Site icon SuaraJakarta.co

Seandainya Saja Aku Pilih Haji…

suara-jakarta-jamaah-haji-jakarta

Ilustrasi Jamaah haji jakarta (Foto: Istimewa)

SuaraJakarta.co, Kisah Inspiratif – Tepat 10 tahun dia mengabdi di sekolah swasta itu. Dia menjadi guru kelas, dan demi pangkat agar cepat naik dia pun menyambi kuliah mengambil gelar S2. Gelar master sudah cukup baginya agar bisa naik pangkat menjadi kepala sekolah.

Dan benar, di tahun kesepuluh dia menjadi guru tetap di sana, tawaran itu datang. “Pak, sampeyan sudah pantas jadi kepala sekolah. Tapi begini, saya tawarkan: sampeyan mau naik haji dulu atau jadi kepala sekolah dulu? Naik hajinya pihak sekolah ini siap menanggung..” Glek! Naik haji? Empat puluh hari terpisah dari negeri? Berdesakan dalam cuaca panas terik mengelilingi ka’bah? Belum lagi katanya di sana semua sifat jelek manusia seolah dibalas langsung oleh jamaah lain? Lalu, bagaimana dengan berlarian bolak-balik Shofa-Marwa yang panas itu? Apalagi soal berdesakan di terowongan mina? Masih terlintas dalam ingatannya musibah mina yang menelan ratusan nyawa beberapa tahun lalu… Hiii..

Aku belum siap, batinnya. “Saya kalau naik haji sepertinya belum siap Pak. Berat ibadahnya, mesti total ya katanya?” “Lho? Jadi gimana? Mau jadi kepala sekolah saja?”

“Peningkatan karir memang jadi keinginan saya Pak, itulah sebabnya saya berlelah-lelah kuliah S1 ekstensi kelas malam dan mengambil gelar Master..”, jawabnya yakin. Naik haji bisa lain kali, dengan jadi kepala sekolah tunjanganku akan naik, jadi bisa disisihkan untuk tabungan haji, batinnya.

Maka, bulan berikutnya resmi ia diangkat sebagai kepala sekolah swasta berbasis keagamaan tersebut. Lima tahun berlalu, tabungan hajinya tak juga bertambah. Ada saja kebutuhan: untuk uang muka kuliah anaknya, untuk renovasi atap rumah yang bocor, lalu anaknya yang harus dicicilkan motor untuk berangkat kuliah.

Yang satu masuk kuliah, berikutnya adiknya mau masuk SMA. Macam-macamlah. Yang pasti, saldo tabungan hajinya tak juga membuatnya mendapat nomor urut antrian haji. Lalu masuklah masa renovasi Masjidil Haram, sehingga antrian kian memanjang sampai belasan tahun. Sebelas tahun dari sekarang, umurnya akan menjadi 71 tahun, sementara tahun depan ia akan pensiun.

Oww,,, Hatinya meringis, saat menghadiri acara walimatul safar rekan kerjanya yang akan naik haji, padahal umur rekannya itu belum sampai 40 tahun. Ketika pak Ustadz memberikan nasehat soal naik haji, tak terasa matanya basah. “Haji itu ibadah fisik, Pak, Bu, kalau memang pas masih muda ada kesempatan, ambil langsung. Jangan banyak pertimbangan. Kalau udah umur 50 ke atas kan jalan udah cepet capek, lutut mulai sakit..”, begitu nasehat Pak Ustadz pengisi tausiyah acara itu.

Gundahnya ia ceritakan pada kawan lamanya yang baru pulang umroh, katanya: “Seandainya waktu itu aku pilih haji saja ya. Mungkin aku udah jadi pak haji, dan kepala sekolah. Lha wong ternyata temenku yang udah dapat jatah haji aja tahun depan bakal gantiin aku jadi kepala sekolah…” Sesal jua tiada arti.

Kesempatan kadang tak datang dua kali. Berhaji benarlah memang soal biaya, sebab jika biaya sudah tersedia, tinggallah tekad bagai baja: Iya! Saya harus segera naik haji, apapun yang terjadi! Labbaik Allahumma Labbaik… [***]

Penulis: Sari Kusuma

Exit mobile version