Site icon SuaraJakarta.co

Dari Kisah Keledai dan Sepasang Ayah Anak, Hingga Pengusaha dan Hijab

Sepulang haji, seorang pengusaha resah. Rekan-rekan bisnisnya bergantian mengomentari dirinya, tak henti-hentinya. Mereka tak hentinya berkomentar macam-macam soal istrinya yang jadi berhijab lebar dan rapi setelah menjadi Bu Hajjah. Ada yang senyum terpaksa, ada yang bertanya sinis, ada pula yang curiga ia telah terjaring aliran ekstrimis tertentu yang dikenal saat naik haji. Ada yang menyarankan agar istrinya memperpendek jilbabnya, mengganti pakaiannya dengan busana muslimah yang lebih modis, yang meskipun ketat namun masih menutup aurat. Macam-macam! Resahnya bertambah karena sekarang setiap pertemuan bisnis selalu diawali mereka dengan menanyakan kembali: Kamu ga ikut aliran macem-macem kan?

Resahnya ini, akhirnya ia utarakan pada seorang ustadz, yang menjadi pembimbing hajinya dulu. Sang ustadz bukannya memberi solusi, malah menceritakan sebuah kisah tentang ayah, anak dan keledai peliharannya.

Begini ceritanya: Sepasang ayah dan anak berangkat ke pasar, menaiki seekor keledai. Di jalan, orang-orang memandangi mereka, sambil berkomentar berbisik, namun masih bisa didengar sang Ayah,”Ih, tega sekali mereka itu, keledai kecil ditumpangi berdua. Penyiksa binatang!”. Merasa bersalah, Ayah pun turun, membiarkan anaknya saja yang menunggang keledai, lalu melanjutkan perjalanan.

Tak lama, ayah dan anak itu melalui serombongan orang lagi. Orang-orang itu melirik mereka berdua dengan kerutan di dahi. Komentar mereka,” Baru kali ini kulihat anak yang jelas durhaka dan egoisnya terhadap orang tua. Masa dia naiki sendiri keledai, sementara ayahnya dibiarkan berjalan kelelahan..”, kali ini komentar itu disampaikan jelas tanpa bisik-bisik. Ayah melongo. Lalu menurunkan anaknya, sementara dirinya menaiki keledai.

Mereka berduapun melanjutkan perjalanan perlahan, dengan hati lega, melewati perkampungan kecil. Seorang ibu melihat dengan mata mendelik, lalu berkata tegas,”Demi Tuhan, ayah macam apa kamu itu? Membiarkan anak berjalan tertatih, sementara kau sendiri enak-enakan menunggangi kedelai? Ayah egois..”. Ayah menelan ludah demi mendengar komentar tegas begitu.

Ia pun segera turun. Keledai dibiarkan berjalan tanpa beban, sementara ia dan anaknya berjalan kaki beriringan. Sepertinya dengan begini aku tak akan dituduh egois lagi, demikian pula anakku bebas dari celaan orang, pikirnya dalam hati.

Namun, tak lama lewatlah orang tua, yang segera tersenyum sambil gekeng-geleng kepala. Lalu berbicara langsung kepada si Ayah,”Nak, keledai itu hewan kuat, alat transportasi, kenapa kalian membiarkan punggungnya kosong tanpa mengangkut satu pun di antara kalian berdua?”

Demi masa, sang Ayah hanya bisa garuk-garuk kepala….
***

“Dalam hidup, setiap manusia tak bisa lepas dari kontak dan pengamatan manusia lain. Sebagai makhluk sosial, berakal, berlisan, mereka akan mengamati, memberi penilaian, lalu berkomentar ini dan itu. Dan tidak akan ada habisnya pekerjaan jika sibuk berlaku berdasarkan komentar manusia”, dan sang Ustadz mulai membuat kesimpulan.

“Ada satu pepatah Madura: Buppak, Babuk, Guruh, Ratoh, yang artinya Bapak, Ibu, Guru dan Penguasa. Empat orang itu adalah orang yang wajib diikuti dan dipatuhi menurut budaya pulau Garam itu. Selain itu, jangan terlalu dipikirkan, apalagi membuat tidak bisa tidur, apalagi menyebabkan perubahan gaya hidup. Guru diibaratkan tokoh atau orang yang berilmu lebih. Bapak dan ibu selain orang tua secara biologis, dianalogikan juga sebagai orang yang dituakan, yang lebih senior. Maka selain itu: teman kantor, rekan bisnis, teman sebangku di kereta, teman di sosmed, kenalan yang hanya bertemu via sms- jika berkomentar melelahkan: tidak usah terlalu dipikirkan. Tidak usah baper atas semua perkataan manusia, baper alias bawa perasaan, alias sensi, alias mudah tersinggung”, tambahnya.

Ia lalu melanjutkan, “Hidup terlalu singkat jika dihabiskan untuk menanggapi komentar semua orang. Hidup terlalu singkat untuk menyimak saran setiap orang yang dikenal. Kita tidak bisa menuruti selera dan tren semua orang, kita tidak bisa membuat semua orang puas. Setiap orang memiliki pengalaman hidup sendiri, dengan latar belakang budaya, kebiasaan dan pemahaman agama masing-masing. Kita hanya perlu mendengarkan saran mereka yang jelas memberi saran karena kenal baik, punya kapasitas, serta dia orang penting dalam kehidupan kita. Apalagi soal hal yang jelas dalam syariah.”

Si pengusaha mulai mengerti. Selama ini, ia berteman dengan berbagai macam orang. Mereka mempengaruhinya dalam banyak hal: dalam memilih merk pakaian, dalam memilih tempat makan, dalam memilih tempat nongkrong, bahkan dalam memilih jenis parfum yang ia pakai. Ia bahkan mulai rajin menggunakan pelembab wajah juga berkat saran dari rekan bisnisnya yang mengkritik wajahnya yang terlihat kusam. Semua ia lakukan demi bisa masuk dalam dunia pebisnis, lalu ia bisa membuat relasi, dan menemukan peluang bisnis.

“Manusia datang dan pergi, hanya keluarga dan sahabat baik saja yang terus mendampingi saat susah maupun senang. Maka untuk apa sibuk mendengarkan perkataan manusia yang datang dan pergi itu? Untuk apa mengikuti selera mereka? Yang kita ikuti syariah kan bukan selera?”, tegas sang muthowif.

Ya, penampilan istrinya sekarang adalah pilihan yang diambil secara sadar, karena sesuai syariah. Untuk apa ia resah? Batinnya mantap.

Penulis: Sari Kusuma

Exit mobile version