Site icon SuaraJakarta.co

Kutukan penyakit kusta dan tantangan eliminasi di Indonesia: Memperingati World leprosy day, 27 Januari.

WAJAHNYA murung tertunduk, badannya terlihat makin kurus dan menggelap. “Saya sering lemas, tidak bergairah dok” ujarnya lemah.

Sebut saja namanya Andi, beliau adalah salah satu pasien dengan diagnosis morbus Hansen, yang lebih dikenal awam dengan nama kusta atau lepra. Dan karena penyakitnya ini, Andi menderita keluhan tambahan, yaitu depresi. Ya, sedih berkepanjangan, menjauhi aktivitas sosial dikarenakan atas penyakit lepra yang dideritanya sehingga selain ke poli kulit, Andi-pun harus kontrol rutin ke poli kejiwaan atau psikiatri.

“Anak ini memang nakal dok, sering melawan saya ibunya, makanya kena sakit ini!” Seru ibu dari seorang anak laki-laki usia 14 tahun yang baru saja melakukan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) Mycobacterium leprae dan hasilnya positif. Dan anak lelaki yang dimaksud, sebut saja namanya Budi, terdiam membisu disamping saya, dokternya.

Berbeda dengan pasien ketiga, mari kita panggil dengan nama Caca. “Keluarga kami dikenal baik oleh tetangga, tapi mengapa saya bisa terkena penyakit kutukan ini dok? Akibatnya banyak yang menjauhi saya” lanjut Caca dengan mata berkaca-kaca.

Ketiga fenomena diatas kerap kami, dokter spesialis kulit dan kelamin jumpai. Penyakit Kusta atau lepra termasuk penyakit tertua sejak 1400 tahun sebelum masehi, berasal dari bahasa India, yaitu kustha.

Kusta terdapat hampir di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis, subtropik, dan biasanya mengenai masyarakat dengan sosioekonomi menengah kebawah. Angka kejadian di Indonesia masih cukup tinggi, sehingga pemerintah masih gencar mencanangkan program eliminasi kusta seluruh provinsi pada tahum 2020.

Penyakit kusta bersifat kronik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. M. leprae atau basil Hansen adalah kuman penyebab yang ditemukan oleh GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Basil ini bersifat tahan asam, berbentuk batang, hidup dalam sel, terutama jaringan yang bersuhu dingin seperti ujung telinga, dan tidak dapat dibiakkan dalam media buatan.

Organ yang diserang pertama biasanya sel saraf tepi dan kulit, kemudian mukosa (kulit bagian dalam) mulut, saluran nafas atas, mata, otot, tulang, dan testis. Penting diketahui bahwa kuman M. leprae tidak menyerang otak atau sistem saraf pusat. Walau merupakan penyakit infeksi yang bisa menular, ketika ada sumber infeksi yang bersifat erat dan lama, hanya 5% yang dapat tertular. Dari sejumlah 5%, sekitar 70% akan sembuh sendiri, dan hanya 30% yang menjadi sakit kusta. Bisa diartikan dari 100 orang yang terpapar erat oleh kusta, hanya 2 orang yang akan sakit.

Sebagian kecil inilah mengeluhkan muncul bercak baal atau kurang rasa pada kulit, dan tak jarang datang ke dokter sudah dengan komplikasi cacat atau mutilasi pada tangan maupun kaki. Karena tanda dan gejala kusta sering kali menyerupai penyakit lain, dan terkadang menyebabkan terlambatnya diagnosis sehingga akhirnya penanganan-pun terlambat.

Kecacatan ini disebabkan karena adanya kerusakan saraf yang disertai kelumpuhan otot dan pengecilan massa otot. Dapat pula cacat yang terjadi akibat luka atau benturan yang tidak disadari oleh pasien karena adanya rasa baal. Pasien dapat tidak merasakan ketika memegang panci panas, ketika sadar kulit sudah melepuh akibat luka bakar, atau tidak menyadari kaki tertusuk paku atau terpentok batu, sehingga datang ke dokter sudah dengan komplikasi luka dengan infeksi yang cukup berat, dan walau sembuh dapat menyisakan skar atau jaringan parut.

Dan beberapa cacat lain yang disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai penyakit kusta ini.
Bercak-bercak baal pada kulit dan komplikasi cacat inilah yang banyak membuat pasien tidak percaya diri dan juga ditakuti oleh masyarakat. Sehingga muncul stigma dari zaman dahulu bahwa kusta adalah penyakit kutukan atau hukuman dari Tuhan YME. Dan masih banyak masyarakat kita yang menghindar, menjauhi, mengejek bahkan menganjurkan penderita kusta ini agar diisolasi atau diasingkan.

Maka tak heran, banyak pasien dengan penyakit ini menjadi murung, asosial, malu beraktivitas di luar rumah bahkan sampai depresi dan memerlukan pengobatan kejiwaan. Tekanan sosial ini juga dapat membuat penderita malas datang kontrol rutin ke dokter atau puskesmas, sehingga target pengobatan tidak tercapai.

Tentu saja stigma-stigma ini tidak benar, perlu kerjasama berbagai pihak untuk mensosialisasikan bahwa kusta adalah penyakit infeksi yang bisa disembuhkan, bukan penyakit turunan, kutukan apalagi penyakit hukuman. Memang pengobatan akan memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 6-12 bulan minum obat, tergantung respon klinis.

Pengobatan gratis karena merupakan program pemerintah, dan jika penderita yang minum obat multi drug therapy (MDT) kusta ini teratur, rutin setiap hari, keluhan perlahan akan membaik dan sudah tidak menularkan kepada orang lain. Ketika sudah ada kecendrungan atau sudah terjadi kecacatan bisa dilakukan pencegahan atau upaya perbaikan, bekerjasama dengan spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi. Sehingga kualitas hidup pasien dapat lebih baik.

Mari kita bersama memberikan support agar penderita kusta dapat menyelesaikan pengobatan secara tuntas, membantu mencegah kecacatan, merangkul mereka agar dapat hidup normal sebagaimana yang lain, dan tidak menyebarkan stigma yang salah atau berita hoax yang dapat menghambat tercapainya target Indonesia bebas kusta 2019.

Sekali lagi, kusta bukan penyakit kutukan.


Sumber pustaka:

1. Sjasoe-daili E, Menaldi SW, Asmiarto AP, Nilasari H, editor. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2003.
2. Wisnu IM, Sjasoe-daili E, Menaldi SW. Kusta. Dalam: Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. h. 87-102.

Penulis
dr. Lusiana
(Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin FKUI RSCM, instruktur EFAC BSMI Jakarta Raya)

Exit mobile version