Site icon SuaraJakarta.co

Tentang Pak Ahmad, Dzikir, Takdir dan Prasangka Baik

Ilustrasi. (Foto: IST)

Hari itu kokoh sudah tekadnya, lebih kokoh dari karang, lebih tegar batu cadas. Sudah ia bicarakan beberapa bulan sebelumnya dengan istrinya, sudah ia pikirkan masak-masak: ia akan mengundurkan diri dari tempat kerjanya. Ia memang belum mendapatkan pekerjaan pengganti, tak apa, hidup ketat sebulan ke depan. Tapi ia yakin: Allah tak akan meninggalkannya tanpa sepeser pun rejeki demi anak istrinya. Kondisi tempat kerjanya sudah demikian menguras kesabaran.

Sudah hampir jungkir balik ia turut berusaha memperbaiki keadaan, namun ia hanya karyawan. Karyawan lama sebenarnya, tapi…ya sudahlah..

Saat bekerja di sana sebenarnya ia cukup menafkahi keluarganya, ia bahkan berhasil menabung, lalu menyetorkan ONH. Namanya telah masuk antrian haji. Tapi tetap, batinnya tak nyaman di tempat kerja itu.

Satu dzikir yang membuatnya tenang tak kalut soal rejeki: “Ya Rohman. Ya Rohiim. Yaa Fattah. Yaa Rozzaq. Yaa Muhawwillal Ahwal Hawwil Haalana ilaa Ahsanil Haal”. Dzikir rayuan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penakluk, Maha Pemberi rejeki, Maha Pengubah kondisi dari buruk, sulit, menjadi keadaan terbaik. Tak banyak ia menyebut permintaan, yang penting Allah tahu yang terbaik untuknya, dan akan memperbaiki keadaan hidupnya. Dan mundur dari tempat kerja ini ia yakin bagian dari usaha menjadi manusia lebih baik. Ia berharap takdir baik datang dengannya.

Soal keyakinan pada takdir baik, Pak Ahmad -sebut saja begitu namanya- masih ingat kejadian setahun lalu. Saat itu ayahnya mendapat bonus jutaan rupiah, yang cukup untuk jatah umroh untuk dua orang. Sang ayah sendiri telah sekali berhaji dan umroh, jadi tak ingin berlebihan soal ibadah: hadiah umroh itu ia berikan kepada Pak Ahmad dan kakaknya. Keberangkatan umrohnya adalah untuk tahun depan.

Saat itu dengan penuh suka cita ia persiapkan seluruh administrasi keberangkatan: paspor, vaksin, dan lainnya. Lalu ternyata takdir berkata lain. Beberapa bulan sebelum keberangkatan, kakaknya mengalami kecelakaan lalu lintas dan harus dirawat di ICU. Tentu saja, itu perawatan yang menguras kantong. Tak ada pilihan lain: dana umroh pun ditarik kembali, dipakai untuk menutup perawatan di ICU. Namun, nyawanya tak bisa diselamatkan. Ia wafat beberapa hari setelah masuk ICU.

Uang melayang, nyawa tak bisa diselamatkan, umroh gagal pula. Tapi pak Ahmad tak lantas merutuki takdir, setidaknya niat dan usaha sang kakak sudah tercatat oleh Sang Pemberi Rizki, ia telah menyambut panggilan Nya ke baitullah.

Hidup berlanjut, dan benar, takdir baik pasti akan berlaku jika manusia selalu berprasangka baik. Pak Ahmad diterima bekerja di satu pengembangan bimbingan belajar. Namun ia tak berhenti mengamalkan dzikir, seperti biasa, setiap hari, demi takdir baik yang akan datang berikutnya.

Tiga tahun bekerja di sana, ia senang bisa mengamalkan ilmu marketing yang pernah dipelajarinya di bangku kuliah dan berbagai seminar. Ini memang usaha baru, merintis. Namun sebagai pengawai ia berusaha bekerja profesional, mendedikasikan ilmunya demi majunya perusahaan. Dedikasinya sebagi marketing memang membuat perusahaan selalu menerima order jasa. Kemajuannya memang tak benar-benar berlipat ataupun fantastis, tapi mereka survive.

Untuk meningkatkan kinerjanya, bos nya lalu membiayai Pak Ahmad berangkat umroh bersama istrinya. Tak hanya umroh, namun umroh plus perjalanan ke Turki. Negeri itu memang tengah memasuki musim semi, tulip-tulip tengah tumbuh, festival tulip juga tengah digelar.

Begitulah, penuh suka cita ia persiapkan perjalanan umrohnya baik-baik. Dalam doa ia tak banyak menyebut banyak permintaan muluk. Namun dzikirnya selalu menyebut keMaha Pemurah-an Nya, yang kuasa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Ia pun berangkat umroh bersama istrinya. Tentu saja, tak lupa mendoakan banyak kebaikan bagi perusahaan, serta bosnya, di depan multazam, di antara sujud terakhir, di antara waktu mustajab sholat malam, juga di ArRaudhoh.

Baginya, perjalanan umroh ini salah satu jawaban dari dzikir rutinnya. Sebab banyak kawan dan kenalan yang secara finansial lebih mapan, namun tak ada keinginan memenuhi panggilan Tuhan ke Baitullah. Sehingga mereka tak pernah terpikir bahkan tiba di sana.

Demikianlah, hingga kini Pak Ahmad terus mengamalkan dzikir itu, dan terus berprasangka baik pada Tuhannya. Sebab ia yakin, ketika ia berpikir positif akan apa yang terjadi padanya, itu adalah bentuk syukur. Dan ketika syukur itu terus diucapkan, dilakukan, diamalkan, maka nikmat lain akan terus dibukakan pada manusia. Nikmat yang terus mengalir sebagai rejeki. Rejeki yang datangnya dari berbagai arah, tidak diduga, tak tertebak, tak disangka-sangka, dan tidak selalu berbentuk materi.


(Berdasarkan penuturan Pak Ahmad, bukan nama sebenarnya, kepada penulis)
Penulis: Sari Kusuma

Exit mobile version