SuaraJakarta.co, FILANTROPI – Berjuang hingga tetes darah terakhir! Begitulah orang seringkali mengucapkan kata-katanya untuk menggambarkan semangatnya. Memang, hidup di dunia ini adalah ladang untuk berjuang. Bagi mereka yang urung dalam berjuang, kerugianlah adanya.
Itu artinya, keseriusan dalam menjalani hidup, harus menjadi prinsip utama bagi seorang muslim. Islam mengisyaratkan bahwa hidup harus dijalani dengan sungguh-sungguh. Sekali manusia salah dalam menyikapi kehidupan, dampaknya untuk selamanya. Keseriusan mengisi kehidupan itu akan tercermin dalam perilaku. Seseorang yang menghendaki kebaikan dalam hidupnya, maka ia akan mengisi hidupnya dengan perencanaan. Akibatnya, seluruh aktifitas hidupnya akan padat terisi dengan hal-hal yang mulia. Selesai satu kemuliaan, akan diikuti oleh kemuliaan yang lainnya. Begitulah seterusnya. Akumulasi kemuliaan inilah yang akan mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki dunia dan akhirat.
Kurang lebih seperti itulah Rasulullah saw dan para sahabatnya mengarungi kehidupan. Mereka menjalani hidup dengan ‘melompat’ dari satu kemuliaan kepada kemuliaan berikutnya. Mereka memang lelah berjuang, kakinya berdebu, kulitnya berkeringat, hati dan fikirannya sibuk dengan berbagai urusan. Tapi dengan kelelahan itu, kemuliaan diperoleh. Allah menghiburnya dengan firman-Nya,
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan…”, (QS An-Nisaa’ 104).
Jadi, ada sedikit perbedaan antara lelahnya orang mukmin dengan orang non mukmin. Ada yang diperoleh oleh orang mukmin tapi tidak bagi orang non mukmin, yaitu pahala dari Allah. Oleh karena itu, Rasulullah saw dan para sahabat berlomba dalam ‘kelelahan’ dunia untuk memperoleh balasan di akherat kelak.
Perang Ahzab atau perang Khandaq adalah salah satu pertempuran yang sangat melelahkan, baik dari sisi fisik maupun mental. Memang pertempuran dalam arti saling bunuh membunuh dalam jarak dekat tidak banyak terjadi. Namun, 10.000 pasukan multinasional yang mengepung Madinah telah membuat kaum muslimin tidak sempat melakukan shalat Zhuhur, Ashar, dan Maghrib. Selesai perang yang sangat melelahkan secara fisik dan psikis ini, Rasulullah saw hendak beristirahat barang sejenak. Karenanya, beliau sarungkan dan gantungkan pedang dan senjata beliau.
Namun Allah swt tidak menginginkan beliau dan kaum muslimin beristirahat. Karenanya, Allah utus malaikat Jibril as untuk menemui Rasulullah saw. Sambil tetap berada di atas bighal, malaikat Jibril as berkata, “Sepertinya engkau sudah meletakkan senjatamu, wahai Rasulullah saw? Padahal para malaikat belum meletakkan senjata mereka …”. Rasulullah saw sadar bahwa Allah swt, melalui Jibril, telah memerintahkannya untuk melanjutkan jihad, kendatipun ia belum sempat beristirahat barang sejenak.(Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam). Riwayat ini menggambarkan kepada kita agar kita “tidak berhenti” dalam dan dari berjihad.
Pada suatu hari, ada beberapa orang Anshar sedang berkumpul-kumpul. Salah seorang diantara mereka, yaitu Abul Ayyub Al-Anshari, berkata, “Sekarang Islam telah jaya, telah eksis, dan telah kokoh. Sebaiknya kita kembali ke ladang-ladang kita, kebun-kebun kita, kita urus lagi harta kekayaan kita yang selama ini “terbengkalai” dan kita garap lagi lahan-lahan itu dengan serius, lahan yang selama ini telah kita “tinggalkan” dalam rangka berjihad fi sabilillah, dan hasilnya kita infaqkan fi sabilillah juga, sementara jihad di medan laga biar ditangani oleh saudara-saudara kita lainnya”.
Pada saat itu pula Allah swt menurunkan firman-Nya:
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Baqarah: 195).
Sedangkan riwayat yang satu ini menggambarkan kepada kita bahwa kehancuran, atau kebinasaan, atau istilah Al Qur’annya tahlukah akan terjadi manakala kita meninggalkan jihad.
Kalau dua riwayat ini kita hubungkan dengan sirah Rasulullah saw lainnya, kita akan temukan data-data berikut. Peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (ghozwah) ada 26 ghozwah. Sedang peperangan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (sariyyah) ada 38 sariyyah. Maka kita akan dapat menarik satu kesimpulan bahwa perjuangan Rasulullah saw dan para sahabatnya itu tiada henti dan tanpa putus.
Bagaimana tidak, waktu yang kurang lebih sepuluh tahun itu terisi oleh peperangan 64 kali peperangan. Sungguh, sebuah kerja yang menggambarkan betapa Rasulullah saw dan para sahabatnya senantiasa menumpahkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal dan tiada henti, sehingga “tidak ada” waktu lagi untuk bersitirahat dan “meng-andai-andaikan” hal-hal yang sifatnya duniawi.
Kalau hal itu kita ibaratkan sebagai air yang mempunyai potensi besar untuk menerjang apa saja, maka aliran air itu tiada pernah berhenti.
Kalau Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 195 itu kita hubungkan dengan pengibaratan air ini, kita bisa katakan bahwa justru kalau air itu berhenti, dan tidak lagi mengalir, maka air itu akan menjadi rusak, kotor, sarang nyamuk, dan sumber penyakit, serta berubah warnanya. Begitu juga dengan potensi semangat juang yang ada pada diri manusia. Bila potensi semangat juang itu berhenti bersemayam dalam jiwa, maka potensi itupun akan bernasib sama dengan air itu. Karenanya wajar bila Allah swt memperingatkan para sahabat akan datangnya tahlukah (kebinasaan) kepada mereka bila mereka meninggalkan semangat jihad, dan menyibukkan diri dengan urusan pertanian, kehutanan, perkebunan dan jenis-jenis perbisnisan lainnya.
Firman Allah swt diatas dipertegas juga oleh hadits Rasulullah saw yang menyatakan:
Jika kalian telah berjual beli secara ‘ienah (rekayasa dan akal-akalan dalam praktek riba), kalian telah mengambil ekor sapi dan puas (asyik) dengan pertanian serta meninggalkan jihad, niscaya Allah swt akan menjadikan kehinaan menguasai kalian yang tidak akan dicabut sehingga kalian kembali kepada agama kalian. (HR Abu Daud dan Ahmad, dan Syekh Nashirud-Din Al Al Bani menilainya hasan).
Berkenaan dengan hal ini simaklah apa yang dikatakan oleh Sayyid Qutub dalam salah satu bukunya:
“Yang demikian ini karena, hakikat iman tidak akan sempurna dalam hati, melainkan setelah:
- Bermujahadah dalam menghadapi orang banyak dalam urusan iman ini;
Mujahadah dengan hati; bentuknya membenci kebatilan mereka, jahiliyyah mereka dan bertekad memindahkan mereka dari kebatilan dan jahiliyyah itu kepada kebenaran dan Islam.
Mujahadah dengan lisan; bentuknya Tabligh.dan bayan (penerangan). Menolak kebatilan mereka yang merupakan kepalsuan itu. Menegaskan kebenaran yang dibawa Islam.
Dan mujahadah dengan tangan atau pisik; bentuknya menolak dan menyingkirkan mereka-mereka yang melakukan penghadangan terhadap jalan hidayah dengan mempergunakan kekuatan yang melampaui batas dan penghancuran yang curang. - Merasakan melalui mujahadah-nya itu ; Ujian (ibtila’ atau tribulasi) dan rasa sakit. Bersabar atas ibtila’ dan rasa sakit itu. Bersabar atas kekalahan. Dan bersabar atas kemenangan, karena, bersabar atas kemenangan lebih berat (sulit) dari pada bersabar atas kekalahan.
- Tetap Tsabat (tegar) dan tidak ragu-ragu, istiqamah dan tidak menolah-noleh dan terus maju meniti jalan iman dengan terus menanjak dan tidak tersesat”.
Selanjutnya Sayyid Qutub mengatakan, “Dan hakikat iman tidak sempurna dalam hati sehingga menghadapkannya untuk mujahadah menghadapi orang banyak dalam urusan iman ini, sebab, saat ia mujahadah menghadapi orang banyak itu, ia sendiri bermujahadah melawan dirinya sendiri. Dan akan terbuka baginya wawasan dan pemandangan keimanan yang belum pernah terbuka baginya selamanya bila ia hanya duduk (diam) dengan aman dan tenang. Akan jelas baginya hakekat-hakekat tentang manusia dan kehidupan yang belum pernah manjadi jelas baginya selamanya tanpa adanya wasilah (sarana) ini. Dan ia sendiri -dengan jiwanya, segala perasaannya, persepsi-persepsinya, kebiasaannya, tabiatnya, emosinya dan responnya- akan sampai pada sesuatu yang tidak mungkin sampai kepadanya tanpa pengalaman berat dan sulit ini”.
Lebih lanjut Sayyid Qutub mengatakan, “Inilah sebagian dari yang diisyaratkan firman swt:
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagaian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. (QS Al Baqarah: 251).
Dan kerusakan yang pertama kali terjadi adalah kerusakan jiwa manusia (nafsul insan), kerusakan yang terjadi karena rukud (diam, tidak bergerak, atau istilahnya berharakah, tidak mengalir), rukud yang menyebabkan:
- Ruhnya membusuk akibat adanya stagnasi.
- Himmah (semangat)-nya istirkha’ (mengendor, lembek, loyo, tidak kenceng).
- Nafs (jiwa)-nya rusak dikarenakan adanya rakha’ (bergelimangnya harta dunia) dan tharawah (tidak teruji dan terlatihnya jiwa itu dengan hal-hal yang berat).
- Yang pada akhirnya seluruh kehidupanpun menjadi rusak gara-gara rukud tadi. Atau karena hanya bergerak pada bidang syahwat saja, sebagaimana yang terjadi pada bangsa-bangsa yang mendapatkan cobaan dalam bentuk kemewahan hidup”.
Penulis: Husni Mutaqin