Site icon SuaraJakarta.co

Perlukah Memaksakan Diri Untuk Ikhlas

“Yang penting niatnya ikhlas untuk ibadah. Kalau sudah niat ibadah, jangan lupa selalu prasangka baik sama Allah. Nah, sisanya ntar yang lainnya pasti gampang, ngikutin aja”, nasehat Pak Haji pada
teman-temannya sepulang haji.

Di antara tamu itu, Imran duduk menyimak. Mengangguk-angguk faham. Ia juga merasa tersindir. Tersindir karena ia sendiri tengah bersiap untuk berangkat umroh, namun dirinya tak yakin bahwa rencananya ini murni ikhlas karena Allah.

Ikhlas untuk ibadah? Sepertinya niatnya jauh dari ikhlas. Dari awal ia berniat umroh terasa begitu terpaksa, dipaksa atau memaksa. Salah satu lah dari itu. Bagaimana ini?

Imran baru saja kehilangan pekerjaan. Ia baru saja diPHK.”Maaf, terpaksa kami harus melakukan ini. Biaya produksi makin tinggi, sementara permintaan menurun, kami harus melakukan perampingan
struktur,” begitulah kalimat maut pihak HRD waktu itu, membuatnya seolah kehilangan separuh nafas.

Lalu dengan uang pesangon ia mendaftar umroh, atas ajakan, bukan.. Tapi paksaan dari Ustadznya.

Ceritanya begini, setelah diPHK, didorong rasa gelisah, ia bercerita pada Ustadz di tempatnya biasa mengikuti pengajian pekanan. Ustadz pun menasehati,”Kamu umroh saja Imran, mumpung ada duit, uang pesangonnya lumayan kan? Kamu kan belum pernah umroh? Daripada mukanya melongo melulu denger cerita temen-temen pulang umroh? Trus dulu kan kalau diajakin umroh bareng kamu selalu alasannya susah dapet cuti sampe 9 hari, paling lama cuma dapat cuti 7 hari. Makanya: mumpung ada uang lebih, pesangonmu itu lumayan lho, trus mumpung nganggur, yuk berangkat umroh,” saran guru mengajinya. Dalam kelompok pengajian, setiap tahun ada saja yang baru pulang umroh. Ada di A yang baru dapat bonus dari kantornya, langsung capcus pergi umroh. Ada si B yang baru berhasil menjual mobil mahal di dealer tempat kerjanya, langsung pergi umroh.

Dan selama itu, Imran melihat itu semua mulai merasa iri: kapan ya giliranku? Ustadznya menyimak saja komentar serta gestur iri Imran setiap kali ada yang berkisah tentang perjalanan umrohnya.

“Hayuk atuh, nabung, kita umroh bareng-bareng. Gaji kamu gede, belum nikah, orang tua masih sehat punya penghasilan sendiri. Apa beban kamu?”, begitu dulu temannyaa sering mengajak. Tapi tak pernah
digubris Imran, alasan terumanya adalah karena sulit mencari cuti.

“Masa’ saya beribadah karena rasa iri? Gak ikhlas dong? Nggak ah, belum ada panggilan. Nggak seperti Pak Ustadz: ngelihat gambar Ka’bah aja udah asa rasa rindu, tergetar hati ingin ketemu. Nggak lah Ustadz, nanti kalau ada panggilan saya baru daftar haji langsung”, jawab Imran waktu itu menjawab ajakan temannya.

“Ibadah itu harus ikhlas karena Allah kan? Tulus, lempeng. Masak karena iri? Masak karena terpaksa? Lagipula, pesangon ini kan untuk biaya hidupku sampai punya kerja lagi, nanti tambah ga ikhlas saya,”
demikian pula Imran berkelit menjawab ajakan sang Ustadz. Ia khawatir tidak mendapat faedah jika ibadahnya dilakukan dengan tidak ikhlas. Karena tidak ikhlas, dia khawatir dirinya akan berat hati
menjalaninya, bermalas-malasan, tidak semangat, atau menggerutu. Dia tidak mau. Ia berprinsip: all or non! Lakukan dengan all out, ikhlas sepenuh hati, atau tidak sama sekali jika masih ada secuil rasa terpaksa.

Ustadznya tersenyum, geleng-geleng kepala, lalu bercerita.”Imran, selama hidup kamu bersama orang tuamu, pernah kah mereka berkeluh kesah atau terlihat lelah atau terlihat berat menjalani perannya
sebagai orang tua?”

Imran berpikir keras, Ibunya memang pekerja yang sering bepergian ke luar kota untuk urusan kantor. Ia teringat, sesekali saat Imran masih sekolah, ibunya itu terlihat sedih dan meneteskan air mata jika akan pergi ke luar kota. Pernah pula ibunya bercerita tentang lelahnya ia mengurus rumah sendiri saat Bibi’ cuti lebaran. Jarang sekali memang, tapi pernah. Pernah pula sekali ia menguping percakapan ayah pada ibunya soal rumitnya urusan kantor.

“Pernah juga sih Ustadz,” jawabnya pelan.

“Jangan kau kira tanggung jawab kedua orang tuamu menafkahi, mendidik dan membesarkanmu itu mudah. Berat, Imran. Mereka kadang berkeluh kesah, kadang merasa lelah, kadang terlihat memaksakan diri melakukan itu semua. Lalu apakah kamu pikir mereka tidak ikhlas? Apakah menurut kamu mereka ga tulus?”, papar Ustadz berusia 40an itu.

“Coba kamu pikir, kalau orang tuamu itu berprinsip seperti kamu: Ikhlas itu artinya lempeng, ga ada rasa berat sedikitpun, ga ada rasa terpaksa, kalau ga ikhlas mending ga usah dikerjain. Wahh, gawat! Kamu dan kakak adikmu bisa jadi anak terlantar. Orang tua kamu itu bisa jadi selama mengasuh kalian pernah merindukan masa-masa muda: bepergian kemana saja tanpa resah meninggalkan anak, menghabiskan uang untuk membeli barang kesenangan atau hobi tanpa khawatir kehabisan uang di akhir bulan, atau bahkan tidur tenang tanpa gangguan tangsian masa bayi kalian… Tapi apakah rasa rindu sesaat itu membuat mereka berhenti menjadi orang tua? Apakah rasa itu membuat mereka tidak ikhlas? Tidak!”, sambungnya.

“Kalau menunggu benar-benar ‘lempeng’ dan 100% tulus, sampe kapan juga ga jadi beramal, Imran. Itu yang bedain manusia sama malaikat, emang kamu mau nunggu jadi malaikat baru mau umroh? Mimpi kali’…”, tegas sang Ustadz.

Imran makin tertunduk, memahami kekhilafannya. Rupanya, ia telah salah berprinsip.

“Jadi, kapan kamu mau umroh? Ayo segera daftar. Mumpung masih muda. Di sana banyak tempat mustajab untuk berdoa. Berdoa sana kamu minta dimudahkan jodoh juga!”, perintah Ustadz itu lagi.

Eh? Kok nambah ya tugasku? Pikir Imran. Dalam hati, bulatlah tekadnya untuk berangkat umroh. Nanti aku akan berdoa minta pekerjaan, minta rejeki lancar…dan..hehe, jodoh!

Penulis: Sari Kusuma

Exit mobile version