Belajar Bahagia dan Bahagia Belajar

SuaraJakarta.co, Sejak awal memegang buku ini sudah membuat saya kesengsem. Judul “Belajar Bahagia Bahagia Belajar” sungguh sangat memikat.

Buku ini terdiri dari empat bagian. Pertama, tentang Belajar Bahagia itu sendiri. Kedua, frase Bahagia Belajar. Ketiga, judul sub bagiannya adalah Menemukan Makna dan keempat Memotivasi. Saya tidak hendak mengupas satu per satunya konten tiap bagian. Membacanya sendiri akan lebih menajamkan sensasi hikmah dan inspirasi yang didapat dari buku catatan parenting 1 Mbak Ida S. Widayanti ini.

Lagi-lagi, Mbak Ida menghaluskan nurani pembaca lewat buku parentingnya. Jika menanyakan apa komentar saya terhadap buku ini, satu jawaban saya, ‘sederhana’. Ya, buku ini memang sarat akan kesederhanaan. Kesederhanaan itu bukan berarti nihil makna. Kesederhanaan yang ditawarkan buku ini lebih karena keluasan ilmu yang bisa pembaca sarikan usai melahap buku ini.

Saya termasuk pembaca yang jarang membaca dengan detil per kata dari buku yang ada di hadapan saya. Kebiasaan men-skip bagian-bagian yang saya rasa kurang penting masih hinggap pada diri saya. Namun, perlakuan saya terhadap buah karya Mbak Ida ini saya akui berbeda. Bahkan saya serasa enggan melewatkan satu kata pun yang tertulis. Bukan melebih-lebihkan, tapi memang, hikmah saya rasakan mengalir dari tiap kata yang dituliskan di buku cetakan November 2012 ini.

Saya yang memang sangat suka dengan dunia parenting dan anak-anak semakin termotivasi akan hadirnya karya-karya Mbak Ida. Kelebihan yang saya akui konsisten ditelateni penulis dalam setiap tulisannya adalah kekuatan menghikmahi realita sederhana di lingkungan keluarga dan masyarakat. Kejadian yang dalam kaca mata kita biasa dan rutin, oleh Mbak Ida ditangkap dengan sudut pandang lain sehingga menghadirkan ke tengah pembaca hal yang dapat dipetik pelajaran darinya.

Bagian yang saya paling suka dari buku ini adalah bagian keempat (terakhir) tentang Memotivasi. Entah kenapa, di bagian inilah air mata mengalir. Sejatinya di bagian inilah yang paling sederhana dari yang lain. Di dalamnya berisi tentang 12 sub bagian yang kesemuanya mengarus pada memotivasi, utamanya anak-anak.

Anak-anak, seperti banyak disebutkan, merupakan kertas putih yang fitrah. Kertas putih bukan berarti ia kosong tanpa apa-apa. Allah telah menganugerahkan bermilyar potensi pada diri anak sejak ia tertanam di rahim seorang ibu dan lahir ke dunia. Maksud dari kertas putih itu yakni memberikan peluang besar bagi kita terlebih sebagai orang tua atau significant others untuk menorehkan sesuatu di atasnya.

Bagian Memotivasi ini beberapa memuat kisah antara anak dengan ibunya. Seorang anak, dalam subbag ‘Dorongan’ dan ‘Hadapilah’ mengalami suatu peristiwa yang membuatnya down. Sang ibu dalam kedua sekuel ini, keduanya, memotivasi si anak untuk menghadapi dan membesarkan hati anak tersebut melalui penyadaran akan kekuatan potensi diri anak. Hasilnya, anak yang semula hampir putus asa melejit menjadi pribadi sukses di masa dewasanya. Ya, di sini kita diajarkan sangat untuk selalu menyuntikkan kata-kata positif pada anak karena dari kata-kata kita (orang tua)lah sang anak tumbuh. Bagi saya, kata-kata orang tua ibarat pupuk dan segala komponen yang menjadi input bagi anak sebagai tanaman kita. Panen seperti apa yang kita inginkan pada pribadi anak sangat bergantung pada kata dan perlakuan yang orang tua berikan pada anak.

Subbag lain yang tak kalah menarik adalah Sebuah Globe. Dikisahkan, seorang ibu memberikan bayinya yang masih baru menyapa dunia dengan sebuah globe di dekatnya. Globe itu menjadi teman sang bayi sampai ia mengeksplorasi banyak pengetahuan dari globe pemberian ibunya itu. Sang anak menjadi yang paling antusias di mata pelajaran kebumian, sejarah, maupun pengetahuan alam dan antariksa. Sang anak pun menjadi mudah menjiwai hikmah penciptaan langit dan bumi, serta eksistensi Allah sebagai pencipta semesta alam. Hal sederhana memberikan globe yang merupakan stimulus aksi postif ini bisa menjadi gebrakan luar biasa pada diri anak.

Terakhir, subbag yang juga membekas lekat pada ingatan  saya berjudul Metamorfosis. Bagian ini dimulakan dengan kisah seorang anak yang menanyakan pada ibunya apa cita-cita ibunya ketika besar nanti. Pertanyaan yang tentu tak disangka ini  membuat si ibu (dan saya yang membaca) kaget, heran dan berpikir. Iya, ya. Tidak ada istilahnya berhenti bercita-cita setelah posisi atau jabatan apapun yang bertengger pada diri kita. bercita-cita adalah aktivitas sepanjang hayat yang bisa menuntun kita untuk berproses dan berubah (metamorfosis).

Akhirnya, perkenankan saya memetik pernyataan Mbak Ida dalam Metamorfosis ang sangat menohok saya, “Bagaimana mungkin seorang ibu akan memompakan semangat tinggi pada anaknya untuk meraih cita-cita setinggi langit andai si ibu sendiri tak lagi memiliki cita-cita.”

Belajar Bahagia dan Bahagia Belajar, keduanya menjadi hal pokok yang mesti kita upayakan dalam ruang kehidupan kita sebagai manusia, orang tua, maupun anak.

Related Articles

Latest Articles