Site icon SuaraJakarta.co

Rahim adalah Mahkota Perempuan

SuaraJakarta.co, Bila ditanya organ apa yang paling unik dan ajaib di tubuh seorang perempuan, aku yakin jawabannya adalah rahim. Untukku yang hidup di dunia obstetri dan ginekologi selama 5 tahun terakhir, rahim bukan hanya sekedar unik dan ajaib. Bayangkan, rahim yang dalam keadaan normal ukurannya tak lebih dari kepalan tangan orang dewasa, bisa membesar hampir seribu kali lipat untuk memberi ruang seorang bayi seberat rata-rata 3 kg, plasenta (ari-ari) seberat 500 gram, dan air ketuban sebanyak 1 liter. Itu kalau hamilnya tunggal, kalau multipel atau bayinya besar atau cairan ketuban berlebih, tentu rahim mesti melar lebih besar lagi.

Perkembangan teknologi reproduksi sekarang sudah bisa mengambil alih fungsi beberapa organ yang terganggu dan menyebabkan seseorang susah atau tidak bisa hamil dan memiliki keturunan. Bayi tabung misalnya, yang beken juga dengan istilah fertilisasi in vitro, merupakan serangkaian proses rumit teknologi reproduksi berbantu yang mempertemukan sel telur dan sel sperma pasangan di luar tubuh, dan kemudian mengembalikan hasil pembuahannya ke rahim perempuan untuk tumbuh. Namun hingga saat ini, belum ada teknologi yang bisa menggantikan rahim sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya seorang calon manusia. Jangankan membuat alat dengan fungsi yang sama, proses fisiologis bagaimana terjadinya fertilisasi (pembuahan sel telur oleh sperma), implantasi (menempelnya calon janin ke rahim), dan tumbuh kembang janin dalam rahim saja masih merupakan teka-teki bagi umat manusia.

Tak heran bila kemudian perempuan menjadikan rahim sebagai salah satu mahkota kewanitaannya (selain rambut tentunya).

Namun demikian, tidak semua perempuan dianugerahi rahim fungsional sepanjang hidupnya. Ada yang memang dari “sono” nya ditakdirkan Sang Pencipta untuk tak pernah memiliki rahim, ada juga yang terpaksa kehilangan rahim di tengah perjalanan hidupnya. Selama 5 tahun terakhir ini, entah sudah berapa perempuan yang ku”pancung” rahimnya. Ternyata, operasi pengangkatan rahim, yang lazim dikenal sebagai histerektomi, adalah jenis tindakan operasi yang paling banyak dilakukan di Amerika Serikat, mungkin juga di tempat lain.

Hari itu aku bertugas di Poliklinik Endokrinologi Ginekologi. Seorang perempuan muda dan cantik mengenakan jilbab trendi ditemani dengan seorang pria (yang kemudian aku ketahui sebagai suaminya) masuk membawa amplop coklat besar berisi beberapa lembar hasil pemeriksaan penunjang. Pasangan itu datang berobat karena sudah 2 tahun menikah, tapi sang istri tak juga kunjung hamil. Semua hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sang istri menderita suatu kondisi yang dikenal sebagai Mayer Rokitansky Kuster Hauser syndrome. Secara sederhana, terdapat gangguan pada proses pembentukan organ reproduksinya sehingga rahim, saluran telur, dan vagina bagian atasnya tidak terbentuk, namun indung telur terbentuk dengan sempurna.

Dengan menunjukkan empati yang dalam, aku mendampingi konsultan yang bertugas saat itu menjelaskan pada mereka berdua kondisi yang diderita sang istri dengan bahasa yang mudah dipahami. Menerangkan pada mereka bahwa sang istri tidak mungkin hamil, karena tidak ada rahim yang bisa menampung bayi mereka. Teknologi bayi tabung pun tidak dapat membantu, karena tetap harus ada rahim. Surrogacy, atau meminjam rahim perempuan lain untuk mengandung bayi mereka, tidak dilegalkan di Indonesia.

Sang istri menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan kami. Sang suami, dengan tampang terbelalak menyelutuk “Kok bisa gitu sih Dok…Dokter liat kan bodinya ‘bohay’ gitu, masak mandul siiihh…??”. Gedubrak, apa hubungannya sih ya, sungutku dalam hati. Dan sang suami masih tak putus harapan untuk memiliki keturunan dari istrinya itu. “Dokter, kalau misalnya saya punya istri lagi, dan rahim istri saya yang lain itu yang dipinjam untuk mengandung anak saya dari istri yang ini, dibolehkan tidak secara hukum?” tanyanya dengan antusias. Ya ampun, ribet banget sih ya, pikirku sambil melirik ke arah sang istri yang mukanya makin pucat mendengar si suami berniat mencari istri lagi…

Tapi tidak semua perempuan berpendapat bahwa memiliki rahim adalah anugrah. Pagi itu aku mendapat kiriman seorang nyonya berusia 35 tahun dengan riwayat perdarahan haid yang sangat banyak dan nyeri haid hebat. Sudah 10 tahun menikah, tapi belum pernah berhasil hamil. Pasien itu sudah berulang kali mendapat transfusi karena perdarahan haidnya yang luar biasa banyak. Setelah melalui berbagai pemeriksaan, kami menyimpulkan nyonya itu menderita adenomiosis, suatu kondisi di mana jaringan rahim yang meluruh saat haid berada pada tempat yang tidak seharusnya, dalam kasus ini pada dinding otot rahim. Dokter di rumah sakit sebelumnya telah mencoba melakukan operasi untuk mengangkat adenomiosis itu. Namun ternyata terdapat perlengketan luar biasa antara rahim dengan organ-organ di dalam panggul lainnya, sehingga beliau tidak berani melanjutkan operasi karena khawatir mencederai organ lain. Dokter tersebut kemudian merujuknya ke rumah sakit kami.

Saat mendiskusikan alternatif terapi untuk kondisi adenomiosisnya, sang nyonya tidak mengindahkan penjelasanku mengenai alternatif terapi medikamentosa atau pembedahan konservatif yang hanya mengambil adenomiosisnya saja. Dia bersikeras supaya rahimnya segera diangkat, semuanya!! Sambil mengernyit aku bertanya, apakah dia tidak berpikir untuk ingin hamil di kemudian hari. Dengan berapi-api dia menukas “Dokter, saya sudah tidak tahan menanggung nyeri hebat saat haid selama bertahun-tahun. Belum lagi darah haid yang banyak sekali, membuat saya harus berkali-kali ditransfusi. Jangankan berpikir untuk punya anak, untuk hidup normal dan senang saja saya susah..!! Pokoknya saya mau rahim saya diambil semua, jadi saya tidak harus menderita terus seumur hidup..!!” Sementara sang suami membisu di sampingnya tak berani berkomentar.

Setelah penjelasan panjang lebar mengenai segala risiko dan konsekuensi operasi pengangkatan rahim, akhirnya sepasang suami istri itu menandatangani surat persetujuan tindakan pengangkatan rahim total. Operasi berjalan lancar, dan dalam tiga hari sang nyonya sudah dapat pulang ke rumah. Minggu depannya saat dia kontrol ke Poliklinik, dia mengucapkan terima kasih berulang-ulang padaku karena telah mengambil rahim yang menurutnya telah menjadi sumber bencana…

Keberadaan rahim memang memberikan janji akan kehidupan bagi seorang calon manusia. Namun di sisi lain, keberadaan rahim bisa menjadi ancaman kematian bagi seorang perempuan. Seperti petang itu saat aku dan tim jaga IGD sedang melakukan ronde pasien, terdengar teriakan menggelegar dari ruang akut “Ha Pe Peeeeeee…!!!!”.

HPP, hemorragic post partum, atau perdarahan pasca persalinan adalah pembunuh nomor satu perempuan Indonesia yang meninggal akibat komplikasi  kehamilan dan persalinan. Penyebab tersering perdarahan pasca persalinan adalah kontraksi rahim yang tidak adekuat (atonia) setelah bayi lahir, menyebabkan aliran darah ke rahim tidak dapat dihentikan dan dalam hitungan menit seorang perempuan bisa kehabisan darah.

Teriakan “HPP” adalah alarm utama bagi kami residen obgin. Tanpa dikomando, tim jaga langsung berlari ke ruang akut membawa semua peralatan resusitasi dan obat-obatan yang diperlukan. Pasien yang baru datang itu adalah seorang nyonya berusia 23 tahun, yang sejam lalu baru melahirkan seorang bayi laki-laki pertamanya melalui persalinan normal di bidan dekat rumahnya. Proses persalinan berjalan cukup lama, namun akhirnya lahir juga bayi dengan berat 3800 gram itu. Setelah plasentanya lahir, bidan yang membantu persalinannya panik karena darah tidak kunjung berhenti mengalir dari jalan lahirnya.

Residen jaga akut segera berkicau melaporkan kondisi pasien itu, “kesadaran somnolen, airway bebas, nafas 16x per menit, nadi 130x per menit lemah, tekanan darah 70/40, kontraksi uterus (rahim) jelek, perdarahan aktif merembes…”.  Serentak perawat dan bidan jaga memasang sungkup oksigen dan 2 akses vena untuk resusitasi cairan, simultan dengan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan permintaan komponen darah ke PMI. “Syok hipovolemik karena HPP” seruku, “eksplorasi kemungkinan penyebab perdarahan lain selain atonia dan siapkan kamar operasi..!!”. Sementara kolegaku yang lain sibuk melakukan kompresi bimanual untuk menekan rahim agar berkontraksi dan memasukkan obat-obatan yang diharapkan mampu memperbaiki kontraksi rahim.

Beberapa menit kemudian kami menyimpulkan bahwa memang penyebab HPP perempuan tersebut adalah atonia, dan tidak terdapat perbaikan kontraksi setelah dilakukan kompresi maupun pemberian obat-obatan. Tidak ada jalan lain, dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil dan perdarahan aktif terus mengalir, kami harus melangkah ke kamar operasi. Risiko operasi sangat tinggi, pasien bisa meninggal di atas meja operasi dengan kondisi buruk seperti saat ini. Namun bila tidak dilakukan, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak.

Didampingi kolegaku dari Anestesi, kami berbicara dengan suami dan beberapa anggota keluarga dekat pasien itu. Kami jelaskan kondisinya saat ini sangat kritis, dan satu-satunya cara menyelamatkannya adalah menghentikan perdarahan yang terjadi. Cara optimal menghentikan perdarahan saat ini adalah melakukan operasi untuk mengangkat rahimnya yang menjadi sumber perdarahan dan mengikat seluruh pembuluh darah yang menuju rahim agar darah tidak bocor keluar terus-menerus.

Ruangan tempat kami berbicara seketika hening setelah penjelasanku berakhir. Sang suami menatapku dengan tatapan kosong. Anggota keluarga yang lain mulai terisak-isak. Sementara juniorku di luar ruangan sudah tak sabar menanti keputusan, apakah sang suami mengijinkan atau tidak. Kami tidak bisa memulai operasi tanpa ijin sang suami, padahal setiap detik berlalu dengan sekian tetes darah terbuang percuma.

Jarum jam seakan bergerak sangat lambat sampai akhirnya terbuka juga mulut pria malang itu, “lakukan yang terbaik Dokter…Saya mohon, selamatkan istri saya…Jangan biarkan bayi kami kehilangan ibunya…” ujarnya terbata dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun sejenak, “insha Allah pak, doakan…Hanya Allah yang berhak menentukan nasib hamba-Nya.”

Setelah itu waktu seakan berlari. Kami berhasil mengontrol perdarahan setelah mengangkat rahim dan mengikat beberapa pembuluh darah. Komponen darah dari PMI datang tepat pada waktunya untuk mengganti darah yang sudah keluar sebelumnya. Perempuan itu akhirnya stabil dalam perawatan di ICU pasca operasi. Aku teringat kata-kata bijak salah seorang guruku “lebih baik hidup tanpa uterus, daripada mati membawa uterus…”.

Namun kisah kehilangan rahim perempuan yang satu ini menurutku adalah yang paling tragis. Sore itu kami baru saja “operan” jaga, perpindahan dari tim jaga satu ke tim jaga lainnya. Pasien saat itu membanjir bagai air bah, sehingga suasana IGD tak ubahnya pasar malam. Sepasang suami istri setengah baya tampak keluar dari pintu lift yang terbuka diikuti dengan seorang petugas yang mendorong brankar dengan seorang gadis belia tergolek lemah di atasnya.

Karena tampak begitu lemah, kami segera memprioritaskan gadis itu untuk ditangani terlebih dahulu. Setelah melakukan pemeriksaan awal dan melakukan stabilisasi, kami menyimpulkan bahwa gadis itu menderita infeksi berat yang menyebabkan respon sistemik buruk dan terdapat ancaman kegagalan kardiovaskular karenanya, syok sepsis istilah kami. Untuk memastikan dari mana sumber infeksinya, kami menggali informasi lebih dalam lagi kondisi pasien itu. Gadis itu baru berusia 15 tahun, duduk di kelas 3 SMP. Sekitar 2 minggu yang lalu, kedua orang tuanya memergoki bahwa anak keduanya itu ternyata hamil akibat hubungan “kebablasan” dengan pacarnya. Setelah ketahuan hamil, si pacar menghilang tak ketahuan rimbanya. Kedua orang tuanya panik, terlebih  si anak kemudian mogok sekolah karena malu dan khawatir kondisinya diketahui teman-temannya.

Entah dengan pertimbangan apa dan informasi dari siapa, si ayah akhirnya memutuskan untuk membawanya ke sebuah klinik di daerah utara Jakarta untuk mengakhiri kehamilan anaknya. Tidak jelas prosedur macam apa yang dilakukan di sana untuk mengeluarkan calon manusia tersebut. Si ayah juga mengaku tidak bertemu langsung dengan “dokter” yang menggugurkan kandungan anaknya tersebut. Singkat cerita, kami mencurigai sumber infeksi gadis ini berasal dari rahimnya, besar kemungkinan telah dilakukan aborsi tidak aman dengan prosedur tidak steril. Karena kondisi hemodinamiknya yang tidak stabil, akhirnya pasien itu dikirim ke ICU untuk perawatan dengan observasi ketat dan antibiotika generasi terbaru.

Dalam evaluasi 12 jam kemudian sampai pagi harinya, kami mendapatkan bahwa respon tubuh gadis itu terhadap terapi yang diberikan tidak begitu baik. Berbagai parameter infeksi semakin memburuk, pertanda bahwa sumber infeksi tidak juga terkendali. Kami berdiskusi dengan teman sejawat Bedah Digestif, dan sama-sama sepakat bahwa mungkin terjadi cedera organ lain seperti usus akibat tindakan aborsi tak aman tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tindakan operasi, membuka perut gadis itu dan melihat apa yang terjadi di dalam. Konsekuensinya, semua organ yang menyebabkan infeksi harus diangkat dan dibuang karena ternyata antibiotik tidak berdaya mengontrol infeksi yang terjadi. Bila tidak dilakukan kontrol sumber infeksi yang adekuat, maka kegagalan semua organ yang vital dalam menunjang kehidupan menjadi taruhannya. Di sisi lain, melakukan operasi besar dalam kondisi yang buruk seperti ini adalah tindakan yang sangat berisiko.

Saat menjelaskan kondisi gadis tersebut kepada kedua orang tuanya, si Ibu menangis terisak-isak dan si Ayah menunduk dengan raut yang menunjukkan penyesalan yang sangat dalam. Tindakan melakukan pengguguran kehamilan saja merupakan tindakan melanggar hukum di Indonesia, apalagi dalam kasus ini terjadi komplikasi mengancam nyawa. Bila memang terjadi cedera usus, kami akan harus memotong dan membuang bagian usus tersebut. Bila ternyata sumber infeksi adalah si rahim, maka kami harus membuang rahimnya. Pilihan yang sulit, terlebih melakukannya pada seorang anak berusia 15 tahun yang bahkan belum mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.

Akhirnya setelah diskusi yang panjang, kedua orang tuanya menyetujui rencana kami. Dengan persiapan ekstra, kami melakukan operasi segera sebelum kondisi gadis itu semakin memburuk. Benar saja, saat perutnya dibuka, kondisi rahimnya sangat mengenaskan. Rahimnya membesar seperti hamil 16 minggu dengan warna kehitaman dan mengeluarkan bau yang membuat perut mual. Untungnya seluruh organ lainnya utuh, tak terdapat cedera organ. Setelah berkonsultasi sana-sini, kami memutuskan untuk mengangkat rahim gadis itu dengan pertimbangan menyelamatkan nyawanya. Itu adalah rekor untukku dalam hal usia termuda yang kuangkat rahimnya.

Gadis itu kemudian membaik dalam perawatan selanjutnya dan tampaknya belum juga paham konsekuensinya ketika dijelaskan bahwa dirinya sudah tak memiliki rahim lagi. Sebuah harga yang sangat mahal untuk sebuah perilaku tak bertanggung jawab tanpa pikir panjang seperti itu. Namun demikian, dia masih beruntung tidak menjadi bagian dari 50.000 orang yang mati setiap tahunnya akibat “unsafe abortion” di seluruh dunia.

Kurasa, itulah mengapa aku begitu mencintai bidang ini. Aku berkesempatan untuk melihat “kisah” lain di balik cerita kehidupan tiap pasienku. Aku banyak mendapat pelajaran kehidupan dari pasien-pasienku, belajar bersyukur dengan yang kupunya, dan belajar menghargai segala sesuatu yang kudapat sekecil apa pun itu.

Dyah Mustikaning Pitha Prawesti | Dokter Kandungan, Lulusan Fakultas Kedokteran Univ. Indonesia

Exit mobile version