SuaraJakarta.co, JAKARTA – Sebelumnya telah dibahas tentang Inflasi dan Depresiasi. Yakni kenaikan umum harga barang dan anjloknya nilai tukar dalam negeri terhadap mata uang asing. Dua hal itu sangat mengancam Indonesia yang kurang diposisikan sebagai pemain ekonomi kuat dunia. Krisis moneter tahun 1998 salah satu contohnya. Saat itu depresiasi nilai tukar rupiah terjadi simultan dengan hyper-inflasi. Di tulisan ini kita bahas 2 ancaman lain yakni Sanering dan Depresiasi.
Sanering
Sanering adalah pemangkasan nilai uang dengan sengaja oleh pemerintah, dan ini peristiwa luar biasa yang sangat jarang terjadi, tapi pernah dialami oleh masyarakat Indonesia. Di Indonesia, keputusan sanering didasarkan pada Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959. Isinya, pemerintah melakukan sanering uang pada 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp500 dan Rp 1.000 menjadi Rp50 dan Rp100 (nilai uang hilang 90%). Langkah ini dilakukan untuk menangani laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an. Pada 13 Desember 1965 Presiden Soekarno menetapkan sanering tahap 2. Yang terjadi di masyarakat adalah kekacauan karena nilai harta mereka berkurang dikarenakan daya beli uang dipangkas tinggal 10% saja. Pemilik aset riil berupa tanah, sawah, kebun, ternak di pedesaan jadi korban karena harta mereka diborong oleh masyarakat kota yang notabene lebih dekat ke sumber informasi. Sehari sebelum berlaku, semua diborong. Esoknya, pemilik barang melihat uangnya yang diterima sehari sebelumnya bernilai 500 tiba-tiba menjadi 50. Selain itu, kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi. Defisit anggaran justru semakin meningkat. Pada 1961, pemerintah mengalami defisit anggaran hingga 29,7 persen, lalu 38,7 persen (1962), 50,8 persen (1963), 58,4 persen (1964), dan 63,4 persen (1965).
Redenominasi
Redenominasi bukanlah sanering. Redoniminasi bukan memangkas nilai uang atau daya belinya, melainkan penyederhanaan nominalnya. Rp 1000 menjadi Rp 1. Rp 10.000 menjadi Rp 10. Jumlah angka 0 dipangkas 3. Dalam redenominasi, ongkos paling besar justru di sosial kemasyarakatan (simpang siurnya harga terutama saat masa transisi), pasar uang gelap dan mark-up harga yang sangat mungkin terjadi. Yang paling perlu diantisipasi saat proses redenominasi adalah jangkauan informasi/sosialisasi ke seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas dan menyebar. Banyak lokasi tak terjangkau informasi, banyak wilayah di Indonesia belum terhubung satu sama lain. Ada dampak sosial redenominasi di sini.
Ada juga risiko ekonomi, misalnya pembulatan harga ke atas sehingga mendorong inflasi. Contohnya? Sebungkus permen semula Rp3000, redenominasi jadi Rp3. Ah susah harga Rp3, bulatkan Rp5 aja, inflasi 70%. Kopi se-sachet Rp1500, redenominasi jadi Rp1,5. Kata pedagang, naikkan aja ah jadi Rp2. Inflasi 30% terjadi. Yang seperti ini perlu kontrol sangat ketat.
Selain itu, risiko sosial redenominasi adalah daerah remote yang jauh dari informasi terlambat mengadaptasi harga barang. Nilai uang sudah turun 3 digit, penjual tetap pasang harga semula. Pembeli harus bayar barang dengan harga lama dengan uang baru, semata karena masyarakat tak mendapat informasi yang cepat. Adanya dua jenis uang yang beredar pada saat bersamaan (Rp lama dan Rp baru) juga bisa memicu pasar gelap mata uang. Money exchanger bisa merebak di mana-mana dan perlu “diamankan”.
Ketidaktahuan, dampak psikis dan keragu-raguan di tengah masyarakat adalah sasaran sosialisasi yang utama. Jangankan di pelosok desa, di kota besar ada developer perumahan yang pasang iklan “Beli rumah sekarang, mumpung belum redenominasi”, artinya mereka memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang beda sanering dan redenominasi.
Penulis: @endykurniawan – Trainer, coach dan penulis bidang Bisnis, Investasi dan Keuangan. Pendiri dan pemilik @salma_dinar distributor emas logam mulia nasional