Simpati 10 Real

“Tadi waktu Subuh saya liat cleaning servicenya orang Indonesia. Saya panggil ‘Teteh’, eh..dia langsung noleh. Sunda ternyata. Mana ya, coba saya ketemu dia lagi..”, sedikit bergumam wanita paruh baya itu terus berjalan mencari saf terdepan. Tangannya terus menggandeng saya.

“Eh, itu dia. Teteh!”, panggilnya. Yang dipanggil langsung menoleh ke arah datangnya suara. Wanita bertubuh agak gemuk dengan tangan tengah cekatan mengepel lantai masjid langsung berhenti, tersenyum.

Yang memanggilpun segera mendekati, menyalami tangan si Teteh, mengelus pipinya dengan penuh kasih sayang. Seperti ibu bertemu kembali anak yang telah bertahun hilang.

“Sabar ya, saya doakan Teteh rejekinya berkah, hidupnya berkah, cepat ketemu jodoh..”, ucapnya lembut sambil menggenggam erat tangan si Teteh. Saya terpaku menatap pemandangan indah itu, mata si Teteh tampak berkaca-kaca.

“Makasih ya Ibu”, jawabnya takzim, sambil membalas hangat genggaman wanita tua itu.

Si Ibu mengeluarkan lembar 10 Real dari dompetnya, lalu secepat kilat meletakkan lembar itu di genggaman TKW bergamis dan hijab serba hitam itu. Dan demi mencegah lembaran ungu keabu-abuan itu dikembalikan oleh si penerima, si pemberi segera berlalu cepat ke saf terdepan.

Saya terus mengikutinya, berusaha menggandeng tangannya. Tak disangka Emak paruh baya bertubuh kurus kecil ini bisa berjalan segesit itu.

“Kita cari yang ada karpetnya ya. Ibu ga kuat dingin,” gumamnya.

Begitu kami menemukan tempat, ia seperti faham jika sedari tadi saya penasaran dengan alasan tindakannya.

“Tadi waktu subuh, sempet ngobrol sama Teteh itu. Sempet ngeluh kadang capek katanya. Dia biayain adik-adiknya, jadi dia belum berani menikah. Hmm..Di masjid ini kita mesti banyak sedekah”, jelasnya.

Belum sempat saya menggali lebih banyak hikmah di balik wanita pensiunan asisten apoteker ini, adzan berkumandang. Kami segera sholat sunnat wudhu’, menghabiskan waktu dengan tilawah dan dzikir, lalu begitu iqomat merdu dilantunkan: kami pun sholat dhuhur. Lepas dhuhur, kami pub bercakap soal banyak hal, termasuk soal profesinya dulu sebagai asisten apoteker, soal dunia farmasi, soal keluarganya.

Tapi begitu saja dia sudah mempesona. Siapa yang bisa menduga wanita tua yang berjalan saja sudah sulit dan tertatih, serta bertubuh ringkih itu ternyata masih sempat bersimpati pada orang lain. Dia masih sempat bersimpati pada orang lain yang sama sekali baru dikenalnya, dan bisa jadi orang yang mendapatkan simpati besok sudah lupa padanya. Simpati yang tulus, meskipun ‘hanya’ berupa sentuhan tangan hangat, belaian tulus, doa tulus serta selembar sepuluh real, tapi telah membuat si Teteh nyaris meneteskan air mata.

Simpati tak terduga, sederhana, namun terlalu tulus untuk tidak dibagi ceritanya dengan yang lain. Simpati yang menghangatkan dinginnya udara kota Madinah siang itu. Simpati yang didasari semangat bersedekah di tempat yang penuh berkah ini mengajarkan kita bahwa keinginan individu untuk meraih kesholehan pribadi, tak boleh menutup potensi kesholehan sosial. Kita boleh, bahkan harus fokus meraih limpahan pahala, namun tak boleh melupakan bahwa kebaikan itu tak melulu bisa didapat dari ibadah ritual. Kebaikan bisa juga didapat dengan ibadah sosial. Dan di sanalah berbagi senyum, sapaan hangat serta sedekah akan memberi nilai lebih dari ibadah ritual. Terimakasih telah berbagi hikmah ya Bu Asisten Apoteker.

Penulis: Sari Kusuma

Related Articles

Latest Articles