No Body Said It Was Easy

Kantukku tiba-tiba hilang ketika kursi sebelah diduduki wanita lanjut usia, dituntun seorang pria muda. Mungkin pria muda itu anaknya, aku tak begitu perduli. Kursi itu memang baru saja kosong, setelah penduduknya dipanggil melalui pengeras suara yang gemanya terdengar hingga sudut terjauh ruangan.

Aku meneruskan usahaku untuk beristirahat sejenak, tetap duduk, dengan mata setengah terpejam. Dalam kondisi normal, wanita itu pasti sudah aku ajak bercakap, berkenalan, bahkan jika percakapan berlangsung hangat, biasanya berakhir dengan saling bertukar nomor telepon. Namun, ini situasinya lain…

Meskipun mata ini tertutup setengah rapat, bisa kurasakan ia memperhatikanku, memberi senyum ramah. Tapi aku tetap bertahan dalam posisi duduk dengan mata terpejam. Kuharap pengabaian ini terbaca olehnya sebagai penolakan halus. Lalu membuatnya berhenti berusaha ramah, atau mengajak bercakap-cakap.

Tapi, rupa-rupanya ia tak mudah menyerah. Bisa kurasakan tangannya lembut menepuk pundakku, tepukan salam perkenalan, “Neng, kosong kan di sini? Saya ikutan duduk ya?,” tegurnya, pelan.

“Oh, iya, silahkan. Kosong kok Bu,” jawabku berusaha lebih ramah, namun telingaku sendiri faham bahwa suaraku sendiri itu sedingin bongkahan gunung es.

“Alhamdulillah, makasih ya Neng. Kirain ini kursi buat yang nganterin Eneng. Jadi Neng ke sini sendirian ya?”

Sepertinya wanita ini lebih gigih dari dugaanku. Penampilannya yang berjilbab putih polos dengan gamis bunga-bunga berwarna..hmm, aku bahkan tak bisa mendefinisikan itu warna apa. Sepertinya tadinya biru tua, namun kemudian kain katun itu terlalu sering bertemu dengan deterjen, berikut proses pencucian yang ‘kejam’, serta air sumur pompa yang keruh, sehingga warnanya jadi biru kecoklatan dengan nuansa pudar. Tubuh kurusnya pun tampak lebih kurus dengan pakaian seperti itu. Dalam kondisi normal, aku pasti akan menghiburnya, sebab dari postur, pakaian, bahkan penyakitnya pun membuatku merasa kasihan. Tapi kondisiku tengah tidak normal, aku terlalu lelah untuk itu.

“Neng udah lama nunggunya?”, dan dia benar-benar lebih kokoh dari batu karang. Dalam kondisi normal, aku bahkan bagai gunung karang.

“Sebenarnya saya ke sini dari subuh, tapi tadi saya habis dapat nomor langsung ke musholla aja. Mumpung masih bisa jalan. Soalnya, kalau lagi sakit, trus pendarahan, saya ga nyaman sholat..”, aku menjawab seperlunya, berusaha tersenyum.

BACA JUGA  Berkenalan dengan Aries Heru, Dosen Indonesia Lulus Tercepat Program Doktor di Taiwan

Dia adalah pasien kanker leher rahim. Tak begitu jelas tadi dia sebut berapa stadiumnya. Yang jelas, pembicaraan dia setelah menanyakan kabarku dan lainnya, adalah soal berbagai keluhan dan penderitaannya sebagai pasien kanker. Soal apa yang fisiknya rasakan, hingga soal hampir seluruh perhiasan yang ia jual untuk ongkos perjalanan ke sana kemari demi berobat. Juga, soal temannya yang juga kanker, lalu berobat alternatif, dan mulai kencing darah, lalu kini tengah masuk ICU kerena kondisinya yang kritis. Wanita tua itu sendiri kini mulai mengeluh sesak nafas.

Aku berusaha menyimak dengan simpatik keluh kesahnya. Namun, aku pun penderita kanker. Dan mendengar kisah penderitaan pasien kanker lain, membuatku membayangkan kelak aku akan merasakan keluhan dan derita yang sama. Diriku yang sejak divonis menderita kanker bagai terperosok dalam jurang gelap, mendengar keluh kesahnya serasa makin dalam terperosok. Dan membayangkan betapa gelap, pekat, sesak dan gulita di sana. Uhh..

Namun badan ini memang tengah lemah, demi mencegah ia makin mengajakku terperosok lebih dalam lagi dalam gelapnya keluh kesah, kubuat saja mataku menutup. Pura-pura tertidur. Mudah-mudahan itu membuatnya berhenti mencelotehkan duka.

Aku sedang tidak butuh cerita nestapa lain. Sebab stok cerita sedihku terlampau banyak. Benar saja, ia berhenti, syukurlah..

Inilah aku dan kondisi abnormalku: Wanita pekerja yang tengah meraih posisi terbaik dalam pekerjaan, lalu tiba-tiba kanker menggerogoti tubuhku. Aku terbiasa menjadi motivator dalam dunia kerjaku, namun ternyata aku begitu mudah rapuh mendengar vonis kankerku beberapa bulan lalu. Kerapuhan yang membuatku menyerah kalah ketika dokter memberitakan ini tanpa sedikitpun empati, namun menyalahkanku karena abai pada keluhan yang telah lama kutahan. Kerapuhan yang membuatku mengabaikan penyakit ini, hingga ia mulai memakan organ tubuhku yang lain. Kanker ini telah bermetastasi.

Kerapuhan yang membuatku sadar: kesempurnaanku sebagai wanita yang sukses memotivasi banyak orang, ternyata tak tergambar dalam sikapku sendiri menghadapi penyakit ganas ini.
***

Dan seolah lagu lama bertema penyesalan milik Cold Play itu diputarkan.

“Nobody said it was easy. It’s such a shame for us to part. Nobody said it was easy. No one ever said it would be this hard. Oh take me back to the start”

BACA JUGA  Demi Menghilangkan Rasa Malu

Lagu itu memang berbicara soal perpisahan. Yang kualami bukan perpisahan dengan seseorang, tapi perpisahan dengan masa sehat gemilangku. No body said it was easy, betul, semua mengakui ini berat, tidak ada yang mengatakan ini mudah. Ketika sehat kunikmati dengan menjadi manusia bermanfaat bagi semuanya: Bagi anakku, suamiku, rekan kerja, teman pengajian, bahkan tetangga. Mereka semua mengenalku sebagai manusia tangguh, dan selalu menyumbang kebaikan. Dan kini sebagai manusia yang digerogoti penyakit, keadaan berbalik. Akulah kini yang selalu menerima kebaikan.

Dan ini tidak mudah, aku tak biasa menjadi orang yang dikasihani. Aku biasa mengasihani orang, mengulurkan tangan memberi bantuan. Bagian terberat dari penyakit ini adalah aku kini menjadi manusia yang sepenuhnya bergantung pada banyak manusia: pada dokter, pada perawat, pada pihak rumah sakit, pada keluarga, pada teman, dan terutama pada suami dan anak-anakku. Aku hanya merasa bagai manusia tak berguna, menyusahkan seantero manusia. Dan inilah yang membuatku makin merasa sakit.

Ya, aku telah terpisah dari diriku yang selalu berguna bagi semua. Dan ini berat. Ini tidak mudah.

“No one ever said it would be this hard”. Dan ternyata memang berat. Aku sempat berharap bisa memutar waktu, kalau saja di awal dulu aku menemukan dokter yang lebih simpatik, yang lebih menjaga tutur kata, sehingga diagnosa ia sampaikan tidak disertai dakwaan. Sehingga aku lebih semangat segera mengobati penyakit ini. Sehingga aku tak harus melalui stadium yang lebih keji ini…

Tapi semua telah terjadi. Dan ini harus terus kujalani. Tak ada tempat untuk meratapi diri. Hidup akan terus berjalan, kanker akan terus menggerogoti, tinggal aku yang harus sabar.

Dan pada bagian ini, aku hanya butuh nasehat, seperti yang sering kuucapkan pada orang-orang di sekitarku: “Jika kamu bersyukur, maka kebahagiaanmu akan ditambah terus oleh Allah”. Sekecil apapun senang itu, meski di antara keruhnya lautan kesulitan, ia tetap berhak untuk diamini keberadaannya, untuk kemudian disyukuri. Ini memang berat, ini tentu saja sulit, tapi cukup berharga untuk dicoba.

Penulis: Sari Kusuma

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles