Titik Kritis Ekonomi Indonesia

SuaraJakarta.co, – DENGAN kondisi rupiah yang sedang hancur lebur seperti sekarang, ditambah beragam harga kebutuhan masyarakat yang terkena inflasi, rakyat telah terpukul dua kali. Beli barang impor harganya meninggi. Beli barang dalam negeri juga tak mampu lagi. Meski masih ada yang coba menghibur dengan bilang : ekspor kita akan berdaya saing karena harganya murah di luar negeri. Yang terjadi padahal sebaliknya. Pemerintah juga menggunakan istilah “ekonomi domestik baik” sama dengan mengatakan bahwa sebenarnya “ekspor kita tak menggembirakan”. (sumber : http://blog.ngaturduit.com/penguatanpelemahan-mata-uang/). Hati-hati dengan istilah ekonomi yang ‘ketinggian’.

Hampir 70% komponen barang modal Indonesia saat ini adalah barang impor. Bahkan barang modal yang jadi bahan utama UMKM. Beli tunai ataupun kredit, barang modal impor itu pasti sekarang makin tak terjangkau. Karena pengusaha kecil-menengah harus bayar lebih mahal, akibatnya menambah biaya. Jika menambah biaya maka harga jual tak lagi bisa murah. Dijual di luar negeri pun, barang kita akhirnya tak punya daya saing. Jauh lebih menggiurkan asing membeli produk elektronik Cina, produk rumah tangga produksi Vietnam dan produk fashion produksi Bangladesh serta Turki.

BACA JUGA  Antara Spekulasi Soros, Roubini dan Harga Emas

Dalam kondisi Rupiah tertekan, sebenarnya, mengharuskan pemerintah mengintervensi pasar uang. Ini jika pemerintah menginginkan kepercayaan dari timbulnya stabilitas ekonomi dalam negeri. Tapi sekali lagi, tampaknya itu tidak jadi pilihan. Karena bagi pemerintah yang makin liberal, mengamankan kepentingan asing di Indonesia (dengan cara membuka pintu lebih lebar untuk konglomerasi asing dan membiarkan rupiah lemah) justru lebih utama. Selain itu, intervensi pasar uang mengharuskan pemerintah melalui Bank Indonesia menguras isi brankas cadangan devisanya untuk membeli surat berharga. Jika itu yang terjadi, maka pemerintah masih harus bertemu kengerian baru : cadangan devisa berkurang drastis digunakan beli-beli-beli, padahal slogannya adalah kerja-kerja-kerja. Jika cadang devisa kecil, rupiah jauh lebih mudah digoyang.

Kebutuhan Pertamina akan dollar merupakan yang tertinggi di dalam negeri. Sekitar USD 60-80 juta per hari. Harga minyak padahal sedang jatuh. Dan minyak Indonesia katanya didapat sebagian besarnya dari impor. Sekali lagi, Indonesia harus membayar mahal untuk beli minyak yang harganya sedang jatuh. Di posisi ini, pemerintah juga tak berdaya karena mekanisme harga BBM diserahkan ke pasar. Kapanpun harga BBM bisa naik drastis. Atau turun pun (meski jarang sekali), harga sembako tak kan ikutan turun, ini sudah berulang kali terjadi. So, rakyat harus ‘enjoy’ dan tak ada pilihan?

BACA JUGA  Jurus Jitu Online Marketing yang Banyak Orang Lupakan

Perhatikan unsur pembentuk ekonomi makro Indonesia itu. Dari 16 Maret 2014 hingga 16 Maret 2015, Rupiah telah mengalami pelemahan sebesar 17%. Intervensi pemerintah adalah dilema, dilakukan atau tidak sama berbahaya. Kontrol negara akan harga-harga yang berdampak pada rakyat terus dipangkas. Sementara kita harus membuka diri menyambut masyarakat ekonomi bebas dunia. Mari mengobral Indonesia. Asetnya sedang murah. Perusahaan energi raksasa Indonesia sedang diskon 20% jika dibeli dengan USD. 19 negara masuk Indonesia tanpa perlu visa, yang terbesar jumlahnya adalah dari Tiongkok. Sementara UMKM yang baru tumbuh dikenakan pajak ini-itu dan dipersulit regulasi, dimatikan sebelum sempat berkontribusi.

Jauh lebih penting daripada sekedar memikirkan elit yang terus bersengketa, sekarang tugas negara adalah bagaimana “Save Rakyat” dan “Save Indonesia”

Penulis: @endykurniawan (Twitter, FB, Path, Instagram) – Trainer, coach dan penulis bidang Bisnis, Investasi dan Keuangan. Pendiri dan pemilik Salama Mitra Investa (@salma_dinar). website www.endykurniawan.com

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles