Site icon SuaraJakarta.co

Pemakzulan Bagi Presiden Mungkin Saja Terjadi

Nur Habibi - Jimly School of Law and Government (foto : Carevy)

Nur Habibi - Jimly School of Law and Government (foto : Carevy)

SuaraJakarta.co,

PRESIDEN dan/atau Wakil Presiden zalim tidak mungkin ‘turun tahta’? Siapa Bilang. Pejabat tinggi korup tidak mungkin dilengserkan? Bisa saja.

Nur Habibi, M.H., dalam kuliah online Jimly School of Law and Government-nya menjelaskan, hal tersebut mungkin saja terjadi. Dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, urusan tersebut diatur dengan istilah impeachment atau pemakzulan.

Impeachment yang merupakan aksi menuduh, mendakwa, atau meminta pertanggungjawaban. Impeachment dapat ditujukan pada presiden, wakil, atau pejabat tinggi negara. Dakwaan tersebut membuka peluang kemungkinan adanya pemberhentian dari jabatan. Tentu saja, harus terdapat alasan dan bukti kuat dakwaan dan mekanisme prosesnya.

Tidak sembarangan. Tuduhan yang ditudingkan mesti sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, tentunya. Dalam hal pemakzulan, telah diatur dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945. Tindakan pelanggaran yang termasuk dalam kategori pasal tersebut beberapa di antaranya; pengkhianatan terhadap negara (paling utama dan berat), korupsi, penyuapan. Bahkan, dalam pasal tersebut mengakomodir pelanggaran abstrak sebagai salah satu kemungkinan dilayangkannya pemakzulan yakni perbuatan tercela. Selain itu, presiden, waki, ataupun pejabat tinggi juga dapat di-impeach jika telah tidak dapat melakukan tugas dan fungsinya (uzur usia, dll).

Perihal impeachment ini telah sejak dahulu ada di negara senior lain. Inggris pada tahun 1330 pernah mencontohkannya. Indonesia, negara yang terbilang yunior ini pun telah memiliki pengalaman meng-impeach pemimpinnya. Sebut saja Soekarno (1967) dengan “Presiden seumur hidup”nya dan Abdurrahman Wahid, presiden keempat RI atas pelanggaran sumpah jabatannya. Mungkin saja, jika kasus Century tidak dialihkan oleh berita lain, impeachment bisa kembali menghangat di negeri ini. Sayangnya, pembelokan terhadapnya lebih kuat dan pun isu tanah air teralihkan dengan segera.

Secara sederhana, alur impeachment yakni tuduhan dari DPR > MK > DPR > MPR dan barulah dilakukan finalisasi penurunan jabatan oleh MPR. Tetapi, realitanya tidak semudah alur yang dituliskan. Persyaratan yang harus dipenuhi sangat beragam mulai dari pemenuhan kuota minimal DPR yang setuju dan hadir persidangan, bukti kuat, dan waktunya pun tidak sebentar.

Nur Habibi menjelaskan, bahwa memang proses penurunan pejabat zalim di negeri ini tidak mudah. Hal ini dikarenakan pemilihan presiden melalui pemilu langsung dan berarti melibatkan 200an juta lebih warga negara Indonesia. Namun, adanya akomodir dari undang-undang menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin saja terjadi.

Kesan yang mungkin tercipta oleh awam, bahwa undang-undang tersebut menyulitkan penurunan presiden. Benar memang. Bagaimana jika elemen-elemen yang menjadi penentu berhasilnya impeachment merupakan antek kuat pemerintah? Tentunya akan semakin menyulitkan. Tetapi, perlu diingat bahwa terdapat jalur penurunan jabatan lain yang juga pernah berlaku di republic tercinta. Turunnya Soeharto setelah masa panjang memimpinnya bukan oleh impeachment melainkan oleh desakan people power. Di negara lain pun pernah pula demikian. Masih ingatkah kita dengan Qadhafi dan beberapa pemimpin negara lain yang ‘dipaksa’ turun oleh rakyat?

Jadi, sejatinya tak pantas pemimpin negeri ini berleha-leha dan bertindak semenanya. Keseimbangan dari undang –undang yang berpadu dengan kekuatan rakyat bisa menjadi ‘warning’ khusus bagi pemimpin agar senantiasa berhati-hati dan waspada. [SJ]

Exit mobile version