Site icon SuaraJakarta.co

Demi Menghilangkan Rasa Malu

“Bu, pokoknya saya harus berangkat umroh tahun ini. Harus Bu. Tolong bantu saya,” katanya memohon, hampir saja menghiba.

“Pak, saya bisa daftarin sampeyan di perjalanan bulan ini, tapi bayar dulu ya. Kan kami mesti bayar booking tiket pesawat, urus visa, banyak Pak..”

“Nanti saya bayar jika travel penipu itu mengembalikan uang saya. Tolonglah Bu”, lagi-lagi ia merajuk.

Namanya Pak Andi, berhasil menabung lalu menyetorkan tabungannya ke sebuah travel penyelenggara umroh dua bulan yang lalu. Dan sejak saat itu, ia mulai senang bukan main karena akan bertemu baitullah. Saking gembiranya, semua teman kantor, tetangga dan keluarga ia kabari soal rencana umrohnya.

Dua pekan sebelum hari H, Pak Andi menggelar walimatus shafar di rumahnya. Semua tetangga ia undang, begitu juga teman kantornya. Semua mendoakannya. Pihak travel menjanjikan esok diadakan manasik di sebuah rumah makan Padang, setelah beberapa kali mengalami penundaan. Karena beberapa kali penundaan inilah ia nekat menggelar acara selamatan itu meski belum dipanggil untuk manasik.

Namun saat hari manasik tiba, pihak travel tidak juga menginfokan lokasi dan jam berapa manasik dilakukan. Cemas, Pak Andi menelpon pihak travel. Namun tak ada yang mengangkat. Makin cemas, ia pun mendatangi kantor travel. Ternyata kantor itu tutup, sepi.

Keesokan harinya, ia mencoba menghubungi kembali travel itu, dan mendatangi kantor. Namun tak ada respon. Begitu pula keesokan harinya. Dan di sanalah Pak Andi mulai curiga: jangan-jangan ini travel jadi-jadian? Travel bo’ongan? Bagaimana ini?

Singkat cerita, ia pun tahu bahwa selain dirinya, ada puluhan orang calon jamaah umroh lain yang mengalami hal yang sama, lalu mereka kompak melapor ke polisi. Penyidikan pun berlangsung, oknum penipu dikejar, pihak travel dituntut mengembalikan biaya umroh yang sudah dibayar.

Tinggallah Pak Andi bingung bukan kepalang menjawab pertanyaan semua orang yang sudah dia pamiti pergi umroh. Antara rasa malu dan marah, tak tahulah apa saja perasaan yang berkecamuk di hatinya. Lalu dia membaca informasi soal umroh yang akan berangkat dalam waktu dekat, pemilik travelnya adalah kakak dari teman dekatnya.

“Saya harus umroh bulan ini Buu.. Uang saya masih di travel itu, bulan depan baru dikembalikan. Nanti kalau sudah ada sayal bayar ke Ibu”, lanjutnya menghiba.

“Pak, tidak mungkin urusan seperti ini bisa kelar 1 pekan, rombongan kami berangkat pekan depan. Visa kan ngurusnya ga sehari dua hari. Booking tiket pesawat kalau mendadak juga harganya lumayan. Bulan depan saja umrohnya, kami masukkan nama sampeyan,” Ibu pemilik travel berusaha membujuk.

“Harus bulan ini Bu. Kalau bulan depan kelamaan. Saya kadung udah pamit sama tetangga. Malu saya jika bulan ini ga jadi umroh,” kilahnya.

“Hmm..Pak Andi, ibadah itu harus karena Allah, ikhlas. Bukan karena malu sama tetangga. Tambah berat saya bantuin anda jika alasan umrohnya karena malu sama tetangga,” berusaha seempati disertai senyum terbaiknya, wanita itu tak mau kalah dengan bujuk rayu lawan bicaranya.

Dan ibadah ini memang memenuhi panggilan Allah, bukan demi prestise, gaya-gayaan, apalagi menghilangkan rasa malu.

Pak Andi tertunduk lesu. Dia masih belum bisa menerima penolakan bu Direktur. Tapi apa mau dikata: dia harus sabar dengan kenyataan sekaligus musibah itu. Nasi memang sudah menjadi bubur, tapi toh bubur masih bisa ditaburi ayam suwir, bawang goreng, emping, kacang, kecap, krupuk dan sambal, lalu dikuahi kaldu, dan dinikmati sebagai bubur ayam.

Penulis: Sari Kusuma

Exit mobile version