Site icon SuaraJakarta.co

Kartini Berjilbab Biru, Forrest Gump dan Sekotak Coklat

Ilustrasi. (Foto: IST)

Wanita muda dengan jilbab biru dan berseragam dinas biru muda itu mengawasi lalu lintas dengan seksama. Di tepi jalanan padat tak jauh dari pusat kota itu, ada dua petugas wanita dengan seragam yang sama berada dalam jarak sekitar 10 meter darinya. Masing-masing petugas muda didampingi petugas pria yang lebih senior, bertindak sebagai mentor. Mereka mengarahkan kendaraan yang hendak berbelok atau angkot yang tetiba ngetem di jalanan yang padat itu. Atau membantu pejalan kaki yang hendak menyeberang jalan. Intinya: lalu lintas sore itu harus rapi, lancar dan nyaman dengan keberadaan mereka.

Salah seorang petugas wanita tampak tangkas menghentikan kendaraan, ketika pejalan kaki mulai padat hendak menyeberang jalan. Sore itu memang sudah masuk jam pulang kantor.

Masuk waktu magrib, ia minta ijin kepada mentornya untuk sholat magrib. Tak jauh dari sana memang ada sebuah masjid besar. Adzannya menggema hingga ke tepi jalan tempat jilbaber berseragam biru muda itu bertugas.

Dan lepas magrib itulah kami bercakap. Rupanya ia berasal dari Tegal, lepas SMU ia mendaftar di politeknik yang berafiliasi dengan departemen. Tidak mudah masuk sekolah tinggi itu, persaingannya ketat, seleksinya melalui banyak tahap, mulai dari seleksi kesehatan, tes lisan, tes tertulis, hingga tes fisik. Dan tentu saja, nilai raport SMA menjadi bagian penting. Ia memang siswi berprestasi di sekolahnya dulu, minimal ranking 3 besar.

Bagi sebagian orang, kuliah di kampus ini menimbulkan kebanggaran, sebab seleksinya yang ketat, sehingga hanya segelintir saja yang bisa lolos. Tentu saja, sebab biaya kuliah di kampus tersebut hampir seluruhnya dibiayai oleh negara.

Setelah 4 tahun, ia menyandang gelar D4. Kampus almamaternya kemudian menginfokan lowongan honorer di dinas perhubungan ibukota. Singkat cerita, ia diterima, dan merantau meninggalkan kampung halamannya di Jawa Tengah, meninggalkan orang tuanya, padahal ia adalah anak semata wayang mereka.

Selama di kampus ia digembleng dengan berbagai ilmi tentang lalu lintas dan angkutan darat. Soal berkendara dengan aman, soal lalu lintas yang nyaman, bahkan soal rekayasa lalu lintas demi mencegah kemacetan: semuanya ia tahu. Yang ada di benaknya adalah ia akan bekerja sebagai tenaga yang memprogram agar lalu lintas terhindar dari kemacetan.

“Misalnya di jalan depan stasiun kota tuh Mbak, pernah ke sana kan? Semrawut sekali, macet. Itu kalau direkayasa bisa cair lho macetnya. Dibikin supaya penumpang yang baru keluar stasiun ga turun langsung ke depan jalan, jadi angkot ga ngetem di situ…,” jelasnya panjang lebar ketika ditanya contoh rekayasa lantas. Matanya langsung berbinar ketika ditanya soal hal yang sebenarnya ilmu yang telah dipelajari selama 4 tahun dulu. Ia lalu memaparkan, bahwa di tikungan seharusnya tidak ada penyeberangan jalan, dan banyak hal lagi ia jelaskan dengan semangat.

“Iya, begitulah Bu. Sebenarnya saya kadang bingung job desk saya sekarang tidak seperti yang saya bayangkan. Saya merasa ilmu saya tidak terpakai. Tapi ya Alhamdulillah sih, saya segera dapat kerja setelah lulus kuliah. Bisa meringankan ekonomi orang tua”, dan ia mulai menceritakan keluarganya.

Kedua orang tuanya adalah petani sawah di daerah Jawa Tengah sana. Mereka sangat ingin agar anak semata wayangnya bisa hidup lebih baik dari kedua orang tuanya. Mereka tak terlalu khawatir jika anak gadisnya merantau , yang penting ia hidup lebih baik dari mereka. Iya, berbeda dengan falsafah orang Jawa pada umumnya: makan ora makan sing penting kumpul, baik makan atau tidak itu tidak penting, yang penting bisa berkumpul dengan keluarga.

Jadi, bagaimana ‘Kartini muda’ ini menjalani pekerjaan yang sebenarnya di luar ‘passion’ dan keahliannya?

“Dijalani aja dulu Mbak. Kita ini kan tak selamanya mengikuti kata hati, yang penting terus bersyukur dan menjalani semuanya dengan sebaik-baiknya, apapun perannya”, katanya. Jauh berbeda memang: menjadi perekayasa lalu lintas dengan menjadi ‘polisi lalu lintas’.
***

Mungkin ini seperti perkataan Tom Hanks dalam film layar lebar ‘Forrest Gump’ di tahun 1994, memetik nasehat ibunya: “Life is like a box of chocolates. You never know what you’re gonna get.”

“You have to do the best with what God gave you”, lanjut sang Ibu.

Hidup itu analog dengan sekotak coklat berisi aneka rasa permen coklat. Manusia kadang tidak bisa menebak coklat macam apa yang akan ia dapat ketika mengambil dari dalam kotak itu. Tapi jenis coklat apapun yang akan Allah karuniakan kepadanya, ia tetap harus melakukan yang terbaik, semampunya, menjalankan peran yang ia sandang. Tunjukkan etos kerja, berusaha sebaiknya, sementara terus memperbaiki diri. Seperti yang dilakukan ‘Kartini muda’ berseragam biru muda di atas: bekerja sebaik mungkin, sesuai peran yang telah diemban.

Soal apakah apa yang telah diemban masih jauh dari impian, atau jauh berbeda dari cita-cita awal: hanya diri sendiri yang bisa tahu, apakah cita-cita awal itu masuk akal, atau hanya kehendak penuh khayal.

Penulis: Sari Kusuma

Exit mobile version