Site icon SuaraJakarta.co

Antara Kesurupan dan Pola Pikir

SuaraJakarta.co – Pernah mendengar kata kesurupan? Diluar teori bahwa kesurupan merupakan keadaan yang disebabkan oleh gangguan jin, ternyata ada penjelasan mekanisme terjadinya kesurupan berdasarkan teori ilmu kedokteran jiwa (psikiatri). Di kedokteran jiwa, kejadian serupa dikenal dengan sebutan dissociative personality disorder, salah satu bentuk dari gangguan kejiwaan. Kok bisa?

Untuk mengerti prosesnya, pertama-tama kita harus tahu dulu prinsip dasar terbentuknya kepribadian. Sederhananya, kepribadian adalah keseluruhan emosi dan pola kebiasaan seseorang dalam aktivitas sehari-harinya yang relatif stabil. Kepribadian akan terbentuk setelah, tentu saja, seseorang terpapar dengan aneka kejadian di lingkungannya, baik berupa kejadian yang bersifat positif maupun kejadian yang bersifat negatif.

Pada tahun 1920, untuk pertama kalinya seorang fisiologis asal Amerika, Walter Cannon, menjelaskan mengenai teori fight or flight response. Teori ini digunakan untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang diambil seseorang ketika berhadapan dengan kejadian negatif seperti misalnya ketika seseorang berhadapan dengan masalah atau ketakutan-ketakutan lain dalam proses hidupnya.

Dalam teori ini terdapat tiga jenis kemungkinan yang bisa terjadi ketika seseorang berhadapan dengan masalah.

Kemungkinan pertama adalah fight, yaitu ketika kita berusaha tegar dengan menyelesaikan masalah yang ada.

Kemungkinan kedua adalah flight yaitu dimana seseorang mencoba melarikan diri dari terpaan masalah (misalnya lari ke narkoba, rokok, minuman beralkohol, ataupun tidur panjang dan bertingkah seolah masalahnya tidak pernah ada). Kesemuanya memiliki tujuan serupa yang hanya bersifat sesaat, yaitu agar dapat mengalihkan pikiran sejenak dari masalah yang ada dengan berusaha meningkatkan respon menyenangkan dan sekaligus menekan respon menyedihkan agar mampu melupakan beratnya masalah yang menghampiri.

Kemungkinan ketiga adalah freez yaitu terdiam atau terhenti, sebuah metode lain dari usaha untuk melupakan masalah tanpa menyelesaikannya.

Freez inilah yang dalam ilmu psikiatri dapat menimbulkan gejala yang serupa dengan kesurupan. Pada kasus ini, seseorang yang ditimpa masalah akan merasakan ketakutan yang sangat besar sehingga ia hanya bisa terdiam dan terpaku karena laripun tak bisa. Sehingga terhenti lah dunianya, terhentilah ingatan sadarnya. Bertukar dengan ingatan alam bawah sadar yang terpendam di pelosok ingatan, sehingga ketika seandainya yang ada dalam ingatan bawah sadarnya adalah respon orang yang sedang kesurupan, maka reaksi kejang-kejang seperti kesurupan lah yang akan muncul dari alam bawah sadarnya. Sementara ingatan sadarnya tertidur pulas, tak menyadari apapun.

Pada kasus lain dari freez, ketika ia melarikan diri ke dalam dirinya sendiri bisa jadi ingatan sadarnya bukan digantikan dengan reaksi kejang seperti kesurupan, tapi ia digantikan oleh ingatan lain yang diciptakan oleh dirinya sendiri, yang lebih nyata, berupa pribadi baru yang sama sekali berbeda dengan pribadinya yang sesungguhnya. Sebuah pribadi buatan yang membuatnya merasa aman dari masalah, karena ketika masalah itu datang maka dirinya akan melarikan diri ke pelosok ingatan, bertukar raga dengan pribadi lain yang diciptakannya agar mampu mempertahankan dirinya dari kelumit beban yang menghadang, dan inilah yang menurut beberapa pakar dikenal dengan kepribadian ganda.

Kembali pada kasus kesurupan, inti dari penyebab munculnya kesurupan karena Freez (melarikan diri dari masalah yang tidak ingin, atau tidak sanggup, dihadapi) adalah adanya perasaan takut yang amat besar terhadap masalah yang menghadang. Misalnya, kesurupan yang terjadi ketika keinginannya yang sangat besar untuk membeli motor ditentang keras oleh orangtuanya, maka kesurupan bisa terhenti ketika akhirnya orangtuanya menyetujui keinginannya. Atau sering pula terjadi pada murid-murid yang terlampau tegang menjelang ujian ataupun terlampau takut kepada guru atau mata pelajaran tertentu.

Mengapa respon seperti kesurupan yang muncul?

Karena pada orang Indonesia, respon kesurupan lah yang sering dilihatnya. Dari pemberitaan di televisi, terekam lah oleh otaknya mengenai informasi kesurupan massal yang terjadi di beberapa sekolah, belum lagi ketika dikaitkan dengan sejarah sekolah yang dikatakan angker dan lain sebagainya, sehingga alam bawah sadarnya pun meyakini sebuah informasi yang salah bahwa tempat yang angker dengan kesurupan yang muncul pasti mempunyai hubungan sebab-akibat.

Padahal, pada suatu kasus kesurupan massal di sekolah, seandainya satu orang yang kesurupan berhasil ditangani dengan cepat tanpa perlu menjadi tontonan murid-murid yang lain, maka bisa saja tidak perlu sampai terjadi kasus kesurupan massal yang melibatkan banyak korban.

Karena kesurupan massal justru terjadi ketika murid-murid lain merasa panik saat melihat temannya yang tadinya baik-baik saja menjadi “kesurupan”, sehingga perasaan takut yang terlampau berlebih pun menyergap mereka dengan sangat cepat, untuk melawan ketakutan yang muncul tak ada daya, melarikan diri pun tak bisa. Sehingga, mereka akhirnya tanpa sadar pilihan jatuh pada pelarian diri dari perasaan takut yang muncul, lari ke dalam dirinya sendiri.

Dan setelah itu, respon bawah sadar yang muncul pun adalah respon kesurupan, persis seperti yang direkam oleh otaknya saat melihat temannya kesurupan.

Lalu bagaimana caranya mengatasi ketakutan-ketakutan berlebih yang muncul?

Takut, ataupun cemas adalah sebuah emosi yang wajar sekali dialami oleh setiap pribadi manusia di belahan dunia manapun. Dimana ketakutan atau kecemasan adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang dirasa mengancam kelangsungan hidup seseorang. Namun ia akan menjadi tak wajar atau bermasalah ketika ketakutan atau kecemasan yang ada dirasakan sangat berat sehingga tidak bisa ditanganinya, pada tahap inilah seseorang dikatakan mengalami gangguan kecemasan.

Kuncinya penyebabnya adalah “perasaan”, perasaan yang tercipta karena penanaman pola pikir yang kurang tepat. Itulah sebabnya ketika kesurupan massal yang dikatakan disebabkan oleh bangunan yang angker dilakukan ritual pensucian bangunan yang diyakini dapat menghilangkan makhluk-makhluk halus penyebab kesurupan, maka seandainya selepas itu ia “merasa” telah bebas dari gangguan makhluk halus, tak akan lah dirinya dilanda ketakutan berskala besar lagi, dan tentu saja tak akan muncul respon freeze seperti kesurupan pada dirinya, karena sudah tak ada lagi alasan bagi alam bawah sadarnya untuk melarikan diri dari ketakutan hebat yang mampu menguasai dan mengambil kendali alam sadarnya.

Bukankah makhluk halus pengganggu telah pergi?”, pikir alam bawah sadarnya.

Nah, untuk dapat tetap bertahan dari ketakutan yang bisa saja muncul sewaktu-waktu, tentu saja pilihan fight adalah pilihan tercerdas, namun tak semua dari kita mampu menerapkannya setiap saat, bukan?

Lantas bagaimana?

Yang pasti, ada tiga alternatif yang bisa kita ambil ketika muncul situasi pemicu kegelisahan dan ketakutan:

Pertama, abaikan situasi itu.

Kedua, ubah situasi itu.

Ketiga, ubah reaksi kita terhadap situasi itu.

Dan ketika kita ingin fight terhadap masalah yang menghadang, maka ambilah pilihan ketiga, ubahlah pola pikir kita terhadap ketakutan-ketakutan yang menghadang. Always do the best and prepare for the worst, selalu lakukan yang terbaik dan persiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.

Ketika kita telah belajar sekuat tenaga, tetap siapkan diri terhadap adanya kemungkinan kita tidak lulus ujian, karena mendadak sakit misalnya.

Atau contoh-contoh lain yang serupa, biasakan diri untuk selalu siap dengan segala kemungkinan-kemungkinan terburuk yang ada. Sehingga, kita bisa memperkirakan bahaya-bahaya apa saja yang bisa terjadi dari setiap tindakan yang kita lakukan, dan ketika seandainya yang terburuk itu benar-benar terjadi, maka diri kita akan lebih siap untuk menghadapinya dan dengannya kita tidak akan terlampau kaget dan tidak perlu melarikan diri dari terpaan masalah yang menghadang.

Tapi meskipun harus dipersiapkan, jangan sampai juga kita terperangkap dengan pemikiran akan segala jenis kemungkinan buruk yang bisa terjadi, karena 97% dari ketakutan yang kita rasakan sebenarnya tidak akan terjadi.

Jadi, jangan banyak takut ya!

Exit mobile version