Oleh: Sari Kusuma
“Haloo, sayang, yuk bobo’ di sini..”, sapanya pada bayi mungil yang masuk ke ruang periksa dengan digendong ayahnya. Senyum ramahnya tak pernah lepas dari wajah manisnya, sambil menunjukkan sebuah bed kecil khusus bayi yang menempel pada meja kerjanya. Bayi usia 4 bulan itu datang karena dianjurkan oleh dokternya untuk diperiksa grafik tumbuh kembangnya, sebagai deteksi dini gangguan pertumbuhan.
Perempuan berjilbab merah yang memeriksanya adalah seorang sarjana ahli pendidikan dan psikologi anak usia dini. Ia adalah Gardini Oktari, 26 tahun. Di rumah sakit itu, ia bertugas melakukan skrining tumbuh kembang pada balita tertentu, yang telah diperiksa oleh dokter anak, sesuai anjuran dokter anaknya. Dengan tangkas, cakap dan informatif dia menangani bayi itu, memasukkan angka berat dan panjang badan bayi pada aplikasi kurva pertumbuhan di laptopnya. Lalu menjelaskan di mana posisi pertumbuhan bayi tersebut: di bawah, atas atau sesuai dengan kurva pertumbuhan normal. Orang tua bayi pun tampak serius dan puas dengan penanganan Gardi.
Mereka tak tahu, bahwa petugas yang memeriksa bayinya tadi pernah menjadi ABK (anak berkebutuhan khusus) di masa kanak-kanaknya. Pada masa TK, Gardi bersekolah seperti anak lainnya. Lulus TK, gurunya menyatakan ia memiliki perkembangan motorik yang bagus, dan bisa dikembangkan dengan baik. Mereka tak menyinggung soal kebutuhan khusus pada Gardi. Ia lalu bersekolah di SD umum. Ketidakwajaran baru disadari saat kenaikan kelas. Waktu itu dia dinyatakan tidak naik kelas, dan tidak dianjurkan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah itu. Gardi disarankan belajar di sekolah khusus.
Sempat Didiagnosis Hiperaktif
Mendapat saran demikian, orang tuanya membawanya ke LP3UI Terapan (sebuah lembaga psikologi dan pendidikan terapan di bawah naungan Universitas Indonesia) untuk menjalani berbagai tes, dan mecari tahu jenis kebutuhan khusus yang dimiliki Gardi. Mulanya ia diduga menyandang ADHD (Attention Defisit and Hyperactivity Disorder, gangguan konsentrasi dan hiperaktivitas), sebab saat pemeriksaan ia terlihat sangat aktif bergerak, nyaris tak bisa duduk tenang. Setelah dilakukan dikaji lebih lama, barulah diketahui bahwa masalahnya hanya pada intelegensinya yang di bawah rata-rata. Nilai IQ Gardi saat itu ‘hanya’ 70, masuk kategori ‘idiot’.
Untunglah kedua orang tuanya pantang menyerah. Sesuai kondisinya, Gardi akhirnya disekolahkan di sekolah khusus bagi para ABK, yaitu SLBC swasta di sekitar Jakarta Selatan. Di luar jam sekolah, orang tuanya juga mendatangkan guru privat ke rumah. Guru privat ini adalah seorang terapis dari Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Disaat sudah bertemu dengan sekolah yang cocok untuk Gardi, tetaplah Gardi melakukan les pribadi datang ke rumah dengan salah satu terapis dari YPAC (yayasan pendidikan anak cacat).
Terapis ini membimbingnya mengulang pelajaran di sekolah, dengan berbagai bentuk permainan yang menyenangkan. “Gardi tidak bodoh, hanya perlu sabar dan belajar berulang-ulang. Karena konsep berpikir Gardi dengan anak yang lainnya sangat berbeda. Kita hanya harus memberikan waktu lebih lama untuk berpikir, sebelum dia melaksanakan perintah kita, atau memecahkan masalah yang rumit”, begitu pendapat terapisnya waktu itu. Menurutnya, memasukkan Gardi di SLBC adalah pilihan yang tepat.
Menjadi Siswa Teladan
Tahun-tahun awal ia berinteraksi dengan manusia dewasa selain mama dan papanya ia rasakan begitu aneh. Namun guru dan terapisnya luar biasa sabar, hingga Gardi sangat terkesan, lalu terpacu untuk belajar. Hasilnya? Di SLB swasta, sejak tingkat SD, SMP hingga SMU, ia selalu meraih predikat terbaik, bahkan lulus sebagai siswa teladan.”Saya ingat waktu kelas 1, bu guru mengajari saya berhitung 4 dikurangi 2, dia ambil 4 bola, menuntun saya menghitungnya. Lalu dua bola dia sembunyikan, sebagai isyarat dikurangi dua. Waktu itu saya bukannya sibuk menghitung dua bola yang tersisa, namun malah mencari dua bola yang disembunyikan,” papar anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Perjuangan luar biasa juga tampak ketika ia menghadapi UN di SMU. Seluruh guru dan komite orang tua bahkan sampai-sampai harus menemui pihak penyelenggara UN di Diknas. Mereka meminta agar panitia menambah alokasi waktu ujian, dan mengurangi jumlah soal matematika bagi siswa ABK (anak berkebutuhan khusus) ini. Advokasi itu memang berlangsung alot, namun siswa ABK itu akhirnya mendapat tambahan waktu 20 menit per mata pelajaran.
Masa Kuliah Selama 7 Tahun
Lulus SMU, orang tuanya mengajarkan untuk tidak menyerah. Ayahnya berpesan: “Gardi, jika kamu mencita-citakan sesuatu, maka kejarlah, kamu pasti bisa”.
Sebagai seorang ABK, ia sempat merasa tidak percaya diri bisa memasuki dunia perkuliahan. “Lulus SMU aja udah syukur banget. Serius nih aku harus kuliah?”, kelakarnya. Memiliki orang tua yang berprofesi dokter dan faham betul tentang tumbuh kembang anak, membuat mereka mencari berbagai info terkait kampus-kampus di Jakarta. Mereka mendapat saran dari seorang pejabat di Departemen Pensisikan Nasional, bahwa Gardi cocok mengambil program studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Fakultas Psikologi dan Pendidikan sebuah universitas swasta di Jakarta Selatan. Jurusan yang tidak terlalu banyak berjibaku dengan angka dan berhitung, yang menjadi kelemahan utamanya.
Gardi akhirnya lulus dengan IPK 3,01. Dan ia bekerja keras untuk itu. Beberapa mata kuliah ia akui sangat sulit, seperti statistika dan pengembangan kurikulum SD. Di sisi lain, ia juga bisa mendapat nilai A untuk beberapa mata kuliah. Mata kuliah kepemimpinan misalnya, di sana Gardi muncul sebagai mahasiswa yang sangat aktif, dan menunjukkan kecakapan luar biasa dalam memimpin kelompok belajarnya. Ia juga sempat mengalami penolakan dari dosen pembimbing skripsinya. Ia menghabiskan 4 semester khusus untuk menyusun skripsinya, sehingga total masa kuliahnya adalah 7 tahun. Memang lebih lama daripada teman sekelasnya yang lain, tapi baginya tak masalah, sebab bagi individu berIQ 70 itu sudah prestasi luar biasa.
Slow Learner Yang Inspiratif
“Sampai sekarang, dosen pembimbing skripsi itu masih sering ngundang aku untuk ikut memotivasi mahasiswanya. Dia bilang begini: ‘Ini lho Gardi, IQ nya segini tapi bisa kok menyelesaikan skripsi dan lulus kuliah! Kalian yang normal masak ga bisa?”, imbuh gadis kelahiran Oktober 1989 ini penuh semangat.
Lepas kuliah, ia bekerja sebagai tenaga skrining tumbuh kembang di sebuah ruma sakit swasta. Ia juga menjadi pembicara di berbagai seminar, talk show wawancara radio dan berbagai even lain tentang ABK. Bulan Februari lalu ia menjadi nara sumber pada seminar tentang anak berkebutuhan khusus dengan tajuk ‘Mereka Bisa Sukses’. Sebuah situs pencari kerja pernah mewawancarinya. Profil dirinya ditulis dalam artikel ‘A Story of Inspirational Slow Learner Girl’.
Gadis yang hobi menari dan menulis ini menjadi inspirasi banyak orang tentang kerja keras dan pantang menyerah meskipun memiliki keterbatasan. Sebab, setiap individu terlahir unik, memiliki kekurangan, namun pasti ia juga punya kelebihan. Kelebihan yang merupakan potensi serta keunggulan, sehingga ia layak diperjuangkan dan dijadikan sahabat.