Site icon SuaraJakarta.co

Tanggapan Atas Kenaikan PBB-P2 dan PKB DKI Jakarta

Dengan kerendahan hati saya mencoba mewakili suara masyarakat Jakarta untuk menyampaikan tanggapan atas Kebijakan Gubernur Provinsi DKI Jakarta menaikan tarif PBB-P2 tahun 2014 dan 2015, sebagai berikut:

1. Tarif PBB-P2 tahun 2014 di Provinsi DKI Jakarta naik secara signifikan dibanding dengan tarif PBB-P2 tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan tarif PBB-P2 tahun 2014 tersebut berkisar antara 200-800%, nilai yang fenomenal yang belum pernah terjadi sebelumnya. (Contoh Kasus PPB atas nama Orang Tua saya: ibu siti Syamsiah binti Sutan Mohamad Satar pada tahun 2013 PBB sebesar Rp. 452.820, tahun 2014 sebesar RP. 1.743.925 dan tahun 2015 sebesar Rp. 1.780.265. Naik 4 x lipat);

2. Pertanyaan sederhananya adalah atas dasar pertimbangan apa tiba-tiba Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikan tarif PBB-P2 Tahun 2014 yang demikian tinggi itu. Bermula dari itu, saya membuat surat berkali-kali kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk meminta penjelasan dan permintaan untuk membatalkan kenaikan PBB-P2 tersebut karena memberatkan. Akhirnya pada yang kesekian kalinya atas adanya dukungan Ombudsman Republik Indonesia melalui suratnya tanggal 10 juni 2015 tentang Permintaan klarifikasi mengenai kebijakan kenaikan NJOP yang berakibat kenaikan tarif PBB tahun 2014 dan 2015, saya mendapatkan tanggapan dari Gubernur melalui Kepala Dinas Pelayanan Pajak melalui surat-suratnya:
(1). Surat nomor 3643/-1.722 tanggal 25 juni 2015
(2). surat nomor 1139.0/-1.722 tanggal 19 Mei 2015
(3). Surat nomor 1915/-1.722 tanggal 11 Agustus 2015
(4). surat Nomor 1916/-1.723 tanggal 11 agustus 2015 yang kesemuanya berkisar jawaban atau Klarifikasi atas pertanyaan tentang kenaikan PBB-P2, termasuk kenaikan PKB tahun 2015;

3. Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Dinas Pelayanan Pajak liwat surat-surat tersebut, diantaranya adalah bahwa kenaikan tajam PBB tahun 2014 dan 2015 di dibandingkan dengan PBB 2013 di DKI Jakarta, disebabkan pendekatan baru dalam menentukan Nilai Jual Objek Pajak, (NJOP) yang diberlakukan pada tahun 2014, yakni menyesuaikan Nilai NJOP dengan harga pasar yang diperoleh melalui internet atau dengan kata lain Gubernur Provinsi DKI hendak melakukan komersialisasi PBB-P2 diseluruh wilayah Provinsi DKI Jakartta;

4. Komersialisasi PBB-P2 tersebut dijelaskan telah di atur dalam Keputusan Gubernur nomor 22 Tahun 2014 tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan bangunan Perdesaan dan Perkotaan Tahun 2015. Padahal kenaikan tajam PBB-P2 justru pada tahun 2014, disini patut diduga bahwa untuk kenaikan tarif PBB-P2 tahun 2014 tidak ada landasan pergub sebagai payung hukumnya. Atau misalkan Gubernur berkilah dengan payung hukum pergub nomor 208 Tahun 2012 tentang penilaian dan perhitungan dasar Pengenaan Pajak PBB-P2, maka pertanyaannya adalah mengapa tarif PBB-P2 tahun 2013 dengan Tarif PBB-P2 tahun 2014 sangat jauh berbeda, padahal diatur dengan instrumen pergub yang sama. Ini catatan pertama kita terhadap kebijakan menaikan tarif PBB-P2 tahun 2014;

5. Selanjutnya pertanyaan yang mendasar adalah benarkah kenaikan PBB-P2 yang fantastis ditetapkan hanya berdasarkan Pergub. Bukankah pergub/kepgub itu hanya instrumen tehnis berupa juklak dan juknis yang tidak mengikat masyarakat secara langsung yang dalam hirarki perundang-undangan pergub dan kepgub tidak termasuk didalamnya. Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari PBB saat ini adalah UU nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sementara Perdanya di wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah perda nomor 16 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Perda ini masih berlaku dan belum digantikan dengan perda baru, inilah fakta bahwa kenaikan fantastis PBB-P2 tahun 2014 tidak didukung oleh payung hukum Perda Baru.

6. Andaikata pun Gubernur berkilah bahwa pergub nomor 208 tahun 2012 dan nomor 22 tahun 2014 sebagai dasar penetapan Tarif PBB-P2 tahun 2014 dan 2015 adalah benar sebagai pelaksanaan Perda Nomor 16 Tahun 2011. Kita masih mempersoalkan atas dasar apa NJOP bisa tiba-tiba melonjak dengan tajam di tahun 2014, mengapa berbeda dengan tahun 2013 padahal pergubnya sama, padahal Perdanya sama. Model cara menghitung seperti apa yang mengakibatkan NJOP bisa naik berkali-kali lipat di tahun 2014 itu, bagaimanan tingkat akurasinya bisa dipercaya, siapa yang berwenang mengeksekusi NJOP pada setiap kawasan/lingkungan, siapa yang mengawasi jika terjadi kesalahan/ kekeliruan yang terjadi..? Gaya pemerintahan model seperti ini hanya mungkin terjadi di era penjajah, tapi realitanya justru terjadi saat ini.

7. Selanjutnya tentang tehnis dan tatacara untuk menetapkan NJOP sesuai nilai pasar dalam satu kawasan yang dilakukan dengan cara mencari data penawaran rumah di internet, saya sampaikan kasus di tempat tinggal saya sebagai berikut:

a. Jl. Bengawan yang diambil dari data peta Google itu adalah salah, karena data google untuk jalan bengawan sebenarnya adalah jalan Belawan (sesuai data presentasi saudara). Atas data yang keliru itu, Dinas Pajak Provinsi DKI Jakarta mengambil sampel (1). Ruko Roxi Mas; (2). Ruko Cideng Jl. Petojo Selatan XII (roxi lama) (3). Rumah di Jl. Bila masih sekitar Roxi ; (4). Rumah Jalan Rokan (masih sekitar roxi) (5). Rumah di jalan batanghari. Kesemua sampel itu tidak representatif untuk jalan bengawan. sebab Jalan Belawan adalah jalan umum yang baik lebar dan peruntukannya (dilalui transportasi umum P03 Roxi-Benhil/karet) berbeda dengan jalan bengawan sebagai jalan lingkungan. Bagaimana mungkin kesalahan yang berdampak terhadap beban masyarakat ini bisa terjadi..?

Disamping itu mengambil 2 ruko sebagai objek sampel untuk menetapkan NJOP rumah tinggal yang tentu nilai jual tanah dan bangunan berbeda standarnya. Siapa yang akan bertanggungjawab atas kekeliruan ini, padahal PBB-P2 tahun 2014 dan 2015 sudah dibayar oleh warga bengawan? (oke, Goverment can do no Wrong..?)

b. Sulit kita bayangkan bagaimana keputusan menetapkan NJOP sebuah kawasan yang berdampak terhadap besarnya tarif PBB-P2, diambil liwat cara duduk dihadapan komputer saja, tanpa dilakukan survey terlebih dahulu dan tanpa mendapatkan persetujuan DPRD. Survey kawasan bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit, idealnya hasil survey setelah di uji kelayakannya dan di paparkan ke DPRD untuk mendapatkan persetujuan, barulah NJOP kawasan-kawasan di Provinsi DKI Jakarta ditetapkan dengan perda. Amat penting NJOP rumah tinggal perdesaan dan perkotaan (P2) itu, karena menjadi dasar perhitungan bukan hanya untuk PBB-P2 tetapi juga untuk pajak-pajak terkait transaksi jual beli/peralihan hak atas tanah dan bangunan rumah tinggal tersebut;

c. Di lingkungan saya jalan bengawan kenaikan NJOP tahun 2014 dan 2015 dibandingkan dengan tahun 2013 rata-rata kenaikannya 400%, sementara dilingkungan sekitar jalan bengawan, namun masih dalam satu lingkungan RW saja kenaikan berkisar antara 200-800%. Jadi dimana letak ke akurasian penetapan NJOP lewat internet itu;

d. Kita menilai wajar jika para pejabat di Dinas Pelayanan Pajak, mau menunjukkan prestasi kepada Pimpinan/Gubernur baru. Tapi jangan korbankan rakyat, jika gubernur ingin cepat dapat uang banyak silahkan, tapi tidak salah ingatkan Gubernur bahwa pajak/retribusi apapun kenaikan setiap 1 rupiahpun harus mendapatkan persetujuan rakyat. Ini adalah inti persoalannya. Terkesan terburu-buru tanpa ada studi kelayakan yang mumpuni menaikkan secara fantastis NJOP beberapa kawasan di Provinsi DKI Jakarta. Padahal toh anggaran tahun 2014 dan termasuk sampai triwulan ke III tahun 2015 ini belum banyak yang bisa dimanfaatkan oleh Gubernur untuk rakyatnya.

e. Seyogianya setiap kenaikan pajak (dalam kasus PBB-P2 dan PKB) harus jelas untuk tujuan dan target apa saja kenaikan itu akan dialokasikan. Jika hanya sekedar kebutuhan naik penerimaan APBD tanpa ada kejelasan alokasinya, itu menjadi sangat bias untuk penilaian kinerja Gubernur sendiri. Jangan-jangan kenaikan itu hanya untuk ongkos marah-marah ke aparaturnya, agar mereka tetap loyal atau takut, karena iming-iming tunjangan-tunjangan kinerjanya yang menggiurkan. Mudah-mudahan ini menjadi perhatian DPRD Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menelusuri target dan capaian atas kenaikan PBB-P2 dan PKB ini. Jika tidak jelas alokasinya harus tegas bersikap agar dikembalikan selisih kenaikan pajak PBB-P2 dan PKB itu kepada objek pajak, sebagai pembelajaran agar tidak mengulang kesalahan yang sama di masa datang;

f. Belum lagi dampak sosial kenaikan PBB-P2, di lingkungan jalan bengawan saja sudah beberapa keluarga Pindah, karena para ahli waris masing-masing enggan mengeluarkan pembayaran PBB-P2nya yang tiba-tiba naik berkali-kali lipat itu. Kejadian-kejadian ini seperti yang pernah diungkap Gubernur sekarang “jika tidak sanggup bayar PBB ya pindah saja dari Jakarta”. Apakah saudara aparat/pejabat di Dinas Pajak juga setuju dengan pesan “kolonial” itu.

8. Penting juga dipahami oleh Gubernur bahwa sejarah/riwayat dari keberadaan PBB sebelumnya adalah IREDA (iuran rehabilitasi Daerah), kemudian dirubah menjadi IPEDA (iuran Pembangunan Daerah) dan sejak menjadi Pajak Bumi Bangunan, semangat dan jiwanya oleh Pemerintah Pusat tetap sebagai bentuk partisipasi masyarakat (iuran pembangunan). Disini terjadi pergeseran nilai PBB-P2 semula adalah bentuk partisipasi masyarakat oleh pemerintah DKI Jakarta akan dijadikan salah satu sumber (dikomersilkan) untuk APBD-nya. Ini adalah sebuah kebijakan yang vatal dan beraroma makar. Sementara Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia telah mewacanakan penghapusan PBB di seluruh wilayah NKRI, mungkin karena PBB-P2 identik dengan pembayaran upeti oleh rakyat kepada pemerintahnya yang sudah tidak cocok bagi negara yang sudah 70 tahun merdeka…!

9. Kita menjadi sangat pesimis Guberrnur Provinsi DKI Jakarta akan bisa memahami keberatan masyarakat akan naiknya PBB-P2 tahun 2014 dan 2015 yang fantastis antara 200-800% itu dan bahkan jika tidak ada tekanan dari DPRD atau lembaga lain yang berwenang mengawasi kebijakan Penguasa yang merugikan rakyat, maka kenaikan PBB-P2 akan terus berlanjut di Tahun 2016 dan seterusnya, sampai tidak ada lagi orang yang tidak sanggup bayar PBB bisa tinggal dan bertahan di Jakarta;

10. Memang begitulah trend yang terjadi saat ini, orang yang berpenghasilan rata-rata ke bawah, tidak berhak tinggal di sebuah kawasan yang menurut Gubernur dan orang pajak bernilai ekonomi tinggi atau lain-lain. Tapi ijinkan kita mengingatkan Saudara dan Gubernur Provinsi DKI Jakarta bahwa sejarah Jakarta itu direbut dengan perjuangan dan darah para pahlawan, beda dengan Singapura, Bangkok, Kuala Lumpur dan kota-kota lain yang diperoleh dari belas kasih penjajahnya. Paling tidak bersabarlah, karena para pejuang dan anak turunannya yang kebetulan tinggal di daerah elit (dulu sih kampung-kampung biasa saja) masih ada tersisa. Tunggulah sampai generasi ketiganya saja yang tinggal, mungkin orang sudah lupa dengan sejarah perjuangan merebut Jakarta (Indonesia) dari Belanda. Setelah itu silahkanlah naikan PBB-P2 setinggi-tingginya, karena saat itu Jakarta hanya dihuni oleh mereka yang mampu-mampu secara ekonomi saja. Silahkan nikmati hasil pajak-pajak yang tanpa keringat itu untuk Gaji dan Tunjangan bapak-bapak pejabat semuanya.

11. Sementara masih besar potensi Pajak di DKI di luar PBB-P2 dan PKB, kita miris membaca surat Kepala Dinas Pelkayanan Pajak bahwa PBB–P2 menjadi andalan utama penerimaan APBD Provinsi DKI dengan alasan tidak memperoleh DAU dan tidak memiliki sumber daya alam yang cukup. DKI Bahkan punya sumber-sumber pajak yang luar biasa besarnya jauh melebihi provinsi manapun (Hotel2nya, restoran2nya, tempat2 hiburannya dll sebagainya). Apa pak Gubernur dan kepala Dinas Pelayanan Pajak bersedia tukar Jabatan dengan provinsi di Kalimantan atau Papua yang banyak sumber daya alamnya.

12. Mencermati jawaban yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak yang berargumentasi bahwa kenaikan PBB-P2 dan PKB telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka pupus harapan kita mendapatkan dukungan dari mereka para birokrat yang PNS/ASN. Padahal semula kita bisa yakin bahwa mereka sebagai Abdi Negara dan ABDI Masyarakat akan mendahulukan kepentingan masyarakat (sesuai sumpah PNS/ASN dan jabatannya) dan membela dengan mencarikan jalan keluar terhadap keluhan masyarakat. Bukan mencari-cari alasan pembenaran, tapi menyatakan akan melakukan perbaikan di kemudian hari, sayang jawaban seperti ini hanya terbenam dalam hati sanubari, tak dapat keluar diungkapkan. Aparat/pejabat Pemda DKI Juga adalah warga masyarakat yang melihat dan mendengar langsung fakta ini dan fakta ini mungkin tak pernah didengar dan dilihat oleh Gubernur yang tinggal dikawasan nun disana dibalik tembok.

13. Namun secercah harapan masih ada, Ketua Ombudsman Republik Indonesia telah menunjukkan perhatiannya atas keberatan masyarakat terhadap kenaikan PBB-P2 tahun 2014 dan 2015 serta kenaikan PKB tahun 2015. Kita berharap Ombudsman sebagai lembaga yang memiliki kewenangan oleh undang-undang untuk mempertanyakan kebijakan pejabat negara yang merugikan masyarakat/menyalahi kewenangannya dan mengambil langkah-langkah sesuai dengan kewenangannya.

Demikian juga para wakil rakyat anggota DPRD Provinsi DKI yang terhormat, DPRD melalui kewenangan Budgetingnya dapat mencermati dan memberikan perhatian yang sama bobotnya dalam pembahasan sumber penerimaan dan pengeluaran dalam APBD. Jika catatan terhadap kinerja Gubernur Tahun 2014 yang salah satunya meminta Gubernur membatalkan penetapan PBB Tahun 2015 dengan menggunakan penetapan tahun 2013 tidak dijalankan oleh Gubernur, maka kita berharap tentu akan ada sanksi tegas terhadap Gubernur;

14. Sebuah fakta yang mudah-mudahan bisa menggugah dan mengaspirasi pemerintah-perintah Daerah seluruhnya, adalah kebijakan Walikota Cilegon yang berani menghapus PBB terhadap masyarakat yang tidak mampu yang peresmiannya dilakukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang pernah mewacanakan penghapusan PBB diseluruh wilayah NKRI. Fakta menarik itu adalah bukti dan saksi sejarah yang tidak bisa dipungkiri tentang arogansi dan kesewenang-wenangan Pemda yang telah mengkomersilkan PBB-P2. Kebijakan dan wacana sekalipun tetap tinggal sebagai wacana saja, adalah catatan sejarah, mau diakui dan diterima atau tidak yang pasti kebenaran suatu saat akan tampil menjadi pemenangnya;

15. Bahkan kembali miris hati kita, membaca saran agar objek pajak mengajukan keringanan membayar PBB-P2 kalau merasa keberatan. Yah memang pemerintah lebih senang melayani antrian masyarakat yang memohon keringanan pajak, ketimbang bekerja keras untuk meningkatkan hasil perolehan pajak dari sumber-sumber yang ditenggarai banyak mengalami kendala dalam mengoptimalkannya (Hotel2, restoran2, tempat-tempat hiburan dll sebagainya). Saya alami tahun 2015 untuk kedua kali mengajukan keinganan pajak, karena penetapan pajak berikutnya lebih besar dari penetapan pajak sebelumnya. Ini terjadi karena keringanan yang diberikan tidak dijadikan sumber penetapan untuk tahun berikutnya, dengan model ini maka akan terjadi kecenderungan naiknya jumlah pemohon keringanan pajak setiap tahun dan ini menjadi nilai kerja aparat Dinas Pelayanan Pajak yang seharusnya adalah kemunduran kalau semakin banyak objek pajak mengajukan keringanan pajak. Keringanan Pajak adalah sebuah pengecualian yang tidak layak dilembagakan sebab itu bukan hanya menjadi sangat tidak efisien, juga sangat tidak etis untuk sebuah negeri yang telah merdeka 70 Tahun.

16. Sementara terkait kenaikan PKB per Juni 2015, sosialisasinya tentang PKB progresif, tapi didalam kebijakan PKB progresif terselip kenaikan PKB non progresif. Pemilik satu kendaraan PKB tahun 2015 naik 25%, karena pajaknya naik semula 1,5 % dari NJOP dng perda baru menjadi 2%. Hemat saya disini terjadi ketidak transparansian dan ketidak seimbangan informasi, kita patut menduga ada manipulasi informasi, padahal kenaikan 0,5 % dari NJOP PKB non progrfesif itu, hitungan awam saja nilainya akan berkali lipat jauh lebih besar dari kenaikan PKB Progresif. Harusnya ada keterusterangan dalam sosialisasi jangan hanya ditonjolkan pajak progresifnya saja. Pemerintahkan bukan perusahaan swasta yang lazim memanipulasi iklan produknya. Pemerintah yang baik (Good Governance) wajib menjelaskan alasan menaikan Pajak dan menjelaskan untuk apa saja kenaikan tersebut sehingga masyarakat/ DPRD bisa mengawasi penggunaannya. Kalau hanya sekedar pernyataan umum untuk perbaikan prasarana jalan dll, pemerintah terdahulu juga melaksanakan itu, apa bedanya yang dulu dan sekarang (macet..? banjir..?, transportasi abal-abal..?). Setiap kenaikan pajak wajib ada ukuran kinerja yang akan ditargetkan. Tapi apapun toh sudah kadung disetujui oleh Perda, sehingga ini menjadi tanggungjawab dan kewajiban DPRD untuk mengawasi dengan seksama penggunaan atau alokasi kenaikan PKB agar digunakan setepat mungkin. Jika ada satu hal yang patut dipertanyakan adalah tentang NJOP kendaraan yang setiap tahun cenderung turun, sehingga PKB juga memiliki kecenderungan turun, maka atas dasar apa kenaikan PKB yang sebesar 25% dan kemana akan dialokasikan kenaikan PKB 2015 tersebut.

17. Akhirnya semoga melalui tulisan ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta tidak lagi akan berlaku sewenang-wenang terkait hak rakyat. Setiap kebijakan yang berdampak mengikat masyarakat harus mendapatkan persetujuan rakyat terlebih dahulu melalui DPRD dan jangan berkilah hubungan buruk Gubernur dengan DPRD melegitimasi kekonyolan-kekonyolan dalam administrasi pemerintahan/negara. “Seorang Gubernur wajib bekerjasama dengan DPRD, konstitusasi yang mengaturnya, jika Gubernur mau berantem sama salah seorang atau beberapa anggota DPRD silahkan, tapi jangan bawa-bawa institusinya. Sebab DPRD itu adalah wadah kekuasaan masyarakat, sebagai contoh fakta bahwa DPRD telah menyarankan kembalikan tarif PBB P2 tahun 2015 ke Tarif PBB P2 tahun 2013 (catatan kinerja Gubernur Tahun 2014 nomor urut 4 kalau tidak salah) karena banyak mendapatkan keluhan masyarakat, maka seharusnya saudara memberikan solusi kepada Gubernur untuk memenuhi catatan DPRD tersebut, karena itu representasi suara rakyat. Jika tidak, maka saudara dan gubernur baik langsung atau tidak langsung telah melanggar konstitusi“

18. Sebuah ilustrasi yang relevan dikemukakan adalah bagaimana contoh negara yang menerapkan domokrasi, kita saksikan kenaikan pajak/cukai adalah sesuatu persoalan yang besar dan menjadi perhatian semua komponen bangsa itu, sehingga mengharuskan Presiden/Gubernur menyampaikan langsung kepada rakyat/masyarakatnya, meminta maaf karena terpaksa harus menaikan pajak/cukai, menjelaskan secara terinci alasannya dan menguraikan target-target yang akan dicapai kepada parlemen untuk mendapatkan persetujuan. Saya yakin bapak-bapak lebih banyak tahu tentang persoalan ini.

Demikian tanggapan saya, semoga mendapatkan perhatian dan tindaklanjut yang memberi kan arti bagi perjuangan rakyat menghadapi kesewenang-wenangan pemerintahnya;

Hormat saya
Mewakili suara masyarakat Jakarta
SUDHAR INDOPA

Exit mobile version