SuaraJakarta.co, Sarasehan Inteligensia KAMMI edisi Jakarta berakhir kemarin Ahad (17/3). Universitas Trilogi (dulu: STEKPI) yang berlokasi di Kalibata Jakarta Selatan menjadi tuan rumah agenda ini. Banyak ide, gagasan, kritikan, dan wacana yang terlontar dari para pembicara dan peserta yang terkuak. Salah satu yang menurut saya menarik ialah berkaitan dengan sosial media (sosmed) dan perannya dalam sebuah gerakan.
“Tren gerakan sudah berubah. Wajar karena zaman pun telah berubah. Dulu TV dan media cetak menjadi raja informasi. Semua mereka kendalikan. Namun, sekarang internet dengan berbagai sosmednya telah sedikit banyak menggeser peran itu. Sosmed saat ini ibarat the original voice of ordinary people” ujar Haryo Setyoko, Sekretaris Umum PP KAMMI 1998.
“Jangan mengunderestimate peran sosmed. Pengaruh sosmed bisa lebih besar apalagi jika isinya up to date dan ditunjang dengan gagasan kuat”, lanjut Haryo yang merupakan sekretaris pertama KAMMI sekaligus salah satu deklarator KAMMI 14 tahun silam ini.
“Bahwa sekarang dunia ini kan semua orang bisa bermain di dunia. Kalau kata seorang pakar, apa yang terjadi di dunia saat ini berbasis 3.0. Kalau dulu 1.0 lebih banyak negara dan pemerintah yang bermain. Lalu, 2.0 dikendalikan oleh multi national corporation. Sekarang eranya 3.0, semua orang bisa menggerakkan apa yang terjadi di dunia. Melalui koneksi internet dan sosial media, kalian bisa kok melakukannya. Maka, ana melihat hal-hal yang berbau hierarki harus mulai dikurangi. Jadi, from hierarchy to equality dan from structure to network. Maka seharusnya setiap antum ini harus diberdayakan. Terserah mau ngambil pemberdayaan dirinya seperti apa” tutur Muhammad Badaruddin, Ketua Umum PP KAMMI 2001-2002.
Hal senada pun dilontarkan Fikri Aziz, Sekretaris Jenderal PP KAMMI 2008-2009. Dia akui bahwa medan pertempuran sekarang telah berubah. Maka, tidak bisa selalu menyamakan saat ini dengan masa silam.
Saya tak bermaksud mengecilkan peran demonstrasi atau unjuk rasa sebagai salah satu metode aksi. Sejarah, realita, analisis lain juga banyak yang mendukungnya. Rasanya amat gagabah jika kita secara langsung me-museum-kan bentuk aksi ini. Ada kalanya memang itu tetap perlu dilakukan dengan berbagai pertimbangan efektifitas. Namun, juga suatu hal yang lucu kalau kemudian aktifitas di dunia maya melalui beragam sosmed tidak dihitung sebagai aksi. Karena makna “aksi” itu ialah “gerakan” dan beraksi adalah “bergerak melakukan sesuatu”, maka ini amat luas (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kita boleh berkreasi di dalamnya.
Maka, amat disayangkan jika masih ada gerakan mahasiswa (KAMMI, HMI, PMII, LDK, BEM, dll.) yang masih enggan ber-sosmed. Gerakan mahasiswa internal maupun eksternal mutlak memerlukan optimaliasasi peran sosmed. Bahkan mungkin tak hanya untuk gerakan mahasiswa. Setiap ide yang terbersit dalam benak masing-masing individu agaknya akan lebih masif tersebar dengan perantara sosmed.
Namun demikian, aksi dunia nyata memang mutlak tetap dijalankan. Harus ada sinergisitas antara aksi dunia nyata dan dunia maya. Konsolidasi struktural juga tetap perlu dilakukan guna membuat aksi yang lebih berdaya dobrak. Hanya saja kita jangan selalu terbelenggu dengan hal-hal tersebut.
“Oke. Hirarki itu masih ada. Tapi, harus mulai diflattening. Equality of the activism among the activists itu harus ditumbuhkan. Main aja di sosial media. Antum bikin akun apa gitu dan mulai lakukan gerakan. Jangan lupa aktifitas below the land ini harus tetap diimbangi dengan aktifitas above the land”, simpul Badaruddin.
RM, 18 Maret 2013