Adzannya memang terdengar beda, begitu menggugah pendengarnya untuk datang bersegera, mencari saf pertama, meski di pagi buta. Bahkan sang Prince pun turut terpanggil menunaikan subuh di masjid kota tersebut. Sudah seminggu adzan subuh itu terdengar berbeda. Dan sudah seminggu pula sang anak raja Arab itu rajin berjamaah subuh di sana.
Lalu, di fajar pagi buta itu, adzan yang begitu menggugah itu tak terdengar lagi. Semua orang bertanya, dan tentu saja sang Prince. Prince adalah satu dari sekian putra keluarga kerajaan Arab Saudi, yang sebenarnya memiliki istana yang dilengkapi masjidnya sendiri. Namun demi mendengar adzan yang terdengar berbeda itu, ia keluar dari istananya. Maka, penuh tanda tanya, datanglah sang Prince ke masjid, menunaikan Subuh seperti biasa. Segera setelah itu, ia tanyakan keberadaan muadzin favoritnya itu pada pengurus masjid.
“Ohh, dia Amar Mustofa, dia musafir, menumpang di sini karena kehabisan uang…”, lalu mengalirlah cerita tentang musafir sang pencari Tuhan itu.
Amar adalah pekerja migran dari Sudan. Pekerja asal sesama negeri Arab memang bisa masuk Arab Saudi tanpa visa. Kemiskinan membawa Amar ke kota Riyadh. Dari menjadi buruh hotel, buruh bangunan, semua yang halal dia kerjakan. Gajinya ia kirim untuk keluarganya di Sudan. Dan demi menghemat, ia menumpang di apartemen temannya, bergantian dari satu teman ke teman lain. Demi menghemat pula, Amar sering berpuasa. Begitu berjalan terus hingga 5 tahun, sampai lama-lama rasa malu kian memenuhi hatinya. Menumpang tidur, menumpang makan, memang dilakukannya dengan menahan rasa malu. Ia senantiasa bekerja keras, dan berdoa: agar gajinya bisa naik, dan hidupnya membaik.
Namun, lima tahun merantau di kota yang berjarak 7 jam dari Mekkah itu tak juga membuat kondisinya berubah. Gaji naik tidak terlalu bermakna, sementara harga kebutuhan ikut naik pula. Ia tak tahan lagi menumpang di apartemen rekannya. Ia memutuskan kembali ke negeri halamannya. Namun tabungan sudah tak ada, sementara kontrak kerja di tempat terakhir sudah usai. Tak ada pilihan lain, ia terpaksa meminjam uang pada teman sekamarnya yang terakhir untuk membeli tiket pesawat secepatnya, sekaligus berpamitan dan mengepak barangnya yang masih tersisa.
Tiba di biro travel, ia makin resah. Ternyata tiket yang mampu ia beli baru berangkat sepekan lagi. Bagaimana ini? Pikirnya. Dalam kondisi resah itu, ia tersadar, sebentar lagi masuk waktu dhuhur. Toko-toko segera tutup, kantor-kantor termasuk biro travel tempatnya membeli tiket segera menutup layanannya, bersedia untuk sholat dhuhur. “Lebih baik aku sholat di masjid terdekat”, tegasnya pada diri sendiri.
Segera ia memasuki masjid itu. Menuju ruang wudhu’, lalu berwudhu’, membasahi tangan, wajah, telinga, kepala dan kakinya dengan sejuknya air. Kepalanya terasa sejuk. Ketika adzan berkumandang, ia telah bersiap di ruang utama masjid. Dalam setiap rakaat, resahnya makin berkurang. Memang hanya saat sholatlah pikirannya soal masalah hidup serasa menguap, batinnya pun tenang setelahnya. Lepas sholat, ia ambil mushaf yang disediakan di rak masjid, lalu membacanya tanpa bosan.
Ia terus berdiam di masjid hingga lepas waktu Isya, hingga ia tertidur di dalamnya. Ia terbangun sebelum waktu fajar, jauh sebelum shubuh. Tergeraklah hatinya untuk ikut mengumandangkan adzan subuh. Begitulah terus berlangsung hingga sepekan, ia terus tinggal di dalam masjid, terus mengumandangkan adzan shubuh yang terdengar begitu merdu nan menggugah pendengarnya untuk bergegas memenuhi panggilannya. Hingga didengar oleh Prince.
Dan pagi buta itu, pesawatnya akan berangkat pagi sebelum subuh. Dini hari, ia berpamitan pada pengurus masjid, agar bisa tiba di bandara dua jam sebelumnya. Namun, penerbangan ditunda, Amar pun mulai cemas. Selama menunggu, ia sudah yakin, bahwa inilah kehidupan, semua sudah kehendak Tuhan. Ada kalanya usaha keras berbuah hasil yang besar, ada pula yang tidak langsung berbuah indah. Mungkin belum saatnya. Ia yakin, nantibia bisa mencari usaha lain di kampung halamannya, ia akan berusaha keras, Allah pasti tidak menyia-nyiakan makhluknya yang berjuang keras lalu tidak lelah berdoa dan beribadah.
Penerbangannya ditunda. Lalu tiba-tiba, di tengah pikirannya merencanakan hidupnya nanti di Sudan, terdengar namanya dipanggil oleh pengeras suara bandara. Beberapa saat kemudian beberapa pria berbadan tegap mendatanginya, membawanya keluar dari ruang tunggu bandara, masuk ke dalam sebuah mobil besar. Ia dibawa ke masjid tempatnya tinggal seminggu terakhir. Lalu menemui seorang pria di sebuah istana.”Prince memanggilmu,” kata salah satu pria yang menjemputnya di bandara.
Di rumah megah yang ternyata istana sang Price itu, ia bertemu seorang Pria bersurban dengan wajah bersih, yang menyambutnya hangat, lalu menjabat tangannya erat. “Amar, aku adalah Prince. Berapa gajimu sebulan selama bekerja di Riyadh? Sebutkan gaji yang paling tinggi yang pernah kau terima”, pria itu bertanya rinci. Tanpa sempat Amar protes.
“1400 real,” jawab lelaki berkulit legam itu, setengah bingung.
Prince kemudian menceritakan kerinduannya pada suara adzan Subuh Amar, ia sudah mendapat cerita dari pengurus Masjid tentang riwayat hidup Amar selama menjadi pekerja migran. Ia lalu menawarkan Amar untuk menjadi bilal di masjidnya, lalu tinggal di palace. Ia juga segera memerintahkan agar menyediakan lalu memberikan langsung pada Amar uang sebesar 1400 real dikalikan 5 tahun, jadi 1400 dikalikan 12 dikalikan 5! Jadi semua 84 ribu real!
Sambil memeluk Amar, sang Prince berkata: “Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan untuk menjadi bilal di masjidku”.
Prince memintanya kembali nanti, lalu tinggal di istananya, membawa anak dan istrinya dari Sudan. Tiket untuk Amar dan keluarganya akan disediakan oleh Prince.
Tak hentinya lelaki Sudan berambut keriting itu bertahmid, dengan segala dzikir. Mengiyakan permintaan Prince, lalu memuji Allah.
Kesabaran memang tak butuh batas, ia hanya butuh ketahanan tanpa ujung. Kesulitan hidup tak membuat seorang migran asal benua Afrika itu menyerah, lalu menempuh jalur tidak halal, lalu berkhianat pada Tuhannya. Lelaki ini juga tidak lantas kehilangan prasangka baiknya pada TuhanNya. Sebab prasangka itu akan diaminkan oleh malaikat, lalu dijawab sebagai doa yang mustajab.
Penulis: Sari Kusuma, berdasarkan cerita seorang rekan.