SuaraJakarta.co, INSPIRASI – “Malam Dok, maaf mengganggu. Konsul: pasien sepsis, kakinya biru…”, dan seterusnya, dan seterusnya. Dering telepon hampir tengah malam itu tak pernah dia abaikan. Dan ini adalah telepon dari seorang residen dari ruang rawat intensif di rumah sakit pusat rujukan negeri ini. Dr.Azzam -mari kita panggil dia begitu- adalah konsultan bedah di sana, maka selain memeriksa langsung pasien, dia juga menjadi tempat konsultasi on call sewaktu-waktu meskipun di luar jam kantornya. Resiko pekerjaan, desahnya. Istrinya yang berprofesi dan bekerja di institusi yang sama faham betul tentang hal itu.
Meskipun bergelar konsulen, namun penampilan tetap sederhana. Sesederhana dirinya belasan tahun lalu saat baru lulus dari SMU, yang sebenarnya bercita-cita menjadi ABRI, tapi kandas karena posturnya tak cukup tinggi untuk menjadi seorang tentara. Iya, belasan tahun lalu tidak ada yang menyangka bahwa dirinya yang anak petani sawah dari desa sederhana di Jawa Tengah itu diterima di Fakultas Kedokteran negeri Ibukota.
Bapaknya waktu itu bahkan sujud syukur saking bangganya. Ia lantas berpesan, “Nak, kamu adalah anak Bapak yang pertama kali ke ibukota untuk sekolah. Jauh. Ini kota besar ya Nak, banyak godaannya. Pesan Bapak: Jangan pernah tinggalkan sholat, banyak-banyaklah berdoa. Belajarlah benar-benar, sungguh-sungguh, biar cepat lulus, jadi cepat bisa mengamalkan ilmu”. Saat itu mata lelaki tua beranak sepuluh itu nyaris berkaca-kaca, namun penuh siratan bangga. Bapaknya itu memang bangga, sekaligus risau soal biaya pendidikannya.
Namun siapa sangka, dr.Azzam yang di awal risau soal biaya pendidikan ternyata enam tahun kemudian lulus sebagai dokter dengan nilai cemerlang. Dia bahkan melanjutkan pendidikan spesialis, konsulen, lalu mengambil gelar tambahan di Jepang. Berdua pula dengan istrinya!
Mau tahu yang lebih luar biasa lagi? Sepulang dari Jepang, dr.Azzam dan istrinya tak hanya pulang membawa gelar doktoral, namun juga gelar haji. Wow!
Ceritanya begini, sebelum berangkat ke Jepang, istrinya banyak menyimak cerita senior mereka di sana. Termasuk kisah mereka yang berkesempatan naik haji selama sekolah di sana. Jepang memang negara
berpenduduk mayoritas beragama non muslim, namun bukan berarti tidak mendapat kuota haji dari pemerintah Arab Saudi. Kuota inilah yang dimanfaatkan para mahasiswa Indonesia di sana. Sebab kuotanya memang berlebih, sampai-sampai tak ada antrian sama sekali untuk haji. Tahun ini mendaftar, musim haji berikutnya bisa langsung berangkat. Dengan biaya sedikit di atas haji reguler di Indonesia, namun masih di bawah haji khusus, jamaah bisa berhaji segera dengan durasi tinggal di Arab hanya selama 20 hari!
“Mulanya istri saya bimbang, sebab kami berdua di Jepang pergi bersama dua anak kami. Siapa yang akan menjaga anak-anak selama kami di sana? Namun saya yakinkan istri saya: Bismillah Bund, nanti kita cari jalan soal itu..”, begitu dr.Azzam berkisah.
Allah memang sesuai prasangkaan hambaNya. Optimisme dan prasangka baik dr.Azzam ternyata bak gayung bersambut. Kedua orang tua dan seorang adiknya langsung menawarkan diri untuk menjaga anak-anak, mereka terbang ke Jepang! “Kalau gak begini, kapan lagi kami bisa nyampe ke Jepang?”, celetuk orang tuanya itu menyemangati. Subhanallah.
Rejeki memang tak kemana, menjelang musim haji, semua tugas papernya sudah selesai. Istrinya pun telah rampung program doktoralnya. Begitulah, mereka akhirnya benar-benar menjadi jamaah haji asal Jepang yang berkebangsaan Indonesia. Yup, si anak petani yang berhasil meraih gelar doktornya itu pun naik haji!
Jadi, apa lagi yang dicari dokter bedah anak pak tani ini?
“Doa saya waktu itu adalah agar selamat dunia akherat, agar diberi kesempatan bisa berkali-kali ke Ka’bah. Dan…. supaya diizinkan dianugerahi tambahan 2 anak perempuan,” paparnya mengakhiri kisahnya. Yang disambut senyum cemas sang istri,”Kami kan sudah punya 2 anak waktu itu? Dan sekarang sudah 3!”..Hihi, selamat berjuang ya Bu Dokter! Eh, Bu Doktor!
*seperti diceritakan dr.Azzam dan istri kepada penulis
Penulis: Sari Kusuma