Site icon SuaraJakarta.co

Pak Seno, Guru SMP Yang Mensiasati Hidup dengan Berjualan Sate Ayam

Ilustrasi. (Foto: IST)

“Nanti malem, kalau ada yang pengen beli sate ayam, mampir ya ke warung saya..”, setelah menutup pelajaran hari itu, ia pun berpromo.

Pak Seno, sebut saja begitu namanya, seorang guru biologi di sekolah SMP negeri di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Jam pelajaran Biologi selalu menarik sebab ia selalu membumbuinya dengan humor. Selalu ada senyum, juga tawa, di setiap ia mengajar. Dan tak pernah ada omelan di pelajaran yang dia terangkan. Seru!

Dan pada masa itu, hidup memang keras. Gaji guru SMP memang tak seberapa. Tak cukup sepertinya untuk menghidupi anak dan istrinya, juga orang tuanya. Mau tidak mau, ia memutar otak, mencari jalan dan celah: agar keluarganya bisa ternafkahi dengan cukup.

Pada waktu itu, orang belum mengenal Pak Bondan Winarno dengan wisata kulinernya. Pada waktu itu pula, orang belum mengenal chef Juna dengan berbagai akrobat masakan lezatnya. Kota itu tergolong kota sederhana, tidak ramai dengan wisata kuliner, pun belum terjamah budaya ngeMall di akhir pekan, atau ngopi di kafe yang bermunculan akhir-akhir ini.

Pasar tradisional selalu ramai di pagi hari, oleh para wanita perkasa penjual maupun pembelinya. Laki-laki di dalamnya lebih banyak bertugas memanggul dagangan yang berat. Di depan pasar, becak berjejer menunggu para ibu yang minta diantarkan pulang, dengan upah tak lebih dari 3 ribu rupiah sekali jalan. Saat itu sedollar tak lebih dari 1000 rupiah, dan harga beras sekilo tidak lebih dari 2 ribu rupiah. Para tukang becak memang sering harus lebih aktif menjemput penumpang, mereka tak segan meninggalkan becaknya di luar, lalu masuk mendekati ibu-ibu yang tampak sudah hendak pulang dan tangannya sudah repot menenteng banyak belanjaan. Kadang setengah memaksa, tukang becak itu langsung membantu membawakan belanjaan berat itu sambil menawarkan,”Becak ya Bu? Kemana? Ayuk, sekalian saya angkutkan barangnya”, gigih! Beberapa orang ada yang merasa terbantu, dengan mudah tawar-menawar ongkos terjadi, lalu ketika harga cocok segera semua belanjaan berat itu diangkut tukang becak ke becaknya. Sementara calon penumpang bisa melenggang ringan, tinggal berjuang melawan sesaknya pengunjung pasar yang luar biasa penuh di pagi hari. Namun ada pula yang merasa risih serta terganggu, lantas tegas menolak barangnya diangkut, sebab mereka sudah punya tumpangan pulang yang sedang menunggu dengan sabar di depan pasar.

Dan setiap pagi itu pula, pak Seno berbaur dengan pasar, larut dengan kumpulan manusia, yang berdesakan bagai jemaah haji berebut menyentuh hajarul aswad di depan Ka’bah, untuk melengkapi kebutuhan gerobak sate ayamnya. Pada masa itu, tukang sate ayam bisa dihitung dengan jari, jeli juga guru berkacamata itu memilih jenis usaha sampingan.

Bahan dagangan ia tinggalkan pagi itu, sebab jam 7 pagi ia harus sudah berada di sekolah: mengajar.

Siang, saat semua murid telah pulang, barulah ia menyentuh belanjaan itu. Tukang sate sebenarnya layak mendapat medali, sebab bagaikan tukang sulap: ia mengubah seekor ayam utuh bulat masih bertulang, menjadi sepiring sate ayam tanpa tulang hangat lezat, dengan siraman bumbu kacang pedas yang nikmat. Bagaikan sihir, bau asap daging ayam dengan lemak yang menetes di atas arang yang membara, berubah menjadi wangi-wangian yang membangunkan rasa lapar. Dan bagai dihipnotis, pembeli tak usah menunggu lama untuk mampu menghabiskan bertusuk-tusuk sate hingga kenyang. Indonesian chicken berbeque, mungkin itulah nama beken sepiring sate ayam jika dibuat oleh chef terkenal. Dan di sini, Pak Seno adalah chef Juna ala Jawa Timur.

“Di warung sate saya, kalian bisa makan gratis. Tapi, pulangnya, jangan lupa bayar ya..”, hihi..kelakarnya mengakhiri pelajaran, sekaligus ajang promosi di depan puluhan remaja usia belasan awal yang menjadi muridnya. Muridnya bisa hanya tersenyum sambil menelan ludah membayangkan sate ayam lezat buatannya.

Selalu ada jalan jika ada kerja keras, bahkan secangkir madu hanya bisa dinikmati setelah bergumul mensiasati ribuan lebah yang menjaga sarangnya. Dan Pak Seno adalah bukti kelihaian seorang guru mensiasati hidup demi menghidupi keluarganya dengan jalan yang halal.

Exit mobile version