Site icon SuaraJakarta.co

Kutinggalkan Bayiku Demi Memenuhi Panggilan Allah

Ilustrasi. (Foto: IST)

“Rahima sayang, beberapa bulan lagi Bunda dan Ayah mau naik haji. Ke negeri Arab, ke Madinah, lalu ke Mekkah. Beribadah di masjidil Haram, tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, wukuf di Arofah. Kita akan berpisah 40 hari, Sayang…”, kalimatnya terhenti sebentar, sambil mengecup pipi bayi mungil itu, sang Bunda merasakan ada yang basah di matanya.

“Rahima nanti sama Eyang ya. Yang sabar ya, kita ketemu lagi kok ntar”. Bayi berumur tiga bulan itu hanya tersenyum, kaki dan tangannya bergerak-gerak riang. Padahal Bundanya sudah hampir menangis. Baru sosialisasi ke bayi saja aku udah sendu begini, apalagi kalau benar-benar berangkat ya?, pikir Aisya. Pfhh, ia menarik nafas dalam-dalam. Pikirannya kembali ke berbagai tanggapan orang tuanya, hingga membuatnya membulatkan hati untuk terus maju meneruskan niatnya untuk naik haji sesegera mungkin.

Panggilan haji ini memang lebih cepat dari rencana awal. Tahun 2010, Aisya dan suaminya mendaftar haji. Petugas Kemenag waktu itu memberikan jadwal prediksi mereka berangkat tahun 2015. Waktu itu anak Aisya baru dua: si sulung umur 3 tahun, si kecil umur 1 tahun. Maka dia pikir: saat ia dan suami berangkat haji nanti, mereka sudah umur 7 dan 5 tahun. Neneknya masih sehat, jadi masih bisa dititipi dua cucu selama aku naik haji, begitu perkiraan Aisya dan suaminya. Bismillah, mereka pun mendaftar ONH reguler tahun itu.

Tahun 2013, melihat si kecil sudah mulai besar, dan rasanya dua anak masih tak cukup membuat rumah mereka ramai, Aisya memutuskan hamil lagi. Mumpung umur belum 35 tahun, pikirnya. Sebagai seorang tenaga medis, dia faham betul bahwa kehamilan di atas usia 35 tahun memiliki resiko sendiri. Dalam perkiraannya, saat ia naik haji tahun 2015 nanti, bayi yang ia lahirkan kelak minimal akan berusia 2 tahun, sudah cukup masa ASInya. Sudah mampu lah hatinya meninggalkan bayi untuk pergi berhaji.

Manusia memang berhak membuat rencana, berusaha keras lalu berdoa. Namun detail kejadian adalah hak prerogatif Allah. Aisya melahirkan pada bulan Februari 2014. Lalu tiga bulan kemudian, surat panggilan haji dari Kemenag datang. Yup, panggilan itu lebih cepat satu tahun dari perkiraan awal!

Mulanya mereka berdua: Aisya dan suaminya panik. Rahima baru berumur tiga bulan! Sepenuhnya ia masih tergantung pada ASI dari Bundanya. Masa harus diganti susu formula? Masa aku tega meninggalkan bayi ini selama itu? Tanyanya pada diri sendiri.

“Begini saja, Arya berangkat duluan saja, Aisya tunda dulu barang setahun dua tahun. Rejeki ga bakal kemana, Aisya, kasihan juga si Rahima kalau harus ditinggal”, begitulah tanggapan mertuanya saat ia sampaikan berita itu. Arya -suaminya- tadinya setuju.

Namun Aisya tidak bisa membayangkan jika kemudian ia harus naik haji sendirian. Sudahlah harus jauh dari anak, masa harus jauh dari suami pula? Ia juga tak berani melanglang negeri antah berantah yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya itu sendiri. Tidak, aku tak sanggup, pikirnya, tolaknya. Lebih baik kami berdua menundanya saja.

“Jangan Nak. Jangan! Ibadah haji itu memenuhi panggilan Allah. Ibu percaya, panggilan haji kalian ini adalah panggilan Allah. Memang di luar rencana kalian. Tapi panggilan Allah harus diutamakan dari apapun. Termasuk anak. Anak ini kan titipan dari Allah, masak titipanNya kalian jadikan alasan untuk menunda memenuhi panggilan Allah?”, begitulah respon Ibunya saat Aisya sampaikan pertimbangan untuk menunda haji saja. Sungguh jawaban itu di luar dugaan.

Sekali layar terkembang, pantang untuk diturunkan kembali. Nasehat ibunya itu membuatnya terpacu, benar: Ini panggilan Allah, tak pantas dirinya menolak. Bukankah selama ini Allah telah memberikan nikmatnya tak putus-putus? Lalu mengapa untuk sekedar meninggalkan bayi sementara demi menjawab panggilan haji ia tak sanggup? Bukankah telah banyak doanya Allah kabulkan, atau usahanya dan suaminya Allah mudahkan, lalu mengapa untuk sekedar berpisah dengan buah hati saja ia tak sanggup? Lantas di mana letak syukur itu?

Maka sejak saat itu, Aisya dan Arya optimis: mereka bisa melaluinya, mereka akan jawab panggilan haji itu. Tinggal bagaimana membuat strategi dan rencana. Dan tentu saja: menghimpun bala bantuan! Yup, manusia memang tak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain.

Mereka pun membuat rapat keluarga. Semua berbagi tugas. Selama haji, Rahima akan dijaga Ibu Aisya, siang dalam perawatan baby sitternya, dengan supervisi sang Nenek, malam akan diboyong tidur di rumah Nenek yang jaraknya hanya berjarak beberapa meter. Sementara Mama mertuanya alias Eyang Uti kebagian amanah mengawasi dua kakak, sekaligus mengawasi mereka sekolah, membuat PR dan lainnya. Tentu saja, Eyang Uti jadi harus ‘mengungsi’ ke rumah Aisya. Tentu saja, kepada mereka Aisya menitipkan uang untuk keperluan sehari-hari anak-anak, juga sekaligus untuk keperluan tak terduga. Jangan sampai lah sudah direpotkan dengan teknis mengurus anak, mereka juga harus pusing dengan urusan finansial.

Segera setelah merespon panggilan haji dari Kemenag, Aisya membuat program stok ASI. Targetnya: 120 botol ASI harus sudah tersedia sebelum ia berangkat haji.

Tepat 2 minggu sebelum waktu keberangkatan, Rahima genap berusia 5 setengah bulan. Aisya mulai mengenalkan makanan pendamping ASI pada Rahima, sambil memperhatikan makanan apa saja yang membuat bayinya alergi, sembelit dan lainnya. Jadi jika ia haji nanti, ibunya tak terlalu bingung soal jenis makanan atau buah yang cocok bagi bayinya.

Para konselor laktasi mungkin tidak menganjurkan ini, namun Aisya tidak punya pilihan lain: ia mulai mengenalkan susu formula pada si bayi. Ia harus mengantisipasi kemungkinan stok ASInya tak cukup. Lagipula, ia agak tidak tega membayangkan ibunya yang sudah paruh baya itu harus menghangatkan ASI di tengah malam jika bayinya terbangun haus. Sepertinya susu formula lebih mudah disiapkan oleh seorang nenek di tengah malam daripada menghangatkan ASI dari freezer, menunggunya mencair, lalu menyuapinya pada sang bayi. Ia juga tak yakin baby Rahima bisa cukup sabar menunggu semua proses itu tanpa tangisan atau rengekan. Ah, kasihan Ibuku, pikirnya. Kita kenalan sama susu formula ya Nak, pikirnya, supaya dari sekarang Bunda bisa tahu susu mana yang kamu alergi.

Oiya, Abang-abangnya Rahima juga perlu diperhatikan ya?

“Abang tahu kan rukun Islan yang kelima? Bunda dan Ayah sebentar lagi mau ngerjain rukun Islam yang itu. Iya, haji..”, dan mulailah Aisya bercerita tentang haji. Tentang Mekkah, Madinah, masjidil Haram, wukuf, tawaf, sa’i dan semua tentang haji. Seribu bujuk rayu disiapkan Aisya, mengantisipasi kedua jagoannya itu merengek minta ikut.

“Wah, keren, Bunda sama Ayah mau ke tempat Nabi Muhammad dilahirkan? Selamat ya Bund, hati-hati di jalan. Ga usah khawatir, kan Abang nanti dijagain Eyang Uti,” jawaban si sulung ini membuat Aisya tercengang. Mereka bisa menerima dan malah santai! Mereka tidak tahu di dalam hari Aisya ramai riuh dengan segenap rasa khawatir. Mungkinkah ini kemudahan dari Allah?

**

“Ya Allah, hanya kepada Emgkaulah kami menyembah dan memohon pertolongan. Jagalah anak-anak kami, jadikanlah mereka anak-anak sholeh-sholehah, berbakti selalu padaMu, sehat dan cerdas…”, doanya
selalu, tak pernah lepas selama ia di tanah jazirah Arab. Ia tahu, bisa saja selama naik haji sesuatu terjadi padanya dan suaminya, sehingga tak bisa kembali pada anak-anaknya. Namun hanya kepada
Allahlah ia bertawakkal, pasrah namun tetap berdoa untuk yang terbaik.

Kini, sudah berlalu setahun sejak Aisya dan suaminya berangkat haji. Masih terbayang rasa gundah dan sedih saat meninggalkan bayi mungil itu, namun betapa luarbiasa bahagianya ketika menjumpainya lagi satu setengah bulan kemudian. Terasa begitu besar cintanya untuk Rahima, namun tetap cinta itu tak boleh mengalahkan cinta kepada Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kepada semua makhlukNya.

Penulis: Sari Kusuma

Exit mobile version