oleh:
Imam Shamsi Ali*
“Tidakkah saya harusnya menjadi hamba yang mampu bersyukur?” (Muhammad SAW).
Orang berpuasa karena ragam motivasi. Ada yang melakukannya karena sadar bahwa itu kewajiban. Ada pula yang memang karena sekedar terbawa “lingkungan” sekitar alias ikut-ikutan. Ada juga yang menyadari bahwa puasa itu adalah salah satu kebutuhan manusia dalam hidupnya.
Dari sekian banyak motivasi, tiada lagi yang lebih tinggi dan mulia dari sebuah kesadaran melakukannya karena “rasa syukur”. Yaitu menyadari secara penuh bahwa puasa itu adalah karunia yang luar biasa dari Allah SWT. Tidak sekedar kewajiban, tidak juga karena keperluan, apalagi karena didorong oleh keadaan.
Melakukan puasa karena merasa di wajibkan boleh jadi melahirkan perasaan terpaksa. Mau atau tidak mau harus dilakukan karena memang kewajiban. Tapi dalam hati boleh jadi timbul “was-was” dan rasa dipaksa melakukannya. Jika ini terjadi maka nilai puasa, baik secara pahala maupun sebagai kekuatan transformasi karakter, menjadi minim.
Akibatnya puasa menjadi amalan wajib tahunan yang hampa. Setelah Ramadan semua kembali menjadi seperti biasa. Pahala kebaikan kembali modal karena sekedar melaksanakan kewajiban. Pesan moral puasa juga tidak efektif karena tidak menyentuh kesadaran terdalam.
Melakukan puasa karena kebutuhan juga berakhir dengan hasil yang kurang maksimal. Sebab melakukannya seolah memenuhi keinginan pribadi. Jika hal ini diungkapkan dalam bahasa negatif maka puasa seperti ini seolah sekedar memenuhi hawa nafsu.
Dan karenanya pilihan tertinggi adalah berpuasa karena memang menyadari jika puasa itu merupakan karunia besar dari Allah SWT. Sebuah keniikmatan yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya selama sebulan itu.
Menyadari kenikmatan puasa menjadikan berpuasa tidak saja mudah dan ringan. Tapi dari itu akan dilakukan dengan penuh gwmbira dan nikmat. Detik demi detik akan berlalu dengan kelezatan menjalankannya.
Ternyata memang syukur itu adalah fondasi utama dalam melakukan uhudiyah kepada Allah SWT. Bahwa ibadah bukan sekedar kewajiban agama yang dutujukan untuk mengumpulkan pahala. Tapi memang sebuah ekspresi iman untuk mengakui semua karunia nikmat Allah dalam hidup.
Dan ini pula rahasianya jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh isterinya yang terkagum dengan sholat malam dan seluruh ibadahnya, lalu bertanya: “kenapa engkau melakukan semua ini ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Tidakkah saya seharusnya menjadi hamba yang mampu bersyukur (kepada Allah)?”.
Semoga kita semua mampu mencapai tingkatan kesyukuran dalam menjalankan Ibadan puasa ini. Ringan, senang, tenang, dan merasakan lazzah ubudiyah (kelezatan ibadah) kepada Allah SWT. Amin!
Dubai, 17 Mei 2018
* Presiden Nusantara Foundation