Seorang jamaah haji tiba-tiba mendatangi pos kesehatan haji sambil memegangi dadanya. Ia berjalan tergopoh, sambil merintih: “Tolong, dada saya sakit, apa saya sakit jantung?”, tanyanya sambil terengah-engah.
Petugas kesehatan di sana segera mendekatinya, lalu menuntunnya duduk. Mau tak mau, ia harus didahulukan dari pasien lain. Ia segera diperiksa: frekuensi nadi, nafas, denyut jantung, bahkan EKG juga dilakukan segera, sambil paramedis menanyakan padanya tentang keluhan penyerta hingga riwayat penyakit penyerta. Beberapa menit aktivitas yang diselingi rintihan panik si pasien itu selesai, apalagi kemudian dokter menyimpulkan: Pasien ini tidak apa-apa, normal, tidak sakit jantung, sehat 100% fisiknya! Ya, fisiknya sehat, namun sepertinya psikisnya yang bermasalah. Dan masalah psikis ini makin terbukti karena ternyata saat dijelaskan bahwa ia sehat tak ada kelainan jantung, dan ditanya ada masalah apa: dia malah menangis sesunggukan! Ini adalah kasus nyata yang pernah ditemui seorang dokter jantung saat bertugas sebagai dokter haji.
Mungkin jamaah haji ini mengalami broken heart syndrome. Ia akhirnya memang tak perlu obat jantung, sebab semua hasil pemeriksaan normal. Dan dokter jantung yang memeriksanya waktu itu juga berhasil menghiburnya lalu memintanya berdoa di depan Ka’bah saja jika ada masalah, sehingga segera nyeri dadanya hilang. Tapi, sebenarnya, apakah Broken Heart Syndrome itu? Masa jemaah haji bisa ‘patah hati’? Apakah ada penjelasan ilmiah antara sakit hati dan pengaruhnya terhadap kesehatan jantung?
Broken Heart Syndrome atau dikenal juga dengan takotsubo cardiomyopathy merupakan jenis gangguan jantung yang disebabkan stress (stress-induced cardiomyopathy). Ini merupakan gangguan pada jantung yang bersifat sementara. Gangguan ini pertama kali dikemukakan di Jepang tahun 1990. Secara umum, gangguan ini jarang ditemukan.
Takotsubo dalam bahasa Jepang berarti perangkap gurita. Ini sesuai dengan penderita Broken Heart Syndrome yang pada pemeriksaan echocardiografi atau sinar X memberikan gambaran puncak bilik kiri jantung membesar menyerupai perangkal gurita atau takotsubo dan pergerakan dindingnya abnormal.
Berdasarkan epidemiologi, sekitar 80-90% penderita adalah wanita, terutama pada usia postmenopause, namun gangguan ini juga dapat terjadi pada usia muda.
Timbulnya broken heart syndrome dipicu oleh kondisi stres baik secara fisik maupun emosional. Kondisi ini dapat terjadi pada berbagai keadaan seperti serangan asma, kecelakaan, bencana alam, kesedihan mendalam karena ditinggalkan oleh orang terdekat, ketakutan, marah, ataupun terkejut.
Penyebab pasti gangguan ini belum diketahui dengan jelas, namun mekanisme yang didiskusikan oleh para ahli berkaitan dengan hormon stres. Kondisi stres menyebabkan pelepasan katekolamin seperti noradrenalin, adrenalin, dan dopamin, yang diduga dapat mempengaruhi sel jantung maupun pembuluh koroner jantung.
Pelepasan hormon stres yang berlebihan ini menyebabkan bilik kiri jantung melemah sehingga tidak dapat memompa darah secara normal.
Penderita gangguan ini memiliki gejala seperti serangan jantung, yaitu nyeri dada dan napas pendek. Pada pemeriksaan lanjutan seperti EKG dapat ditemukan abnormalitas seperti yang diperoleh pada penderita serangan jantung, yaitu elevasi segmen ST.
Peningkatan kadar enzim CK-MB dan troponin (dua jenis enzim yang biasanya naik pada serangan jantung) juga dapat ditemukan, seperti pada kasus infark miokard. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan lebih menyeluruh dengan pemeriksaan radiologi. Pada pemeriksaan angiografi tidak ditemukannya sumbatan pada arteri koroner seperti yang ditemukan pada sebagian besar kasus serangan jantung.
Dokter akan memberikan obat sesuai hasil pemeriksaan penunjang. Jika memang ada kelaianan, obat-obat jantung mungkin akan diberikan, jika tidak: obat jantung tentu tidak perlu diberikan, memgingat efek sampingnya yang juga perlu dipertimbangkan. Namun manajemen stres menjadi bagian penting dari terapi.
Penderita gangguan ini biasanya dapat sembuh total dalam beberapa minggu dan jarang sekali diikuti dengan komplikasi. Jika tidak terdapat gangguan yang permanen atau penyulit lainnya, gangguan ini umumnya tidak terjadi kembali.
Intinya, persiapan psikis akhirnya menjadi bagian penting dalam setiap ibadah, termasuk haji. Pada dasarnya, meluruskan niat dan ridho pada apa yang menjadi ketentuanNya harus tertanam di setiap individu.
Penulis: Sari Kusuma
Sumber: cardiachealth.org