dengan kosa kata kotoran manusia di sebuah liputan live stasiun televisi swasta nasional (http://metro.sindonews.com/read/978904/171/ahok-maki-kata-kotor-soal-niat-panitia-angket-dprd-1426766597).

“Makanya gue bilang, panggil gue ke Angket. Biar gue bisa jelasin, dan buka itu semua t*i-t*i semua itu seperti apa,”

Terakhir pada bulan Juni 2016 di depan ratusan warga terdampak reklamasi Teluk Jakarta, LSM dan tim komite Ahok kembali dengan gaya komunikasinya yang kasar. Lagi-lagi Ahok melontarkan kata bodoh dan brengsek dalam sambutannya (http://www.aktual.com/didepan-warga-terdampak-reklamasi-ahok-hai-orang-orang-bodoh-nurut-saja-orang-pinter/).

“Jangan jadi orang sudah bodoh tidak mau nurut pinter kaga mau ngajar. Ini isunya yang berkembang reklamasi akan sebabkan laut naik, itu menurut saya pengetahuan yang bodoh,”

“Bapak boleh sampaikan apa saja, tapi satu hal yang saya minta kalau anda sebut ini bukan hitam, bapak harus jelaskan kenapa dia disebut oranye. Tapi kalau bapak bilang ini bukan hitam, saya tanya apa, anda bilang tidak tahu. Buat saya itu brengsek,”

Sudah tentu pihak atau subyek yang diserang menyerang balas dengan tidak kalah kasarnya. Dalam kasus Ahok versus BPK terkait kasus Rumah Sakit Sumber Waras, salah seorang auditor BPK sudah menantang Ahok untuk berduel sampai mati. Syukurlah sampai dengan hari ini masih belum terjadi konflik sosial ataupun kekerasan fisik akibat perang suara Ahok vs musuh-musuhnya.

Dari realitas semacam di muka tentunya kita sebagai warga DKI Jakarta dapat berpikir ulang, apakah benar ini calon gubernur yang tepat bagi rakyat Jakarta?

Jikalau kita sebagai warga Jakarta menghendaki seorang pemimpin yang melindungi dan berpihak kepada rakyat, maka sudah seharusnya kita memiliki kriteria-kriteria calon pimpinan. Seperti misalnya, kita menghendaki pimpinan yang merakyat. Maka kriterianya yang paling sederhana adalah apakah si calon pimpinan tersebut mau mendengarkan apa-apa saja masalah rakyat, dan merumuskan bersama rakyat bagaimana solusi dari masalah-masalah tersebut. Ini kriteria yang penting, mengingat pengalaman Jakarta selama dipimpin oleh Ahok tampak kurang mampu berkomunikasi dengan rakyat.

Benar, bahwa Ahok berusaha memfasilitasi keluhan-keluhan masyarakat dengan pasukan gerak cepatnya. Tetapi problem rakyat Jakarta tentunya bukan sekedar listrik mati dan jalanan rusak. Pun bangunan sekolah rusak di Jakarta Timur juga tidak bisa cepat ditangani oleh Ahok. Pendeknya, Ahok tidak bisa membedakan antara problem-problem sederhana dan problem mendasar yang dihadapi oleh rakyat Jakarta.

Karenanya menjadi jelas kemudian mengapa Ahok tidak mampu berkomunikasi dengan rakyat. Yaitu oleh karena Ahok tidak selalu paham dengan realitas yang dihadapi oleh rakyat Jakarta. Padahal dalam khazanah ilmu berkomunikasi, terutama yang dirumuskan oleh Lasswell, sudah cukup jelas digambarkan bahwa sebuah komunikasi itu dapat berlangsung jikalau terdapat pesan yang jelas dan saluran komunikasi yang jelas. Kenyataannya, pesan komunikasi Ahok tidak selalu jelas, dan saluran komunikasinya pun sama tak jelasnya.

Pesan komunikasi, bagaimanapun bentuknya, sudah pasti merefleksikan apa yang ada di dalam benak si pengirim pesan. Jika si pengirim pesan tak paham dengan realitas sosial maka sebenarnya si.pengirim pesan hanya sekedar basa-basi. Tidak lebih. Problem utama dari komunikasi politik yang dilakukan oleh Ahok adalah bahwa dirinya tidak bisa membawakan pesan-pesannya dengan kata-kata yang pantas dan enak didengar. Lebih jauh lagi, pesan-pesan yang dibawakannya yang kerap muncul di media massa ditujukan untuk menyerang pihak tertentu secara mematikan. Karenanya, masyarakat yang belum selalu paham dengan konteks pertikaian Ahok dengan pihak tertentu, belum selalu bisa menangkap apa sebenarnya gagasan yang dikemukakan oleh Ahok.

Kriteria kedua adalah pada bagaimana sang pemimpin menyelesaikan problem-problem dasar masyarakat. Tingginya angka kemiskinan di wilayah Jakarta, tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Tapi akan mungkin diselesaikan jika sang pemimpin bisa menyediakan pangan gratis untuk kaum miskin. Kenyataannya Ahok justru tidak berpihak kepada kaum miskin.

Berangkat dari kedua kriteria di muka, tentunya bisa dilihat dengan jelas tentang siapa sebenarnya yang bisa didukung oleh warga DKI untuk menjadi pimpinannya di tahun 2017. Jelas bukan pimpinan yang susah berkomunikasi dan bukan juga pimpinan yang tidak berpihak kepada kaum miskin. Realitas pemimpin berkata-kata kasar semacam Ahok tidak sepantasnya kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta pada periode yang selanjutnya. Selain karena ketidaksantunannya, komunikasi yang dibawakan oleh Ahok tidak bermakna apa-apa kecuali merendahkan harkat dan martabat rakyat.

Penulis: Didi Rahmat, Mahasiswa S1 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana Menteng

Exit mobile version