Site icon SuaraJakarta.co

Surat untukmu, Mahasiswa Baru

Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Bukan lagi pedang dan bambu runcing
Tapi stetoskop dan jarum suntik
Bukan lagi busur dan anak panah
Tapi mistar, pensil, dan jangka
Bukan lagi darah dan luka
Tapi tinta dan pena
Bukan lagi perang melawan penjajah
Tetapi melawan dirimu, nafsumu,
keserahakanmu, ketidakpedulianmu

Kepada mu, Mahasiswa Baru

Kami ucapkan selamat kepadamu yang telah terpilih menjadi satu diantara banyak orang yang bersaing untuk mendapatkan bangku di universitas impianmu. Kau harus tahu bahwa kesempatan inu bukan hanya hal yang menggembirakanmu, tetapi juga kami. Tiada ada hari bagi kami kecuali kami isi dengan harapan bahwa esok akan muncul penerus kami, pewaris kami, yang tak hanya mewarisi tanah yang elok ini tapi juga semangat kami untuk membangun negeri ini.

Aku ingin berbagi kisah denganmu. Kau tahu pemuda-pemudi yang mendirikan Budi Utomo itu? Atau teknisi muda yang menyiarkan berita proklamasi lewat pemancar rakitan? Aku yakin kau tahu, guru sejarahmu sudah menceritakannya, bukan? Aku senantiasa gembira saat mengenang mereka. Masa itu sungguh sangat indah, walaupun tawa bercampur duka dan senyum bercampur darah.

Namun, saya kecewa melihat sebagian kakak-kakakmu yang menyia-nyiakan kesempatan yang telah mereka terima. Mereka menyebut diri mereka sebagai mahasiswa, ujung tombak perjuangan bangsa, pewaris peradaban, tetapi apa yang mereka lakukan? Sok kuasa kepada yang lemah, meninggalkan kuliah untuk membela nasib rakyat katanya, sementara tangan jahil mereka merusak dan membakar fasilitas umum.

Kau tahu apa yang kami inginkan darimu? Tak banyak, hanya semangat dan tekad untuk berkarya bagi negeri ini, meneruskan semangat kami, seperti kataku tadi. Tak perlulah kau menyiapkan bambu dan mengasah pedang, tetapi cukup belajarlah, berkaryalah, dan bermanfaatlah untuk kami.

Cukup kami saja yang mengorbankan jiwa dan raga kami dan mempersembahkan darah dan luka kami untuk negeri ini. Sudah cukup, kami saja yang mengangkat bambu dan menyalakan meriam.

Kini tibalah saatmu untuk menyisingkan baju, mencelupkan pena, dan bersiap untuk membangun bangsa. Kau harus mulai sadar bahwa dibalik kebanggaan akan almamater barumumu itu ada amanah besar yang kami bebankan padamu. Amanah sebuah kepercayaan bahwa kau lebih layak daripada kami untuk terus belajar demi sebuah karya di suatu saat nanti.

Hari ini kami masih berharap, kaulah pewaris yang telah kami tunggu-tunggu. Bukan mereka yang mengaku pewaris tapi baru peduli ketika budaya mereka dicaplok bangsa lain, yang hanya bersuara lantang tapi melaksanakannya enggan, yang hanya bisa mengkritik tanpa memberi solusi. Kami berharap, kaulah itu, yang memeriksa dan mengobati kami disuatu suatu saat nanti, yang mengelola tambang-tambang milik kami sendiri, yang menghadirkan listrik dan penerangan di desa-desa kami, yang mengajari baca tulis anak-anak kami, adik-adikmu nanti, yang membangunkan negeri ini dari tidurnya yang panjang.

Maaf jika kami terlalu banyak berharap kepadamu. Tetapi kepada siapa lagi jika bukan kepadamu? Jalanmu masih panjang, sebab itu aku berani berbicara kepadamu. Aku tunggu balasanmu, jangan dengan sebuah surat yang lain, tetapi dengan karyamu untukku. Selamat berjuang!

Menjelang 17 Agustus 2015
Ibu Pertiwi, atas nama pahlawan pejuang kemerdekaan, guru-gurumu, orang tuamu, para penjual jamu, petani kecil di desa terpencil, warga perbatasan, pembayar pajak, dan semua warga indonesia, saudara-saudaramu.

Penulis: Husada Tsalitsa Mardiansyah, Mahasiswa Universitas Airlangga

Exit mobile version