Site icon SuaraJakarta.co

Seminar CIDES Indonesia

E-Voting Solusi Alternatif Konsep Pemilu Hemat Biaya, Seberapa Efektifkah?

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Pemilu menjadi hajat demokrasi bangsa Indonesia tiap lima tahunnya. Setiap periode pemilu, kerap ditemukan banyak hal yang perlu diperbaiki. Mulai dari efektifitas biaya pemilu, keabsahan penerapan asas luber jurdil, transparansi setiap suara, dll.

Dalam era teknologi yang kian canggih ini pun, pelaksanaan pemilu mulai santer digaungkan  e-voting (electronic voting). Meski belum resmi digunakan konsep e-voting digadang menjadi solusi alternatif keribetan pemilu yang kerap menggembosi ongkos negara.

Central of Information and Development Studies (CIDES), sebuah lembaga kajian Indonesia, Minggu (30/1) kemarin menyelenggarakan seminar yang membahas efektifitas pemilu menggunakan e-voting. Hadir sebagai narasumber Indria Samego, (LIPI/Dewan Penasihat POLRI), M. Budi Wahyono (CIDES, Pakar Teknologi), Andrari Grahitandaru, M.Sc. (BPPT), Sumarno (The Habibie Center), dan Gerry Suryokusumo (Presiden CIDES UIN). Agenda ini dilaksanakan di ruang diskusi The Habibie Center, Jakarta.

Andrari mengatakan bahwa perubahan pemilu konvensional menuju pemilu yang akurat (e-voting) memang membutuhkan proses yang lama. Namun, penggunaan teknologi dalam pemilu (e-voting) adalah keniscayaan.

“Mari jadikan momen pemilu 2014 menjadi ajang pendidikan buat pemilih bahwa ada metode pemilihan yang lebih baik yakni e-voting. Setiap tahapan e-voting bisa diaudit. Konsep one person one voting dapat sepenuhnya tercapai melalui e-voting. Seorang pemilih harus yakin bahwa pilihannya terakomodir dan terpantau. Semua asas pemilu bisa diterapkan di e-voting,” kata Andrari menguatkan tentang e-voting.

Di antara efektifitas penggunaan e-voting yakni tidak perlu mencetak kertas, pemmberian suara mudah (layar sentuh), memfasilitasi pemilih disabilitas, cepat, tepat, dan akurat, pengiriman data langsung ke pusat data, dan utamanya hemat rupiah.

Diakui memang, pemborosan negara setiap lima tahun ini semestinya dapat disiasati. Biaya yang mencapai angka ratusan milyar mungkin dapat didistribusikan ke sektor seperti pendidikan, kesehatan, maupun lainnya. Akan tetapi, tetap ada celah kekurangan dari sistem e-voting ini.

Dipaparkan oleh Rudi Wahyono bahwa penerapan e-voting tetap saja memiliki kekurangan. Ia hanya bisa diterapkan di beberapa daerah tertentu yang memiliki akses yang baik dari segi teknologi, pembiayaan, perangkat lunak, serta kesiapan masyarakat. “Peluang hacker juga menghantui jika benar pemilu serempak menggunakan e-voting,” ujar Rudi yang menjabat sekretaris eksekutif CIDES.

Sementara Sumarno menyadarkan pada audiens bahwa pemilu bukan semata agenda administrasi, tapi legitimasi maka dari itu butuh keabsahan politis. “Pemilu konvensional memang terbuka, partisipatif yakni wakil dari tiap calon ikut serta mengawasi. Sementara penerapan e voting perlu legitimasi (regulasi). Perlu ada political will pada diri stakeholder pemilu. Sosalisasi di kalangan masyarakat mesti  gencar,” tegas Sumarno.

Gerry yang menjadi narasumber termuda di sana menyatakan perlunya controlling dalam pemilu pun jika menggunakan e-voting. Sebagai mahasiswa ia menghimbau masyarakat terutama mahasiswa untuk tidak apatis dalam pemilu (golput). Mahasiswa bisa menjadi penjembatan antara masyarakat dan pemerintah salah satunya dalam pencerdasan politik.

“Golput sangat menghambat proses demokrasi. Tidak semestinya orang yang golput berkoar-koar mengkritik pemilu dan pemerintah karena dia pun tidak mau melibatkan diri dalam proses pemilihan pemimpin sebagai bagian dari demokrasi kita,” pungkas Gerry.

Tarik ulur tentang metode penyelenggaraan pemilu memang akan terus berjalan. Intinya, perubahan memang akan terjadi namun jelas bertahap. Jikapun e-voting memang akan efektif maka kajian dan penyiapan terhadapnya adalah keharusan.

“Formulasi pemilu efektif harus memegang prinsip mengatasi masalah tanpa masalah,” tutup moderator.

Exit mobile version