SuaraJakarta.co – Minggu ini adalah minggu penting dalam proses sejarah bangsa Indonesia. Bukan hanya soal seremonial penyambutan hari kemerdekaan yang akan jatuh pada hari senin nanti, melainkan juga soal perombakan kabinet kerja pemerintahan yang baru saja selesai dilaksanakan sehari lalu. Sulit untuk memaknai seremonial kemerdekaan dari sudut pandang reshuffle. Bilapun ada, hal ini terkesan terlalu dipaksakan. Sebab bagaimanapun juga, reshuffle tidak terlepas dari muatan politis – yang sifatnya sangat sektoral dan primordial. Sedang perayaan kemerdekaan sifatnya sangat sakral dan nasionalistik. Apalagi tagline menjelang perayaan kemerdekaan kali ini adalah: ayo kerja. Semacam majas ironi yang menusuk realita ekonomi kita yang sedang terpuruk.
Tetapi bilamana maksud dan tujuan reshuffle adalah ke arah perbaikan, maka tentu alasan ini mempunyai sederet nilai yang sesuai dengan semangat kemerdekaan. Semacam semangat hijrah dari ketertinggalan ke arah kemajuan.
Peristiwa reshuffle dan perayaan kemerdekaan tentunya merupakan dua hal yang berbeda, jika reshuffle dimaksudkan sebagai peningkatan kinerja pemerintahan, maka seremonial agustusan ditujukan sebagai media refleksi perjuangan masa lalu. Tetapi sekalipun secara definitif berbeda, keduanya menyimpan segudang makna yang sama, yakni sama-sama menandakan lahirnya sebuah harapan baru. Harapan yang diam-diam terdetik dalam benak setiap warga: menuju era Indonesia yang lebih sentosa.
Membayangkan Indonesia Sepanjang 70 Tahun
Mungkin sebagian dari kita masih belum percaya bahwa kita sudah merdeka 70 tahun lamanya. Dalam masa-masa 70 tahun tersebut, janganlah kita mencoba-coba membandingkan negara kita dengan negara-negara maju lain semisal Amerika Serikat yang usianya sudah ratusan tahun di atas kita. Kita hanya perlu menengok negara tetangga di sebelah timur kita Singapura, adakah perbedaan antara kita dengan Singapura yang usianya lebih muda 20 tahun di bawah kita itu? Jika yang kita bandingkan adalah persoalan ekonomi, biarlah perut kita sendiri yang menjawabnya, apa beda perut kita dengan mereka; jika yang kita bandingkan adalah persoalan pendidikan, biarlah otak kita sendiri yang menjawabnya, apa beda otak kita dengan mereka; dan jika yang kita bandingkan adalah persoalan mafia, tentulah kita jagoannya, kita hanya perlu diam, sebab mereka sudah tahu jawabannya.
Maraknya mafia yang berseliweran dan menetap di negeri ini (mafia migas, mafia impor, mafia pajak, mafia bola, mafia gabah, mafia anggaran) adalah konsekuensi logis dari inefektifitas institusi negara yang faktanya masih semraut di segala aspek. Peraturan yang tumpang tindih, penegakan hukum yang kacau balau, praktek KKN, dan beribu-ribu persoalan kebangsaan, seolah-olah telah mantap sebagai menu santap kita sepanjang hari. Seolah-olah itu adalah takdir yang harus kita terima secara legowo monggo rumongso sebagai sebuah bangsa. Bangsa yang tega memakan bangsanya sendiri. Bangsa para leviathan.
Lalu apa kiranya bila para pejuang kemerdekaan yang kini telah memanjar dalam kubur tahu bahwa bangsa yang sedari dulu dibelanya dengan keringat dan darah mereka, ternyata sesak oleh pengap para mafia, benih mereka sendiri. Haruskah mereka mati untuk yang kedua kalinya setelah mendapat kabar perihal kondisi bangsa saat ini?
Belum selesai hanya di persoalan mafia, menjelang 17 Agustus, hari bersejarah bagi bangsa kita Indonesia, kita juga dihadapakan pada instabilitas ekonomi yang tak kunjung menentu. Nilai kurs Rupiah yang menembus angka 13.800 per dollar AS, merupakan indikator bahwa ekonomi kita masih jauh di bawah rata-rata. Masih sering goyah diterpa pasar. Meskipun resistensi ini lebih disebabkan oleh faktor luar, tetapi alangkah baiknya bila instropeksi internal lebih dikedepankan. Karena faktanya, kita masih belum bisa memberdayakan kekayaan kita secara arif dan bijaksana. Kita masih seringkali membodoh-bodohkan satu sama lain. Lebih bangga mengandalkan manusia profesional dari luar ketimbang dari dalam. Yah memang, sekali lagi kita memang harus akui bahwa kita adalah bangsa yang bodoh. Bangsa yang mengidap krisis chauvinistik kebangsaan.
Sejarah 70 tahun perjalanan Indonesia merdeka adalah momentum bagi kita bersama untuk berjalan lebih gesit lagi, berjalan beriringan mengikuti rute yang secara bersama-sama ditetapkan, menjauhi kelokan-kelokan perpecahan yang tak tentu tujuan, menggilas habis mafia-mafia yang menghantui kita, dan menumbuhkan sense of belonging kita bahwa kita adalah bagian initi dari bangsa dan warga negara. Bangsa yang tidak egois dengan hidupnya sendiri, melainkan bangsa yang mengerti tugas dan tanggung jawabnya selaku patriot negara.
Maka marilah sejenak kita membayangkan bagaimana jerih payah para penghulu kita – nenek moyang kita dahulu. Bayangkanlah bagaimana kakek kita merajut tombak untuk menghalau senapan-senapan kolonial! Bayangkanlah bagaimana mereka sembunyi di parit-parit sewaktu segerombolan kompeni datang! Bayangkanlah bagaimana pula nenek-nenek kita diperlakukan tak senonoh oleh bangsa penjajah. Dan beribu-ribu bayangan pahit lainnya yang terlukis dalam guratan sejarah masa lalu bangsa kita ini. Andai kita mampu membayangkannya, apalah berartinya diri kita dengan orang-orang terdahulu. Maka malulah sekali-kali kita pada keadaan kita saat ini. Kita yang lama terbuai di zona nyaman dan kita yang alpa makna perjuangan. Mari berjuang……
Penulis: Ahmad Nurcholis, Warga Nahdliyyin Banten dan Kader PMII Ciputat.